MISTERI ANJING SILUMAN book by Raynold Edit by: zheraf http://www.zheraf.net PESAN DARI ALFRED HITCHCOCK SEKALI lagi aku mendapat kehormatan, menyampaikan kata pendahuluan untuk kasus terbaru ketiga penyelidik remaja yang terkenal dengan sebutan TRIO DETEKTIF. Mereka mengkhususkan diri menangani kasus-kasus yang luar biasa, kejadian-kejadian aneh, dan peristiwa-peristiwa menyeramkan. Petualangan mereka sekali ini benar-benar luar biasa, aneh, dan juga menyeramkan! Di dalamnya mereka berurusan dengan seseorang yang merasa dirinya dirongrong hantu, selanjutnya pendeta yang tahu-tahu menghilang, lalu seorang pemuda yang menggemari ilmu kebatinan. Pemuda ini seakan-akan memiliki kemampuan menembus rintangan apa pun juga. Belum lagi urusan dengan wujud seekor anjing setan. Wujud ini benar-benar nyata, tapi di pihak lain juga tidak kelihatan! Bagi pembaca yang baru sekali ini berjumpa dengan Trio Detektif, secara singkat kukatakan bahwa mereka ini dipimpin oleh Jupiter Jones, seorang remaja bertubuh, yah, bisa dibilang tidak langsing. Anak itu berotak cerdas, dan rasa ingin tahunya benar-benar luar biasa. Pete Crenshaw berpotongan atletis dan serba cekatan gerak-geriknya. Sedang Bob Andrews yang gemar membaca, bertugas mengurus catatan. Ia berbakat untuk melakukan riset. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di pesisir, California, di pinggiran kota industri F­ilm, Hollywood. Rasanya cukup sekian saja kata pendahuluan ini, Sekarang: selamat merinding! ­ALFRED HITCHCOCK ­Bab 1 RONGRONGAN SILUMAN ­HARI sudah senja ketika Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews untuk pertama kalinya mendatangi jalan itu. Senja bulan Desember di belahan, bumi sebelah utara; dingin, dan begitu seketika. Tahu-tahu hari sudah gelap. Ketiga remaja itu lewat di depan sebuah taman, di mana masih ada beberapa kuntum mawar yang mekar. Padahal hawa saat itu sudah dingin. Di samping taman terdapat sebuah rumah berdinding semen, dengan tulisan 'St. Jude's Rectory' pada papan namanya. Jadi itulah tempat tinggal pendeta gereja St. Jude. Setelah melewati rumah itu, nampak sinar lampu-lampu di balik jendela-jendela berkaca timah dari sebuah bangunan gereja yang kecil. Ketiga remaja yang sedang berjalan itu mendengar suara tinggi anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu pujian kuno, diiringi nada-nada organ yang mendengung-dengung. Gereja itu dilewati, dan akhirnya Jupe beserta kedua sahabatnya sampai di depan. Sebuah bangunan rumah susun yang menampakkan kesan sangat tertutup. Bagian paling bawah merupakan deretan garasi. Lalu kedua lantai di atasnya merupakan apartemen-apartemen. Tirai jendela-jendela segenap tempat tinggal itu tertutup rapat, seolah-olah para penghuni yang mendiaminya ingin menutup diri dari dunia luar. "Ini dia tempatnya," kata Jupiter Jones. "Paseo Place nomor 402-dan saat ini tepat pukul setengah enam. Kita tiba tepat pada waktunya." Di sisi kanan deretan garasi ada tangga beralas batu ubin yang besar-besar. Tangga itu menuju ke sebuah gerbang yang letaknya pada ketinggian lantai apartemen yang pertama. Saat itu seorang pria berjaket cokelat kekuningan muncul di ujung atas tangga. Orang itu turun, lalu melewati ketiga remaja yang masih berdiri di depan bangunan itu, tapi tanpa memandang mereka. Jupe menaiki tangga batu itu, diikuti oleh Pete dan Bob. Tahu-tahu Pete meloncat. Seruan kaget terlontar dari mulutnya. Jupe berhenti melangkah. Dari sudut matanya ia melihat sesuatu yang gelap dan kecil menuruni tangga dengan gerakan menyelinap. "Ah-cuma kucing saja," kata Bob. "Nyaris saja aku menginjaknya." Pete bergidik, lalu membungkus badannya lebih erat dengan jaket olahraga yang dipakainya saat itu. "Kucing hitam!" "Kau ini ada-ada saja," kata Bob sambil tertawa. "Masak kau benar-benar percaya mereka itu mendatangkan sial!" Jupe mengulurkan tangannya, meraih kait pengunci pintu gerbang. Di balik gerbang itu, di tengah-tengah halaman beralas batu ubin, nampak sebuah kolam renang yang luas dengan sejumlah meja dan kursi di sekelilingnya. Begitu Jupiter membuka pintu, seketika itu juga menyala lampu-lampu sorot yang ditempatkan di dalam kolam renang serta di tengah belukar yang ditanam di sepanjang pinggiran halaman. "Penjual keliling dilarang masuk!" Suara serak dan sengau itu terdengar dekat sekali di samping Jupiter. Sebuah pintu yang bersebelahan dengan gerbang terbuka. Di ambangnya berdiri seorang wanita bertubuh gemuk dan berambut merah. Ia menatap ketiga remaja itu dengan mata terpicing, dari balik lensa kaca matanya yang tak berbingkai. "Aku tidak mau tahu apakah kalian ini mencari calon langganan majalah, atau menjual permen, atau mengumpulkan derma untuk menolong burung-burung kenari yang terlantar," kata wanita itu dengan ketus. "Aku tidak mau para penyewa di sini diganggu." "Mrs. Bortz!" Wanita itu mendongak, memandang ke arah belakang Jupe serta kedua sahabatnya. Seorang pria kurus dengan rambut berwarna putih keperakan turun lewat sebuah tangga, dari balkon di lantai dua yang menghadap ke halaman. "Kurasa mereka inilah tuan-tuan muda yang sedang kutunggu," kata pria itu. "Saya Jupiter Jones." Jupe mengucapkannya dengan tegas dan lugas. Gaya seperti itu merupakan kekhasannya dalam menghadapi situasi yang demikian. Selesai memperkenalkan diri, ia melangkah ke samping lalu mengangguk ke arah kedua sahabatnya. "Kedua rekan saya, Pete Crenshaw dan Bob Andrews. Saya rasa Anda-lah Mr. Fenton Prentice." "Betul," kata pria yang sudah berumur itu. Ia melayangkan pandangan ,ke arah wanita yang berdiri di ambang pintu. "Kami tidak memerlukan Anda, Mrs. Bortz," sambung pria itu. "Huhh!" tukas Mrs. Bortz. Ia kembali ke tempat tinggalnya, lalu masuk sambil membanting pintu. "Perempuan tua itu, selalu saja ingin tahu urusan orang lain," kata Fenton Prentice. "Anggap saja dia itu tidak ada. Para penghuni tempat ini umumnya bisa dibilang tergolong orang yang tahu adat. Mari-ikut aku!" Ketiga remaja itu mengikuti Mr. Prentice naik tangga menuju ke balkon. Hanya beberapa meter dari ujung atas tangga itu ada sebuah pintu. Mr. Prentice mengeluarkan anak kunci lalu membuka pintu itu, Jupiter, Pete, dan Bob dipersilakannya memasuki sebuah kamar dengan balok-balok melintang menopang langit-langitnya, di mana terpasang sebuah lampu gantung yang kelihatannya merupakan barang antik. Sebuah pohon Natal berukuran kecil yang terbuat,dari plastik nampak di atas sebuah meja. Pohon imitasi itu dipajang dengan berbagai hiasan yang kecil-kecil dan serba indah. "Silakan duduk," kata Mr. Prentice sambil melampaikan tangan ke arah beberapa buah kursi ­yang ada dalam kamar itu, lalu pintu dikuncinya kembali. "Untung kalian bisa datang dengan segera," katanya. "Aku sudah khawatir saja, jangan-jangan kalian punya rencana lain, Maklumlah, sekarang ini kan minggu terakhir menjelang Natal."' "Kebetulan ada sedikit waktu terluang dalam jadwal kegiatan kami," kata Jupiter dengan ramah. "Tugas kami tidak begitu banyak, sebelum harus mulai bersekolah lagi minggu depan."' Nyaris saja Pete tertawa. Untung masih sempat ditahan. Soalnya, mereka bertiga sebenarnya sama sekali tidak punya rencana apa-apa sampai sekolah dimulai kembali-kecuali berusaha menghindari Bibi Mathilda. Kalau bibi Jupiter itu-nah, wanita itu banyak sekali rencananya, dan semuanya ada hubungannya dengan menyuruh Jupiter serta kedua sahabat keponakannya itu bekerja! "Dan sekarang," sambung Jupiter dengan gaya detektif ulung, ""jika Anda bersedia memberi tahu alasan mengapa Anda menghendaki kami datang kemari, nanti akan kami pertimbangkan dapat tidaknya kami membantu Anda." "Tapi kalian harus menolongku!" seru Mr. Prentice. "Sekarang ini juga!"' Tahu-tahu suaranya bergetar. Ia menyambung nada melengking, "Aku tidak tahan lagi menghadapi hal-hal yang terjadi di sini!" Ia diam sesaat untuk menenangkan diri. lalu menyambung, "Kalian bertiga ini kan Trio Detektif? Betul kan, ini kartu nama kalian?"" Mr. Prentice mengeluarkan selembar kartu nama dari dompetnya, lalu memperlihatkannya kepada ketiga remaja itu. ­TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" ? ? ? Penyelidik Satu... Jupiter Jones Penyelidik Dua.... Peter Crenshaw Data dan Riset.... Bob Andrews ­Jupiter mengangguk sebagai pernyataan membenarkan, setelah memandang kartu yang disodorkan itu dengan sekilas. "Kawan yang memberi kartu nama ini," kata Mr. Prentice lagi, "mengatakan bahwa kalian bertiga ini detektif yang menaruh perhatian besar terhadap hal-hal yang... yah, yang bisa dibilang tidak biasa." "Itu memang benar," kata Jupe. 'Tanda tanya pada kartu nama kami, yang melambangkan hal-hal yang tidak diketahui, bisa dipandang sebagai pernyataan minat kami itu. Sejauh ini kami sudah berhasil menguraikan sejumlah kasus yang aneh-aneh. Tapi selama Anda belum mengatakan apa sebenarnya yang merongrong Anda, kami takkan mungkin bisa mengatakan dapat-tidaknya kami membantu Anda. Tentu saja kami selalu siap untuk berusaha. Terus terang saja, sementara ini kami sudah melakukan persiapan untuk menangani kasus Anda. Kami sudah menyelidiki diri Anda, setelah surat Anda kami terima tadi pagi!" "Apa?" seru Mr. Prentice. "Berani-beraninya!" "Jika Anda menghendaki kami menangani kasus Anda, tidakkah kami harus tahu barang sedikit tentang diri Anda?" tanya Jupiter dengan tenang. "Aku ini orang yang sangat tertutup," tukas Prentice. "Aku tidak suka jika ada orang mengutik-utik urusan ku." "Tidak mungkin ada orang yang tertutup sama sekali," kata Jupiter Jones, "dan Bob sangat mahir dalam melakukan penelitian. Bob-coba kauceritakan pada Mr. Prentice, apa saja hasil penelitianmu." Bob meringis. Ia mengagumi kemampuan Jupe, yang hampir selalu berhasil menguasai keadaan apa pun juga. Diambilnya sebuah buku catatan berukuran kecil dari kantungnya, lalu dibuka. "Anda dilahirkan di kota Los Angeles, Mr. Prentice," katanya sambil membaca catatannya, "dan sekarang berusia tujuh puluhan. Ayah Anda, Giles Prentice, menjadi kaya dari bisnis tanah dan rumah. Anda kemudian mewarisi kekayaannya itu. Anda tidak menikah. Anda sering mengadakan perjalanan, dan banyak memberikan dukungan keuangan pada museum-museum, begitu pula seniman-seniman. Kalangan surat kabar menjuluki Anda tokoh pelindung kesenian." " "Aku tidak begitu peduli terhadap koran-koran, tukas Mr. Prentice. ­"Tapi mereka berminat terhadap Anda," balas Jupe. "Dan Anda nampaknya memang menaruh perhatian besar terhadap seni," sambungnya, sambil melayangkan pandangan berkeliling ruangan. Kamar duduk di mana mereka berada saat' itu lebih mirip tempat memajang koleksi benda-benda seni. Lukisan-lukisan tergantung di dinding, patung-patung porselen dipajang di atas meja-meja rendah, dan di sana-sini terdapat lampu-lampu antik, yang mungkin saja berasal dari salah satu istana di kawasan Afrika Utara. "Baiklah," kata Mr. Prentice. "Orang kan boleh saja berminat terhadap benda-benda indah. Tapi itu tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang terjadi di sini." "Dan apakah yang terjadi di sini?" tanya Jupiter. Mr. Prentice menoleh dengan cepat ke belakang, seolah-olah khawatir ada orang lain yang ikut mendengarkan di kamar sebelah. Kemudian ia berbicara dengan suara lirih, nyaris berbisik. "Aku diganggu sesuatu," katanya. Trio Detektif menatapnya dengan mata terbuka lebar. "Kalian tak percaya," kata Mr. Prentice. "Itu sudah kukhawatirkan-tapi aku tidak bohong. Ada yang suka masuk kemari ketika aku sedang tidak ada. Pada waktu aku kembali, kujumpai tempat ini tidak dalam keadaan seperti ketika kutinggalkan. Sekali kutemukan laci meja tulisku agak terbuka sedikit. Ada yang membaca surat-suratku." ­"Ini gedung apartemen yang besar," kata Jupiter. "Adakah yang mengurusnya? Maksud saya manajer! Dan kalau ada, apakah ia memiliki, kunci induk, yang bisa membuka semua pintu?" Mr. Prentice mendengus. "Manajer di sini perempuan menyebalkan tadi, Mrs. Bortz. Tapi ia tidak memegang kunci apartemenku ini. Aku memasang kunci khusus. Dan jika hendak bertanya tentang pelayan, aku tidak punya. Dan tidak perlu mengajukan dugaan tentang kemungkinan orang masuk lewat jendela, karena di sini tidak ada jendela di sisi yang menghadap ke balkon. Jendela-jendela di kamar ini semua mengarah ke jalan, dan jaraknya dari trotoar lebih dari enam meter. Di kamar tidur dan di ruang hobi ku, jendela-jendela menghadap ke gereja. Dan letaknya semua juga jauh dari tanah. Tidak mungkin ada yang bisa masuk lewat jendela jika tidak memakai tangga panjat yang panjang, dan itu pasti akan ketahuan." "Tapi mesti ada kunci lain untuk masuk kemari," kata Pete. "Ada orang yang memakainya ketika Anda sedang tidak ada, dan-" Fenton Prentice mengangkat tangannya. "Itu tidak mungkin," katanya. "Memang, ada orang masuk kemari sewaktu aku sedang tidak ada-tapi itu saja belum apa-apa." Pria itu kembali celingukan, seakan-akan takut bukan mereka berempat saja yang ada di ruangan itu. "Kadang-kadang ia datang pada waktu aku ada di sini. Aku.., aku pernah melihatnya. Ia datang dan pergi dengan seenaknya, tanpa perlu membuka pintu." "Orangnya seperti apa?" tanya Jupiter. Mr. Prentice menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan sikap gelisah. "Polisi biasanya mengajukan pertanyaan semacam itu," katanya, "tapi kurasa kalau polisi yang menanyakannya, ia takkan menanggapi jawabanku dengan serius. Karena itulah aku menghubungi kalian, dan bukan polisi. Yang kulihat... tidak bisa dikatakan orang. Lebih cocok jika disebut bayangan. Kadang-kadang, sementara aku sedang membaca, aku merasakannya. Aku merasa ada sesuatu. Jika aku menoleh, mungkin aku akan melihatnya. Sekali aku melihat seseorang di ruang masuk. Orangnya kurus tinggi. Aku membuka mulut, untuk menyapa. Mungkin juga aku berseru. Orang itu tidak berpaling. Ia malah masuk ke ruang hobiku. Aku mengejarnya. Tapi, sesampainya di situ, ruangan itu sudah kosong. Tidak ada siapa-siapa di situ." "Bolehkah saya melihat ruangan itu sebentar?" tanya Jupiter. "Boleh saja." Mr. Prentice memasuki sebuah ruangan kecil berbentuk persegi empat, yang bersebelahan letaknya dengan kamar duduk Jupiter mengikutinya menyeberangi ruangan itu, masuk ke sebuah kamar besar yang remang-remang. Di kamar itu terdapat rak-rak buku, kursi-kursi besar dan empuk berlapis kulit, serta sebuah meja antik berukuran besar. Jendela-jendela di kamar itu semua menghadap ke sisi samping bangunan. Lewat sela tirai yang terbuka Jupiter bisa melihat bangunan gereja yang di sebelah. Dengungan organ sudah tidak terdengar lagi, dan di jalan terdengar suara ramai anak-anak, rupanya latihan paduan suara sudah bubar. "Tidak ada jalan keluar dari kamar ini kecuali lewat pintu yang kita masuki," kata Mr. Prentice. "Kau tidak perlu mengajukan dugaan tentang adanya lorong dan pintu rahasia. Aku sudah bertahun-tahun tinggal di apartemen ini, dan aku tahu pasti di sini tidak ada lorong rahasia." "Sudah berapa lama Anda berperasaan bahwa ada... sesuatu yang suka masuk kemari?" tanya Jupiter. "Sejak beberapa bulan belakangan ini," jawab Mr. Prentice. "Aku... pada mulanya aku tidak mau percaya. Kusangka itu cuma perasaanku saja, karena terlalu capek. Tapi kejadiannya begitu sering, sehingga sekarang aku yakin bahwa pikiranku tidak mengada-ada." Nampak jelas oleh Jupiter bahwa pria tua itu ingin sekali kata-katanya dipercaya. "Segala-galanya memang mungkin saja," kata Penyelidik Satu Trio Detektif itu. "Jadi kalian mau menolong aku?" kata Mr. Prentice. "Kalian akan mengadakan pengusutan?" "Saya harus merembukkannya dulu dengan teman-teman," kata Jupe. "Bagaimana jika kami menelepon Anda besok pagi?" ­Prentice mengangguk, lalu keluar. Jupiter masih tertegun sejenak, sambil berpikir-pikir. Tiba-tiba nampak sesuatu yang bergerak di sudut gelap, dekat rak-rak buku. Tatapan Jupe terpaku ke tempat itu. "Pete!" panggilnya. "Kau memanggil, Jupe?" jawab Pete. Suaranya lantang dan riang. Datangnya dari arah kamar duduk. "Pete!" panggil Jupe sekali lagi. Sekali ini ia berteriak. Dengan cepat ia bergerak menghampiri tempat sakelar, untuk menyalakan lampu atas. Sekejap kemudian ruangan itu sudah terang-benderang. Pete muncul di ambang pintu. "Ada apa?" tanya remaja bertubuh atletis itu. "Kau... kau sedang di kamar duduk ketika aku tadi memanggil," kata Jupiter Jones. "Betul. Ada apa? Tampangmu-seperti baru saja melihat hantu!" "Kusangka aku melihatmu," kata Jupiter. "Di situ, di sudut itu! Aku sepertinya melihatmu berdiri di situ." Jupiter menggerak-gerakkan tubuhnya, seperti hendak mengusir bayangan seram. "Rupanya aku salah lihat-mestinya cuma bayangan saja," katanya lagi. Ia bergegas melewati Pete yang masih berdiri di ambang pintu, lalu masuk ke kamar duduk. "Anda akan kami beri tahu besok," katanya berjanji pada Mr. Prentice. "Baiklah." Pria yang merasa dirinya dirongrong sesuatu yang gaib itu memutar anak kunci untuk membuka pintu, lalu minggir sedikit agar Jupiter serta kedua rekannya bisa lewat. Saat itu terdengar sesuatu, seperti bunyi letusan knalpot mobil. Atau tembakan. Dengan cepat sekali Pete keluar, lalu memandang ke bawah dari pinggiran balkon. Di pekarangan bawah tidak kelihatan apa-apa. Tapi dari arah belakang rumah terdengar suara seseorang berteriak-teriak. Sebuah pintu di luar terbanting dengan keras, disusul bunyi langkah bergegas menaiki tangga yang tidak bisa dilihat oleh ketiga saja itu. Kemudian dari sebuah gang yang berujung di sebelah belakang pekarangan, muncul sosok seseorang yang berlari. Seorang laki-laki dengan jaket berwarna gelap dan tutup kepala untuk main ski yang berwarna hitam menyelubungi kepalanya lari melintasi kolam renang, keluar lewat gerbang yang berbatasan dengan jalan di sebelah depan. Pete melesat ke tangga, lalu menuruninya. Ketika hampir sampai di bawah, seorang polisi muncul dari belakang pekarangan. "Oke, Sobat!" seru petugas itu. "Jangan bergerak, kalau tidak ingin celaka!" Seorang polisi lagi muncul sambil berlari-lari. Pete tidak berkutik lagi, ketika melihat bahwa kedua petugas itu menggenggam pistol. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. ­Bab 2 PENGGELEDAHAN DI TENGAH KEGELAPAN MALAM ­"MIKE," kata salah seorang polisi itu, yang kelihatannya lebih muda, "kurasa bukan dia ini orangnya. " "Jaket gelap, celana berwarna cerah," kata polisi yang satu lagi. "Topeng yang dipakai tadi bisa saja dibuangnya di salah satu tempat sambil berlari." "Orang yang memakai tudung untuk main ski itu lari lewat tempat ini, lalu keluar lewat gerbang depan," kata Pete dengan cepat. "Saya melihatnya." Sementara itu Jupe dan Bob menuruni tangga, bersama Mr. Prentice. "Selama setengah jam yang lewat, anak muda ini bersama saya di atas," kata Mr. Prentice pada kedua polisi itu. Bunyi sirene meraung-raung mengiringi kemunculan beberapa mobil patroli polisi yang berdatangan dari berbagai arah. "Ayolah, kita cuma membuang-buang waktu saja di sini," kata polisi yang lebih muda. Kedua petugas itu bergegas keluar lewat gerbang depan. Saat itu pintu apartemen tempat tinggal Mrs. Bortz terbuka. ­"Berbuat apa para remaja itu tadi, Mr. Prentice?" tanya wanita gemuk itu. Sebuah pintu terbuka di sisi kanan pekarangan dalam itu. Seorang pemuda muncul dengan sikap santai. Ia mengusap-usap mata, seperti baru saja bangun. Jupe agak kaget, ketika melihat orang itu. "Ada apa?" tanya Bob berbisik. "Tidak ada apa-apa," balas Jupe. "Nanti saja kukatakan." Anda tidak menjawab pertanyaanku, Mr. Prentice!" kata Mrs. Bortz ketus. "Apa yang akukan para remaja ini?" "Anda tidak perlu tahu, karena bukan urusan anda," balas Mr. Prentice. "Kedua polisi itu mencari ­orang-mestinya seorang penjahat-yang lari kemari dari gang yang di belakang, lalu keluar lewat gerbang depan." "Pencuri," kata pemuda yang muncul dari apartemen yang di seberang kolam renang. Ia memakai baju wol berwarna gelap serta celana ­anjang cokelat muda, selanjutnya sepatu santai tanpa kaus kaki. Jupiter, yang bangga terhadap kemampuannya memperhatikan hal-hal yang paling kecil sekalipun, melihat bahwa rambut pemuda itu-yang lemas dan berwarna cokelat tua-sudah agak lama tidak dikeramas. Tubuhnya ceking, dan agak lebih tinggi dari Pete. "Pintar sekali Anda ini, Sonny Elmquist!" kata Mrs. Bortz. "Bagaimana Anda bisa tahu, yang mereka cari itu pencuri?" Pemuda yang bernama Sonny Elmquist itu nampak gugup. Ia meneguk ludah, menyebabkan jakunnya bergerak-gerak turun-naik di sebelah atas kerah baju wolnya. "Kalau bukan pencuri, lalu apa?" balasnya dengan nada bertanya. "Semuanya menyebar!" Seruan itu datang dari arah jalanan di depan. "Periksa lorong-lorong dan geledah gereja itu!" Trio Detektif pergi ke luar, disertai Fenton Prentice. Mereka berdiri di undak-undakan di depan gedung apartemen. Di jalan nampak empat mobil patroli polisi. Cahaya senter menyorot kian kemari, sementara sejumlah polisi menyuruk ke dalam semak belukar dan menjenguk ke pekarangan rumah-rumah dengan sikap curiga, mencari-cari pria bertopeng tudung ski berwarna hitam yang lari tadi. Sebuah helikopter melayang-layang di atas dengan bunyinya yang berisik. Cahaya lampu sorotnya terarah ke bawah, bergerak-gerak menelusuri lorong-lorong gelap. Di depan sejumlah ambang pintu rumah sepanjang jalan nampak orang berkelompok-kelompok, ikut menonton. "Ia pasti ada di sekitar sini!" seru salah seorang polisi yang sedang sibuk mencari. "Tidak mungkin sudah jauh larinya!" Seorang pria bertubuh pendek kekar berdiri di trotoar, sambil bicara dengan sikap tegang pada seorang letnan polisi. Sementara Jupe beserta kedua temannya masih memperhatikan. orang itu berpaling, lalu bergegas menuju undak-undakan gedung apartemen di mana mereka berada. "Fenton!" seru pria itu memanggil. "Fenton Prentice!" Mr. Prentice turun menyongsong pria itu yang kemudian memegang lengannya, lalu menceritakan sesuatu padanya. Mr. Prentice mendengarkan dengan penuh minat. Nampaknya pria berumur lanjut itu sudah melupakan kehadiran Trio Detektif. Pete menyikut Jupe. "Yuk, kita ke gereja untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana," katanya mengusulkan. Di gereja, pintu-pintu terpentang lebar. Sejumlah orang, di antaranya Mrs. Bortz dan Sonny Elmquist, berdiri mengelompok di trotoar sambil memandang dengan asyik ke dalam bangunan itu, di mana nampak dua orang polisi sedang melakukan penggeledahan. Mereka membungkuk-bungkuk, mencari-cari di bawah bangku-bangku. Jupiter melewati kerumunan orang yang menonton, tanpa mengatakan apa-apa. Dinaikinya dua jenjang yang ada di depan gereja, lalu masuk ke dalam. Ia melihat lilin-lilin menyala remang, berjejer pada rak-rak di depan altar. Lilin-lilin kebaktian persiapan Hari Natal yang berwarna merah, biru, dan hijau. Jupiter melihat sejumlah sosok yang tegak kaku tanpa gerak: patung-patung di atas tonggak, patung-patung di lantai, ada yang dipasang di sudut, dan ada pula yang diletakkan menempel ke dinding. Ia juga melihat seorang sersan polisi yang sedang berhadapan dengan seorang lelaki. Orang itu bertubuh gempal berwajah merah, dan menating setumpuk buku kecil. "Sungguh, tidak ada yang masuk kemari," ujar lelaki bertubuh gempal itu. "Sejak tadi saya di sini terus. Kalau ada yang masuk, pasti saya melihatnya. " "Ya, ya, baiklah," kata sersan yang menghadapinya. "Sekarang saya harap Anda pergi saja. Kami harus menggeledah bangunan ini." Sersan itu berpaling, memandang Jupe. "Kau juga, Nak," katanya. "Keluar!" Jupe ikut keluar bersama lelaki yang marah-marah itu, yang masih terus memeluk buku-buku yang rupanya sudah dibawa sejak tadi. Di luar, seorang pria yang masih termasuk muda mendatangi kerumunan penonton. Pria itu bertubuh kurus, berpakaian serba hitam dengan kerah kemeja putih berbentuk bulat. Pastilah dia pastor gereja itu, kalau dilihat dari dandanannya. Selain dia, ada pula seorang wanita pendek yang saat itu baru datang. Rambut wanita itu sudah beruban, dan dikonde. Konde itu kecil dan rendah letaknya, pada pangkal tengkuk. "Father McGovern!" seru lelaki yang membawabawa tumpukan buku. Seruannya ditujukan pada pastor yang baru datang. "Anda harus bilang pada mereka. Sejak tadi saya terus ada di dalam gereja. Orang yang mereka cari-cari itu tidak mungkin bisa masuk ­tanpa saya lihat." ­"Sudahlah, Earl!" kata pastor itu menenangkan. "mereka ditugaskan begitu, jadi harus menggeledah." "Bagaimana?" kata lelaki yang bernama Earl, sambil mencorongkan tangan ke dekat telinga. "Mereka memang ditugaskan menggeledah," kata Pastor mengulangi, dengan suara lebih lantang. "Tadi Anda sedang di mana?" "Di serambi kor," jawab Earl, "mengumpulkan buku nyanyi, seperti biasa." "Hahh!" Wanita pendek yang sudah beruban mendengus sambil tertawa. "Kalau ada kawanan gajah gedebak-gedebuk masuk pun, Anda takkan mendengarnya. Anda kan tuli, dan makin lama makin payah." Terdengar suara seseorang tertawa geli, di antara orang-orang yang berkerumun menonton. "Nah, nah, Mrs. O'Reilly," ujar Pastor mengecam dengan halus. "Mari, kita pulang saja sekarang,lalu anda buatkan teh yang hangat. Earl, nanti kalau polisi sudah selesai, Anda kembali kemari untuk mengunci semuanya. Kita tidak perlu ikut-ikut di sini, karena sebenarnya bukan urusan kita." Orang-orang yang menonton agak menepi, memberi jalan untuk Earl, pendeta, dan wanita Pendek yang sudah beruban rambutnya. Sesudah ketiga orang itu masuk ke rumah berdinding semen di sebelah, salah seorang yang berdiri menonton keramaian itu memandang sambil nyengir ke arah Trio Detektif. ­"Kalian anak-anak sini?" tanya orang itu. Bicaranya agak dikeraskan, untuk mengalahkan bunyi berisik yang berasal dari helikopter yang masih terus terbang berputar-putar di atas. "Bukan," jawab Bob. "Selalu saja ramai," kata pria yang bertanya itu sambil menunjuk ke arah rumah Pastor dengan anggukan kepala. "Earl tadi itu dipekerjakan di sini sebagai pengurus gereja, tapi soknya seakan-akan dialah yang berkuasa. Mrs. O'Reilly dipekerjakan sebagai pengurus rumah tangga Pastor, tapi sikapnya seolah-olah dialah yang berkuasa atas segala-galanya di sini. Father McGovern sibuk setengah mati karenanya, untuk mencegah jangan sampai dijajah habis-habisan oleh kedua pekerjanya itu." "Kasihan pastor itu, harus menanggung beban begitu berat," sela seorang wanita. "Seorang wanita Irlandia berpikiran kuno yang sedikit-sedikit sudah ribut, ditambah pembantu berkepala batu yang mengira gereja pasti ambruk jika tidak ada dia yang merawat." Saat itu sersan polisi yang tadi muncul dari dalam gereja, diikuti polisi-polisi yang melakukan penggeledahan. "Oke, mana orang itu tadi, yang bertugas sebagai pengurus di sini?" "Sedang minum teh, di rumah Pastor," kata orang yang tadi berbicara dengan Trio Detektif. "Sebentar, saya panggil dia!" ­Pesawat helikopter polisi terbang berputar sekali di atas daerah itu, lalu menjauh ke arah utara. Letnan yang tadi berbicara dengan Mr. Prentice jalan, datang menghampiri. "Tidak ada siapa-siapa di dalam," kata sersan petisi melaporkan hasil penggeledahan gereja. Letnan polisi itu mendesah. "Aku tidak bisa mengerti, bagaimana ia bisa begitu cepat lari dari sini," katanya, "Helikopter kita hanya berhasil menemukan orang yang kita lari, kecuali jika ada tempat untuk bersembunyi. Sudahlah, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan malam ini." Earl, pekerja yang mengurus kerapian gereja, datang bergegas-gegas dari rumah Pastor. Ia masuk ke gereja dengan langkah-langkah marah, lalu menutup pintu dengan keras. Beberapa menit kemudian mobil-mobil patroli berangkat meninggalkan tempat kejadian itu. Sementara itu orang-orang yang menonton mulai bubar, pulang satu demi satu. Jupiter, Pete, dan Bob kembali ke gedung apartemen. Fenton Prentice masih ada di depan. Ia bercakap-cakap dengan pria bertubuh pendek kekar yang menyapanya tadi, sebelum Trio Detektif pergi melihat kesibukan polisi mencari-cari di gereja. "Maaf jika kami mengganggu, Mr. Prentice," kata Jupiter ,menyela percakapan kedua pria itu, "tapi.." "Tidak apa-apa." Mr. Prentice nampak sangat ­lesu. "Aku baru saja mendengar dari Charles-maksudku, Mr. Niedland ini-apa yang menyebabkan keributan ini?" "Rumah abangku dimasuki pencuri," kata teman Mr. Prentice itu, yang walau sudah beruban tapi masih lebat rambutnya. "Rumahnya di Lucan Court, jalan yang bersebelahan dengan jalan ini." "Aku ikut sedih, Charles," kata Mr. Prentice. "Perasaan Anda pasti sangat terluka karenanya." "Anda juga," kata Charles Niedland. "Sebaiknya Anda jangan terlalu memikirkannya. Cobalah beristirahat sedikit, untuk menenangkan perasaan. Besok kita bicara lagi." Setelah itu Charles Niedland memasuki pekarangan gedung apartemen, melintasinya, lalu pergi lewat lorong sebelah belakang. Menurut dugaan Jupiter, lorong itu mestinya menuju ke suatu gang dan ke gedung-gedung yang terletak di jalan di belakang Paseo Place. Fenton Prentice duduk di tangga, seolah-olah sudah tidak kuat lagi berdiri. "Keji sekali perbuatan itu!" ujarnya. "Maksud Anda. pencurian itu?" tanya Bob. "Edward Niedland itu sahabatku," kata Mr. Prentice menjelaskan. "Sahabat yang sangat kusayangi, dan seniman yang berbakat. Ia meninggal dunia dua minggu yang lalu, karena terserang radang paru-paru." Ketiga remaja yang masih menemaninya membisu. "Kehilangan yang sangat besar," kata Fenton Prantice lagi. "Sangat berat bagiku menerima kenyataan itu, begitu pula bagi saudaranya, Charles Niedland tadi. Lalu sekarang rumahnya kemalangan." "Ada yang hilang?" tanya Bob. Charles belum bisa mengatakannya dengan pasti. Sekarang ia ke sana untuk mengecek isi rumah, bersama polisi." Anak-anak mendengar orang berjalan dengan langkah-langkah pasti di trotoar yang mereka belakangi saat itu. Bob dan Pete berpaling. Seorang pria berpenampilan sehat dan periang dengan baju hangat berwarna kuning keabu-abuan menginjakkan kaki ke tangga beralas ubin dengan langkah enteng, hendak menuju ke pekarangan apartemen. Ia tertegun ketika melihat Mr. Prentice duduk di situ, ditemani tiga remaja pria berdiri mengelilinginya. "Ada apa?" tanya orang yang baru datang itu dengan pandangan heran. "Jadi ada pencurian di sekitar sini, Mr. Murphy," kata Mr. Prentice. "Polisi baru saja mengejar pelakunya kemari, lalu melakukan penggeledahan untuk mencarinya." "Pantas begitu banyak mobil polisi berkeliaran," kata pria yang baru datang itu. "Bagaimana, tertangkap tidak orang itu?" "Sayang sekali tidak!" "Sayang," kata Mr. Murphy. Ia mengitari Mr. Prentice yang masih terus duduk, lalu menaiki tangga menuju ke pintu gerbang. Tidak lama kemudian terdengar pintu salah satu apartemen terbuka, lalu ditutup lagi. "Rasanya lebih baik aku ke atas saja sekarang, untuk beristirahat," kata Mr. Prentice. Ia berdiri dengan lesu. "Harap kalian menelepon aku besok, Anak-anak. Dan mudah-mudahan kalian bersedia menolong aku. Aku tidak tahan lagi, terus-terusan begini. Mula-mula rongrongan gaib itu, lalu kematian Edward, dan sekarang pencurian-semuanya itu beban yang terlalu berat bagiku. Aku tidak tahan lagi!" ­Bab 3 OBAT AJAIB ­KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Bob Andrews dan Pete Crenshaw sudah muncul di depan The Jones Salvage Yard. Perusahaan yang berdagang barang-barang bekas itu milik paman dan bibi Jupiter, Paman Titus dan Bibi Mathilda Jones, Paman Titus yang paling sering berbelanja untuk melengkapi barang-barang yang dijual di tempat itu. Dia memiliki bakat untuk mengumpulkan benda-benda yang tidak lazim, di samping barang-barang rombengan biasa. Para peminat berdatangan dari segala penjuru kawasan California Selatan, untuk mencari-cari di tengah timbunan barang-barang yang dikumpulkannya. Papan-papan bingkai pelapis dinding yang diselamatkan dari rumah-rumah yang akan dibongkar, pagar-pagar besi yang serba indah buatannya, batu pualam pelapis perapian, bak-bak mandi model kuno yang kaki-kakinya berbentuk kaki binatang, tombol-tombol serta engsel-engsel pintu dari kuningan-barang-barang seperti itu bisa ditemukan di antara benda-benda bekas yang diperdagangkan oleh Paman Titus beserta istrinya. Bahkan ada pula sebuah orgel besar kuno di situ. ­Paman Titus tidak mau menjual alat musik itu, karena ia sendiri menyukainya. Ketika Bob dan Pete tiba di situ, tidak ada orang berkeliaran di sela-sela tumpukan barang rombengan untuk mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dibeli dengan harga murah. Selain tidak ada orang, pintu gerbang besi yang besar juga masih tertutup dan digembok. Pete menguap. "Kadang-kadang aku menyesal, kenapa aku kenal dengan Jupiter Jones," ujarnya dengan kesal. "Seenaknya saja anak itu, menelepon pukul enam pagi!" "Yah-memang begitu watak kawan kita itu," kata, Bob. "Tapi kita kan tahu, jika ia sampai menelepon sepagi itu, pasti ada urusan penting, Yuk!" Kedua remaja itu pergi meninggalkan pintu gerbang yang masih tertutup. Mereka menyusur pagar papan yang membatasi kompleks perusahaan barang bekas itu. Pagar itu dihiasi lukisan-lukisan yang dibuat oleh sejumlah seniman Rocky Beach kenalan Paman Titus yang sekali-sekali mendapat pertolongannya. Dinding pagar sebelah depan dihiasi lukisan pemandangan laut yang sedang bergelora, dengan sebuah perahu layar terombang-ambing dipermainkan ombak yang menggunung. Di latar depan. gambar seekor ikan yang kepalanya tersembul dari dalam air, memandang ke arah kapal layar yang sudah nyaris tenggelam. Bob menusukkan jari ke mata ikan itu, dan dua lembar papan pagar yang berwarna hijau ayun ke atas. Itulah jalan rahasia untuk masuk ke dalam pekarangan kompleks, yang diberi nama Gerbang Hijau Satu. Bob dan Pete menyusup masuk, lalu pintu rahasia itu tertutup kembali di belakang mereka. Kedua remaja itu kini berada di bengkel Jupiter yang di luar. Bengkel itu terletak di suatu tempat yang dipisahkan dari pekarangan selebihnya dengan tumpukan barang bekas yang diatur secara cermat. Di bengkel itu terdapat sebuah mesin cetak kecil. Di belakang mesin itu ada ­macam lembaran pintu terali besi. Bob menariknya ke samping. Setelah itu ia membungkuk, lalu merangkak masuk ke Lorong Dua. Ini berupa pipa seng berukuran agak besar, yang menghubungkan bengkel dengan Markas, lewat di bawah timbunan barang rombengan. Sedang markas Trio Detektif adalah sebuah karavan rongsokkan yang ditempatkan di salah satu sisi pekarangan itu. Letaknya tersembunyi di balik timbunan kayu bekas dan besi tua. Pete menyusul masuk ke dalam pipa terowongan, sambil menarik pintu terali ke tempat semula. Kedua remaja itu merangkak-rangkak dalam pipa yang panjangnya sekitar dua sampai tiga belas meter, dan berujung di bawah tingkap yang terdapat di lantai karavan. "Kenapa baru sekarang kalian datang?" Demikianlah pertanyaan Jupiter Jones, ketika Bob mendorong tingkap ke atas. Remaja bertubuh gempal pemimpin Trio Detektif itu berada di ruang laboratorium mini yang dilengkapi sendiri oleh mereka bertiga. Bob tidak menjawab, sementara Pete memanjat masuk karavan sambil mengerang. "Aku merasa lebih enak jika sudah menyikat gigi dan berpakaian dulu sebelum kemari," ujarnya. "Apa sih yang begitu penting sehingga kita harus bangun begini pagi-dan apa itu?" Pete menuding guci tembikar yang dipegang Jupiter. Jupiter memiringkan guci itu, memperlihatkan isinya yang ternyata butir-butir kristal berwarna putih. "Bubuk ajaib," katanya. Pete menghenyakkan diri ke sebuah kursi. Ia bersandar dengan lesu ke sebuah lemari arsip. Nampak jelas bahwa ia masih mengantuk. "Aku paling benci jika kau sudah mulai sok misterius," katanya, "apalagi jika saatnya begini pagi!" Jupiter mengambil sebuah botol berisi air dari rak sebelah atas meja laboratorium, lalu menuangkan beberapa tetes ke atas butir-butir kristal tadi. Kemudian ia mengaduk-aduk dengan sebuah sendok kecil dari plastik. "Butir-butir putih ini kristal salah satu persenyawaan logam," katanya. "Menurut keterangan dalam sebuah buku tua tentang ilmu kriminologi, kristal ini larut dalam air." Bob mendesah. ­"Kau hendak menguliahi kami tentang ilmu kimia." "Mungkin," Jupe membuka sebuah laci, lalu mengambil sebuah tube yang berisi semacam pasta kental berwarna putih. Isi tube itu ditekannya keluar dan dimasukkan ke dalam guci, lalu diaduknya lambat-lambat dan dengan cermat, sehingga bercampur dengan adonan yang ada di situ. "Aku sengaja menyimpan salep ini, kalau kapan-kapan kita perlukan," katanya dengan bangga. "Bahan ini berkemampuan istimewa, bisa menyerap air." Dengan wajah senang remaja itu menundukkan pala, memperhatikan adonan kental yang dapat dalam guci. "Kurasa sekarang sudah cukup," katanya sambil memasang penutup guci. "Sekarang kita punya obat ajaib!" "Kalau sudah punya, lalu kenapa?" tukas Pete. "Misalnya saja, obat ini kita oleskan pada suatu benda... katakanlah, pegangan laci meja tulis Mr. Prentice. Obat yang dioleskan itu akan tetap bersih, dan kelihatan putih. Tapi katakanlah, kemudian ada orang datang, lalu menyentuh pegangan laci itu. Dalam waktu setengah jam, akan ada bercak-bercak hitam pada jari orang itu-yang tidak bisa dihilangkan dengan air!" "Aha!" kata Bob setengah berseru. "Kau memutuskan bahwa kita akan menangani kasus itu! " "Kemarin, ketika sudah larut malam, aku ditelepon Mr. Prentice," kata Jupe. "Katanya ia ­tidak bisa tidur, karena beberapa kali merasa yakin sekali bahwa ada sesuatu yang samar-samar di dalam apartemennya. Ia merasa gugup dan takut karenanya. " "Aduh, Jupe-orang itu sinting rupanya!" kata Pete. "Apa yang bisa kita perbuat untuk dia?" "Ya, mungkin saja kesemuanya itu hanya ada dalam khayalannya saja," kata Jupiter membenarkan. "Menurut perasaanku, ia jarang sekali bergaul dengan orang lain. Dan orang yang hidupnya selalu menyendiri, kadang-kadang memang suka mengkhayalkan yang bukan-bukan. Itulah sebabnya kenapa aku semula ragu, akan kita tangani atau tidak kasusnya. Tapi mungkin kita bersikap tidak adil padanya jika kasus ini tidak kita selidiki. Sewaktu mengatakan bahwa ia tidak bisa mengadukan masalahnya pada polisi, ia memang berkata sebenarnya. Jika ternyata bahwa ia dirongrong khayalannya sendiri, mungkin kita tidak bisa menolongnya. Tapi jika di balik segala kejadian ini benar-benar ada seseorang, barangkali kita akan bisa menyelidiki siapa dia sebenarnya. Aku yakin, itu pasti akan melegakan Mr. Prentice." Jupiter memandang kedua rekannya. "Sekarang bagaimana-kutelepon saja dia untuk mengatakan bahwa kita akan datang?" Bob tersenyum. "Sebelum kau tadi menelepon kami, kau sudah tahu bagaimana jawaban kami," katanya. "Baguslah, kalau begitu," kata Jupe lagi. "Bis paling pagi dari Rocky Beach ke Los Angeles akan ­berangkat pukul tujuh. Aku sudah meninggalkan surat untuk Bibi Mathilda, memberi tahu bahwa pagi ini kita tidak ada di sini." Pete menyodorkan gagang pesawat telepon padanya. "Kalau begitu cepat-cepat sajalah kautelepon Mr. Prentice, lalu kita berangkat," kata Pete. "Aku tak ingin masih ada di sini waktu bibimu menemukan suratmu itu. Kau kan mendengar omongannya kemarin. Banyak sekali tugas yang menurut rencananya harus kaukerjakan-dan tak satu pun di antaranya menyuruhmu mengoleskan obat ajaib di apartemen orang!" ­Bab 4 ANJING SILUMAN SAAT itu sudah hampir pukul delapan, ketika Trio Detektif turun dari bis, lalu berjalan kaki menuju Paseo Place. Father McGovern, pastor gereja St. Jude sedang berada di depan tempat tinggalnya sambil merogoh-rogoh kantung ketika ketiga remaja itu lewat. Pastor itu mengucapkan selamat pagi pada mereka, sambil mengangguk dengan sikap ceria. Jupe beserta kedua rekannya tidak berjumpa dengan Mrs. Bortz yang menyebalkan itu sewaktu mereka masuk ke gedung apartemen tempat tinggal Mr. Prentice. Tapi mereka juga tidak menjumpai pria berumur lanjut itu di rumahnya. Sebagai gantinya, mereka menemukan sepucuk surat yang dicantelkan di pintu apartemen. "Kepada ketiga temanku yang remaja," demikianlah bunyi awal surat itu. "Aku saat ini ada di Lucan Court nomor 329. Rumah itu letaknya tepat di belakang bangunan ini. Aku menunggu kalian di sana. Datanglah lewat pintu depan." Jupe memasukkan surat itu ke kantungnya. "Itu rumah yang kemarin kemasukan maling," katanya. "Apa yang kalian lakukan di situ?" ­Anak-anak yang saat itu berdiri di balkon memandang ke bawah. Mereka melihat Mrs. Bortz yang baru saja muncul dari apartemennya. Rambut wanita itu acak-acakan. Ia hanya memakai kimono. "Mr. Prentice tidak ada di rumah?" tanya wanita berambut merah itu. "Kelihatannya tidak," jawab Jupiter. "Ke mana dia sepagi ini?" tanya wanita itu lagi. Anak-anak tidak menjawab. Mereka menuruni tangga, melintasi pekarangan, lalu keluar lewat sebelah belakang-sebuah gang sempit yang melewati ruang cuci dan sebuah gudang, setelah mereka menaiki beberapa anak tangga menuju sebuah lorong. Sambil berjalan ketiga remaja itu melihat tong-tong sampah, garasi-garasi, serta sisi belakang gedung-gedung yang menghadap ke arah yang bersebelahan. Seperti dikatakan oleh Mr. Prentice dalam suratnya, Lucan Court nomor 329 bertolak belakang letaknya dengan gedung apartemen tempat tinggal pria yang sudah berumur lanjut itu. Bangunannya berkerangka kayu, berbentuk persegi empat, dan tidak bertingkat. Ketika Pete membunyikan bel di depan, pintu dibukakan oleh Charles Niedland, pria berambut ubanan yang malam sebelumnya bercakap-cakap dengan Mr. Prentice. Penampilannya kuyu. "Masuklah," ujar pria itu sambil mundur sedikit. Pintu depan dibukanya lebar-lebar. Tempat yang dimasuki Trio Detektif merupakan rumah yang merangkap studio. Sebagian dari langit-langit ruang duduk terbuka, sehingga cahaya dari luar bisa masuk lewat atas. Di ruangan itu tidak terhampar karpet, sedang perabot juga hanya sedikit. Sebuah kuda-kuda tempat menyandarkan kanvas lukisan dan beberapa meja gambar terdapat di situ. Dinding-dinding penuh dengan foto dan gambar sketsa yang dilekatkan dengan paku payung, dan di mana-mana nampak buku bertumpuk-tumpuk. Selanjutnya ada pula pesawat televisi berukuran sangat kecil, begitu pula perlengkapan musik stereo yang kelihatan canggih, serta koleksi piringan hitam yang banyak sekali. Fenton Prentice duduk bertopang dagu di sebuah dipan. Ia kelihatan letih. Tapi sikapnya tenang. "Selamat pagi, Anak-anak," sapanya. "Mungkin kalian berminat mengusut satu teka-teki lagi. Ternyata yang kemalingan kemarin itu aku." "Aku yakin, itu cuma karena kebetulan saja, Fenton," kata Charles Niedland dengan nada menyabarkan "Pencuri itu pasti buru-buru minggat begitu mendengar polisi datang, sebelum ia sempat mengambil apa-apa selain Anjing Karpatia itu." Ia menoleh ke arah Trio Detektif. "Menurut Mr. Prentice, kalian bertiga ini memiliki bakat detektif. Tapi kurasa dalam kasus kali ini tidak ada hal luar biasa yang perlu diusut. Maling kemarin itu masuk lewat jendela dapur. Dengan alat pemotong kaca dilubanginya kaca jendela, lalu sesudah itu dibukanya gerendel yang ada di sebelah dalam. Cara yang biasa-biasa saja." "Tapi dia hanya mengambil Anjing Karpatia," kata Prentice berkeras. "Polisi tidak menganggap hal itu aneh," kata Charles Niedland. "Menurut mereka, pesawat televisi itu boleh dibilang tidak ada harganya. Ukurannya hanya sembilan inci! Sedang pesawat srereo, di bagian bawah alat pemutar piringan hitam dan pada kedua pengeras suara tertera nomor asuransi sosial saudaraku. Jadi pasti sulit mencari tukang tadah yang mau membeli. Selebihnya sama sekali tidak ada barang berharga sini. Gaya hidup almarhum saudaraku sangat sederhana." "Seniman hebat," kata Mr. Prentice. "Ia hidup semata-mata untuk seni." "Apa itu, Anjing Karpatia?" tanya Pete. Charles Niedland tersenyum. "Seekor anjing," jawabnya. "Anjing yang mungkin sebenarnya tidak pernah ada, kecuali dalam pikiran beberapa orang yang percaya pada takhyul. Almarhum saudaraku berwatak romantis. Ia suka menampilkan hal-hal yang romantis dalam karyanya. Di kawasan Pegunungan Karpatia-di Eropa Tenggara-ada sebuah desa, yang menurut legenda dua abad yang lalu pernah diganggu anjin­g siluman. Penduduk desa Pegunungan Karpatia itu terkenal percaya pada takhyul. Ini kalau u tidak keliru." ­Jupiter mengangguk dengan gaya orang yang tahu "Kawasan itu juga dikenal dengan nama Transilvania. Menurut cerita-cerita lama, Drakula yang suka mengisap darah itu dulu juga hidup di sana." "Betul," kata Charles Niedland, "tapi anjing siluman itu bukan vampir pengisap darah. Dan juga bukan serigala jadi-jadian. Menurut kepercayaan penduduk desa di sana, anjing itu hantu seorang bangsawan. Semasa hidupnya orang itu gemar sekali berburu, dan demi kegemarannya itu ia membiakkan sekawan anjing pemburu yang ganas. Menurut cerita, anjing-anjing itu masih keturunan serigala. Si bangsawan menginginkan mereka dalam keadaan galak sewaktu dibawa berburu, jadi dengan sengaja anjing-anjing itu diberi makan sedikit, supaya selalu kelaparan. Pada suatu malam seekor di antara anjing-anjing itu terlepas dari kandang, lalu membunuh seorang anak kecil. Begitulah menurut kisahnya." "Ih, ngeri!" seru Bob. "Ya, memang kejadian yang menyedihkan, jika memang benar pernah terjadi. Ayah si anak yang menjadi korban menuntut agar anjing-anjing itu dibinasakan. Sang bangsawan menolak. Lagi-lagi menurut cerita, ia melemparkan sejumlah uang pada orang desa yang malang itu, sebagai penebus nyawa anaknya. Sang ayah tentu saja marah sekali. Dalam keadaan begitu ia mengambil batu, lalu melemparkannya ke arah bangsawan tadi yang tewas karenanya, walau tidak dengan seketika. Sebelum menghembuskan napas penghabisan, bangsawan galak itu mengutuk desa serta segenap penghuninya. Ia bersumpah akan datang dan merongrong desa." "Dan ia kembali dalam wujud anjing?" kata Pete. "Anjing yang luar biasa besarnya," kata Charles Niedland. "Anjing raksasa yang sangat lapar, dan dari rupanya mungkin saja setengah serigala. Kawanan anjing pemburu milik bangsawan yang tewas itu sudah dibinasakan semuanya, tapi pada malam-malam yang gelap suatu makhluk kurus kering sampai tulang rusuknya membayang di bulunya, gentayangan di desa itu sambil melolong-lolong. Penduduk desa setengah mati ketakutan. Ada yang menaruh makanan di luar rumah untuk binatang itu. Tapi anjing itu tidak bisa, atau tidak mau makan. Jadi, jika benar anjing siluman itu hantu si bangsawan, maka kutukannya sebelum meninggal menjadi kenyataan. Ia benar-benar kembali untuk menghantui desa itu. Tapi ada segi keadilan yang pahit yang menyertainya, karena ia-sebagai anjing siluman-selalu kelaparan, seperti yang semasa hidupnya dialami anjing-anjing peliharaannya. Lama-kelamaan, desa itu menjadi sunyi, karena ditinggalkan penduduknya. Jika anjing setan itu masih gentayangan di sa­na, ia gentayangan di tengah bekas desa yang sepi tak berpenduduk." Dan anjing itu dilukis oleh saudara Anda?" tanya Jupe. ­"Edward bukan pelukis," kata Charles Niedland menjelaskan. "Ia memang membuat sketsa-sketsa sebagai rancangan, tapi sebenarnya ia pematung. Ia bekerja dengan bahan gelas dan kristal. Kadang-kadang kristal, yang dikombinasikan dengan bahan-bahan logam." "Anjing Karpatia merupakan karya yang sangat indah," kata Fenton Prentice. "Edward Niedland membuatnya khusus untukku. Patung itu sebenarnya sudah selesai bulan lalu, tapi tidak langsung diberikannya padaku. Waktu itu Edward sedang menyiapkan pameran karya-karyanya yang paling baru, di Galeri Maller, dan ia ingin menyertakan Anjing Karpatia. Aku tentu saja dengan senang hati mengizinkannya. Tahu-tahu sekarang patung itu lenyap!" "Jadi itu patung anjing yang terbuat dari kaca," kata Bob. "Kristal," kata Mr. Prentice mengoreksi. "Kristal dan emas." "Kristal memang sejenis kaca," sela Charles Niedland, "tapi jenis yang sangat istimewa. Kristal terbuat dari pasir yang sangat halus dan banyak mengandung oksida timah hitam. Karenanya lebih berat, dan juga lebih cemerlang jika dibandingkan dengan kaca biasa. Saudaraku bekerja dengan bahan kaca-dan kristal-yang dilelehkan. Bahan yang sangat panas itu dibentuknya dengan berbagai alat, lalu dipanaskan lagi jika mulai mendingin, dibentuk lagi, kemudian dipanaskan lagi-begitu terus, sampai diperoleh bentuk yang diinginkan. Setelah bentuk yang dikehendaki selesai dibuat, bahan itu kemudian diolah lebih lanjut, digerinda, digosok dengan kulit, dan dipoles dengan larutan asam. Akhirnya selesai dan terciptalah patung Anjing Karpatia yang hebat. Pinggiran matanya dari emas, begitu pula busa menggelembung di moncongnya. Menurut legenda, mata anjing siluman itu memang menyala-nyala." "Mungkin Anda akan bisa memperolehnya kembali," kata Bob dengan nada optimis. "Benda langka seperti itu, tentunya sulit dijual." "Itu tidak sulit, kalau calon pembelinya bukan orang yang segan-segan dan ia memang mengenal nilai karya Edward Niedland," kata Mr. Prentice. "Edward begitu muda... begitu berbakat. orang yang tidak segan-segan berurusan dengan pencuri, untuk bisa memperoleh salah hasil karyanya." Jupiter memandang berkeliling, memperhatikan tempat tinggal yang bersahaja itu. "Di sinikah ia bekerja?" tanyanya. "Tidakkah ia memerlukan tungku? Kan ia bekerja dengan kaca yang dilelehkan?" "Edward memiliki bengkel kerja di Los Angeles Timur," kata Charles Niedland. "Di sanalah tempat kerjanya yang sebenarnya." "Tidak adakah patung-patung lainnya di sini?" tanya Jupe lagi. "Saudara Anda itu, tidak adakah patung hasil karyanya yang tetap disimpan? Atau barangkali ditaruh di bengkelnya?" ­"Edward memiliki koleksi kecil-kecilan yang terdiri dari hasil karyanya sendiri serta pematung-pematung lain. Koleksi itu dulu disimpannya di sini. Setelah ia meninggal dunia, kupindahkan ke tempat yang lebih aman. Kebetulan saja Anjing Karpatia ada di sini, ketika rumah ini dimasuki pencuri." Fenton Prentice mendesah. "Pameran yang diadakan Edward di Galeri Maller berakhir beberapa hari yang lalu," kata Charles Niedland melanjutkan keterangannya. "Untuk keperluan itu ia meminjam sejumlah patung lain dari beberapa pembeli karya-karyanya dan setelah pamerannya berakhir patung-patung itu kukembalikan lagi pada masing-masing pemiliknya. Kemarin petang aku datang ke sini, maksudku hendak menyerahkan Anjing Karpatia pada Fenton, di samping menyortir buku-buku milik mendiang saudaraku. Aku tiba sekitar saat kalian menurut Fenton akan datang. Ia sudah bercerita tentang kalian, ketika aku meneleponnya untuk menanyakan kapan aku bisa datang. Jadi Anjing Karpatia ku biarkan di sini dulu, lalu aku keluar sebentar karena ingin makan dulu. Ketika aku kembali, kulihat dari balik jendela ada seseorang yang tak kukenal sedang menggerataki rumah Edward. Aku langsung menelepon polisi dari rumah salah seorang tetangga." "Kau sih, Charles, kurang berhati-hati," kata Mr. Prentice. Nada suaranya agak getir. ­"Sudahlah, Fenton, kita tidak perlu bertengkar," jawab Mr. Niedland. "Kita anggap saja itu kesialan." "Ada orang lain yang tahu bahwa Anjing Karpatia akan diserahkan kemarin?" tanya Jupe. Kedua pria itu sama-sama menggeleng. "Diasuransikan?" tanya Bob. "Ya, tapi apalah gunanya jika tidak bisa diganti?" Balas Mr, Prentice. "Itu... yah, itu bisa disamakan dengan kehilangan lukisan Monalisa! Kehilangan benda berharga seperti itu, tidak mungkin bisa ditebus dengan uang!" "Mestinya polisi sudah melakukan penelitian untuk mencari sidik jari dan lain-lainnya seperti itu," kata Jupe lagi. "Mereka lama sekali sibuk kemarin malam, menaburkan bubuk pelacak sidik jari di mana-mana," jawab Niedland. "Kelihatannya mereka tak menemukan sesuatu yang kongkret. Sekarang mereka sedang meneliti arsip mereka tentang penjahat-penjahat yang sudah dikenal, karena barangkali saja ada spesialis pencurian benda seni yang terlibat dalam kasus ini." "Saya yakin, mereka pasti bekerja dengan sangat cermat," kata Jupiter. "Saya sangsi, apakah masih ada lagi yang bisa kami lakukan." Mr. Prentice mengangguk. Setelah pamitan dari Charles Niedland, diajaknya anak-anak kembali lewat lorong, dan dari situ memasuki pekarangan gedung apartemen tempat tinggalnya. Ketika mereka berempat sampai di pekarangan, ternyata Mrs. Bortz ada di situ, sedang menyiangi daun mati ­dari sebuah tanaman. Mr. Prentice berlagak tidak melihat wanita itu. Ia langsung naik ke atas, diikuti oleh anak-anak. ­Begitu sudah berada di dalam apartemen Mr. Prentice dan pintu sudah dikunci, Jupiter mengeluarkan botol berisi adonan yang dibuatnya, lalu menjelaskan rencananya. "Pegangan laci-laci meja Anda terbuat dari bahan tembikar," katanya pada Mr. Prentice. "Itu cocok sekali untuk tujuan kita. Bahan kimia yang ada dalam botol ini bereaksi dengan logam dan bisa merusak tembaga atau kuningan. Tapi kalau tembikar, tidak apa-apa. Tombol-tombol pegangan laci itu akan kita olesi dengan adonan ini. Setelah itu kita pergi dari sini. Jika nanti ada orang masuk kemari selama kita sedang tidak ada lalu membuka salah satu laci, tangannya yang memegang tombol akan menjadi hitam." "Perongrongku kelihatannya bisa keluar-masuk dengan seenaknya sendiri, tidak peduli apakah aku ada di sini atau tidak," kata Mr. Prentice. "Kecuali itu, nampaknya baik dinding maupun pintu tidak merupakan penghalang baginya. Jadi, tombol pegangan laci saja pasti takkan merepotkan baginya!" "Setidak-tidaknya kita kan bisa mencoba, Mr. Prentice," kata Jupe. "Anda bercerita bahwa pernah suatu kali ketika Anda pulang, Anda melihat meja tulis Anda habis diacak-acak orang." ­"Baiklah," kata Fenton Prentice. "Aku mau mencoba apa saja. Lumurilah pegangan laci-laci mejaku, setelah itu kita pergi makan di luar." "Asyik!" seru Pete. "Aku memang sudah sangat lapar!" Jupe mengolesi semua tombol laci meja tulis Mr. Prentice dengan adonan bahan kimia yang dibuatnya. Ia memakai sapu tangan kertas untuk mengeluarkan adonan itu dari dalam botol. Setelah itu bersama kedua rekannya ia keluar mengikuti Mr. Prentice. Mereka berempat menuruni tangga dengan lambat-lambat, sambil berbicara dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan mengenai di mana mereka akan makan. Di pekarangan tidak ada siapa-siapa. Tapi di gerbang depan mereka menjumpai Mrs. Bortz dan pemuda bertubuh kurus yang bernama Sonny Elmquist. Mereka berdua sedang memandang ke arah gereja. Di depan pintu rumah ibadat itu nampak sebuah mobil ambulans. "Ada apa di sana?" tanya Pete. "Itu, orang yang mengurus gereja," kata Elmquist, "ia cedera! Pastor menemukannya beberapa saat yang lalu, di serambi kor!" ­Bab 5 BELANG HITAM DI TANGAN ­TRIO Detektif bergegas mendatangi gereja itu, bersama Mr. Prentice. Ketika mereka tiba di bangunan yang terletak di sebelah itu, dua orang pria berpakaian putih-putih muncul dari dalam sambil menggotong usungan. Earl tergeletak di atasnya. Orang yang bertugas mengurus kerapian gereja itu diselubungi dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke dagu. Father McGovern ikut keluar, bersama Mrs. O'Reilly, pengurus rumah tangganya yang bawel. "Ia mati," seru wanita itu berkeluh-kesah. "Mati! Dibunuh! Mati." "Ia tidak mati, Mrs. O'Reilly, puji Tuhan!" Wajah pastor itu pucat-pasi. Tangannya gemetar sewaktu mengunci pintu gereja. "Kenapa aku tidak ikut kembali bersama dia kemarin malam dan membantunya mengunci pintu-pintu," katanya dengan nada menyesali diri. "Ini bukan pertama kalinya ia terjatuh-tapi bayangkan, ia terkapar sepanjang malam, di serambi kor!" Pastor itu menuruni tangga depan gereja. "Akulah yang bersalah, karena membiarkan dia dengan kebiasaannya," katanya lagi. "Sedapat mungkin ia selalu langsung memadamkan sebagian besar lampu-lampu, lalu berjalan sambil meraba-raba dalam gelap. Dengan begitu sangkanya ia akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan." "Apa yang bisa dihematnya sekarang, dengan perbuatan konyolnya ini?" tukas Mrs. O'Reilly. "Dan siapa sekarang yang harus melakukan pekerjaannya, selama ia enak-enak menganggur di rumah sakit?" "Tentang itu Anda tidak perlu pusing, Mrs, ­O’Reilly," kata pastor itu. "Kenapa Anda tidak pulang saja dulu dan... dan membuat teh yang sedap untuk Anda sendiri?" Sambil berkata begitu masuk ke dalam ambulans yang langsung ditutup pintu belakangnya. Kendaraan itu mulai bergerak, meninggalkan gereja. "Minum teh!" tukas Mrs. O'Reilly. 'Teh yang sedap, katanya! Bagaimana sih, orang itu?! Earl kepalanya bocor, mungkin dibunuh hantu gentayangan itu, tapi dia enak saja bicara tentang minum teh!" Sambil mengomel panjang-pendek, wanita itu bergegas melewati Mr. Prentice dan Trio Detektif menuju ke tempat tinggal pastor. "Dibunuh hantu gentayangan?" kata Bob dengan heran. "Menurut perasaan Mrs. O'Reilly, di sekitar sini ada hantu," kata Fenton Prentice. "Katanya ia pernah melihatnya. Hantu bekas pastor yang meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Menurut cerita Mrs. O'Reilly, hantu pastor itu muncul di dalam gereja, tapi juga di jalan-jalan." Ketiga remaja itu dan Mr. Prentice meneruskan langkah mereka, menuju Wilshire Boulevard. "Mr. Prentice," kata Bob, "mungkinkah hantu gentayangan itu bayangan yang Anda lihat di apartemen Anda?" "Bukan!" jawab F enton Prentice. "Aku pasti akan mengenali, jika bayangan itu hantu mendiang pastor-jika hantu itu benar-benar ada. Sejauh ini, cuma Mrs. O'Reilly saja yang pernah melihatnya. Ia mengatakan, hantu itu berkeliaran malam-malam di dalam gereja, sambil membawa lilin. Kenapa ia begitu, aku sama sekali tidak bisa membayangkannya. Mendiang pastor itu orang tua yang ramah. Ketika masih hidup, aku sering diajaknya main catur. Ia tidak biasa keluyuran malam-malam. Pukul sepuluh, biasanya ia sudah masuk ke tempat tidur." Mereka berbelok di ujung jalan, dan memasuki Wilshire Boulevard. Di situ mereka berjalan sejauh beberapa blok, menuju sebuah restoran yang eksklusif. Di dalamnya, tombol-tombol pegangan pintu yang terbuat dari kuningan nampak kemilau karena tidak pernah lupa digosok selama bertahun-tahun. Kain taplak licin berkanji, dan bunga anyelir dalam vas di tengah-tengah meja yang mereka tempati jelas sekali merupakan bunga asli, tidak terbuat dari plastik. Saat itu sebenarnya sudah terlalu siang untuk sarapan, tapi masih agak pagi untuk makan siang. Hanya mereka berempat saja yang ada di ruang makan itu, di samping seorang pelayan yang berdiri dengan sikap menunggu dekat pintu yang menuju ke dapur. "Mr. Prentice," ujar Jupiter, ketika makanan yang dipesan sudah dihidangkan, "gedung apartemen tempat tinggal Anda tidak bisa dibilang kecil, tapi selama ini saya lihat tidak banyak orang di sana, selain Mrs. Bortz...." Mr. Prentice menarik muka tidak enak. "Mrs. Bortz," kata Jupiter mengulangi, "lalu Sonny Elmquist. Pemuda itu kelihatannya selalu ada di rumah pada waktu orang lain biasanya pergi bekerja." "Ia bekerja dari tengah malam sampai pagi di sebuah pasar di Vermont," kata Mr. Prentice. "Pemuda aneh! Agak memelas, sudah dewasa tapi masih saja dijuluki Sonny. Menurut yang kudengar, namanya sebenarnya Cedric. Ia menempati apartemen yang paling kecil. Kurasa penghasilannya tidak banyak. Selain dia, ada pula seorang wanita muda. Namanya Chalmers, Gwen Chalmers. Tinggalnya di apartemen yang bersebehan dengan tempat tinggal Elmquist. Kalian belum berjumpa dengan dia. Dia bekerja sebagai pegawai urusan pembelian di sebuah pasaraya di pusat kota. Sedang Mr. Murphy, ia adalah makelar saham." "Dia yang baru pulang setelah polisi pergi kemarin malam?" tanya Bob. "Betul. Ia menempati apartemen pojok di bagian belakang gedung," kata Mr. Prentice. "Kalian mungkin masih bisa melihatnya nanti. Ia selalu pagi-pagi sekali berangkat ke kantornya, karena bursa saham New York pagi-pagi sudah dibuka sedang waktu kita di sini tiga jam lebih lambat daripada di Pesisir Timur. Lewat tengah hari, biasanya ia sudah pulang. Keponakannya, seorang mahasiswa bernama Harley Johnson, saat ini sedang menginap di rumahnya. Kabarnya Murphy wali pemuda itu. Selanjutnya ada pula Alex Hassell, Manusia Kucing." "Manusia Kucing?" tanya Pete dengan heran. Fenton Prentice tersenyum. "Itu julukan yang kuberikan padanya," katanya menjelaskan. "Soalnya, ia punya kebiasaan memberi makan pada kucing. Setiap petang, sekitar pukul lima segenap kucing liar yang hidup di sekitar sini berkumpul di depan pintunya. Kucing-kucing itu selalu diberinya makan. Di samping itu ia juga memelihara seekor kucing Siam." "Apa pekerjaannya jika tidak sedang memberi makan kucing?" tanya Pete. "Mr. Hassell tidak bekerja," kata Prentice. "Orangnya kaya-raya, jadi bisa hidup seenaknya. Kurasa ia suka keluyuran ke mana-mana, mencari kucing gelandangan yang perlu diberi makan. Jika menemukan kucing yang sakit atau luka, kucing itu dibawanya ke dokter hewan untuk dirawat." "Kecuali yang sudah Anda sebutkan, siapa lagi yang tinggal di gedung apartemen Anda?" tanya Jupiter. ­"Penghuni yang selebihnya orang yang biasa-biasa saja. Seluruhnya, di gedung kami, ada dua puluh apartemen. Penghuninya kebanyakan bujangan, dan umumnya bekerja. Selama liburan ini sebagian besar dari mereka pergi berlibur ke rumah kawan atau kerabatnya. Saat ini hanya tinggal enam orang yang tidak pergi, termasuk aku. Atau tepatnya tujuh, jika keponakan Mr. Murphy, Harley si mahasiswa itu, ikut dihitung." "Dengan begitu daftar tersangka menjadi lebih pendek," kata Jupe. Mr. Prentice menatap Jupe dengan pandangan menyelidik. "Jadi menurutmu, ada salah satu penghuni yang ­cara sembunyi-sembunyi ingin tahu sesuatu tentang diriku?" "Itu tidak bisa saya katakan secara pasti, sebelum diperoleh bukti-bukti yang lebih banyak," jawab Jupe. "Tapi kemungkinan besar, pelakunya seseorang yang tahu kapan saat-saat Anda tidak ada di rumah. Jika orang itu melihat kita pergi tadi, mungkin ia akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menggeratak tempat kediaman Anda." "Dugaanmu itu mungkin benar, Jupiter," kata Mr. Prentice sambil mengangkat bahu. "Jika ada orang yang ingin membuka laci mejaku pagi ini, cukup banyak kesempatan terluang untuk melakukannya." Dengan isyarat tangan, dimintanya bon pada pelayan. Setelah menandatangani tanda pembayaran-Mr. Prentice berbuat begitu karena ia ­anggota klub yang mengelola restoran itu-ia keluar bersama Trio Detektif. Mereka kembali menelusuri Wilshire Boulevard, menuju Paseo Place. Ketika mereka lewat di depan gereja, jalan itu kelihatan lengang. Setiba di gedung apartemen mereka langsung menaiki tangga depan. Di dalam apartemen yang terletak, dekat gerbang depan, yaitu apartemen yang ditinggali oleh Mrs. Bortz. mereka mendengar bunyi air mengucur dan piring-piring berkelontangan di tempat cuci piring. "Untung saja perempuan itu dari waktu ke waktu perlu juga makan," kata Mr. Prentice mengomentari. "Coba kalau tidak, takkan pernah kami bisa hidup tenang tanpa rongrongannya." "Kelihatannya ia memang sering ada di mana-mana," kata Pete sambil tertawa. ­"Kurasa dari lahir ia sudah selalu ingin tahu dan gemar menggunjingkan orang lain," tukas Mr. Prentice. "Ada-ada saja pertanyaannya, sampai hal-hal yang sama sekali bukan urusannya. Ia bahkan tak segan-segan mengaduk-aduk tempat sampah. Sudah beberapa kali aku memergokinya. Andaikata tidak begitu pun, aku bisa menebaknya. Karena kalau tidak dengan cara mengintip isi tempat sampah, dari mana dia bisa tahu bahwa Miss Chalmers biasa makan hidangan beku yang dipanaskan, atau kucing-kucing liar yang diberi makan oleh Mr. Hassell dalam seminggunya menghabiskan lebih dari empat puluh kaleng makanan kucing?" ­Ketiga penyelidik remaja itu mengikuti Mr. Prantice ke apartemennya. Ketika pria itu membuka pintu apartemen dengan anak kuncinya, Jupiter memperingatkan, "Nanti jangan sentuh apa pun juga di dalam." Ia mengeluarkan kaca pembesar berukuran kecil dari kantungnya, lalu pergi ke ruang hobi Mr. Prentice. Dihampirinya meja tulis, lalu ditelitinya pegangan laci-laci dengan bantuan kaca pembesar. "Aha!" serunya. ­Mendengar suara Jupe, dengan segera Mr. Prentice datang lalu berdiri di ambang pintu. "Ternyata selama kita pergi tadi, ada orang datang dan membuka laci-laci meja ini," kata Jupiter. "Manusia biasa, dengan tangan yang meninggalkan bekas. Bahan kimia yang kuoleskan sini terhapus sedikit." Bob pergi ke dapur untuk mengambil tisu. Dengannya Jupiter membersihkan pegangan laci-laci. "Bolehkah kami membuka laci-laci ini?" tanyanya pada Mr. Prentice. "Silakan!" Jupiter membuka laci yang paling atas. "Coba Anda periksa sebentar, barangkali ada barang yang hilang," katanya pada pria itu. "Selama ini belum pernah ada sesuatu pun yang hilang," kata Mr. Prentke. "Tapi kelihatannya ada yang meneliti rekening dari kantor telepon itu. Tadi pagi letaknya masih di sebelah belakang." ­"Orang yang memungutnya, meninggalkan bekas jarinya di sampul ini. Rupanya banyak juga adonan bahan kimia yang melekat di tangannya. Wajah Jupiter berseri-seri menandakan kepuasannya. Setelah itu ia pergi ke pintu depan, lewat ruang duduk. Ia membungkuk, untuk meneliti tombol pegangan pintu. "Aku tadi tidak mengolesi tombol ini dengan adonanku," katanya mengingatkan kedua rekan-rekannya, "tapi sekarang nampak bekas-bekas tangan di sini." ­"Kalau begitu, sekarang kita sudah tahu lewat mana tamu tak diundang itu keluar," kata Bob. "Ia membuka pintu depan, lalu keluar." "Sedang tombol pengunci otomatis sebelumnya sudah ditekan dari dalam," kata Jupe. Ia membuka pintu, lalu memeriksa lubang kunci khusus itu dari luar. Kelihatan jejak-jejak bahan kimia di situ: "Betul," katanya, "rupanya ada yang memiliki anak kunci untuk membuka kunci khusus ini." ­"Itu mustahil!" kata Fenton Prentice, "Aku sendiri yang memesan kunci khusus itu, menggantikan kunci yang biasa, Tidak ada orang lain yang memiliki anak kunci itu untuk membukanya!" "Tapi ternyata ada," kata Jupe bersikeras. Pintu depan ditutup lagi. Bersama Mr. Prentice, ketiga penyelidik remaja itu melanjutkan pemeriksaan di dalam apartemen. Mereka menemukan bekas-bekas jari lagi di pinggir cermin di kamar mandi. "Tamu tak diundang itu memeriksa lemari obat Anda," kata Jupiter pada Mr. Prentice. Pria itu mendengus kesal. "Yah, setidak-tidaknya ada kemajuan dalam penyelidikan kita," kata Jupiter. "O, ya?" kata' Mr. Prentice. "Tentu saja!" Nada suara Jupiter terdengar yakin. "Kita sekarang tahu bahwa perongrong An­da yang misterius itu tidak bisa membuka laci tanpa menyebabkan tangannya kotor. Dan ia tadi meninggalkan apartemen ini lewat jalan yang biasa, yaitu dengan membuka pintu depan. Sekarang kita ke pekarangan di bawah! Kita duduk-duduk di situ untuk mengamat-amati. Tidak lama lagi kita akan tahu, siapa orang yang di masuk kemari." "Bagaimana jika orang itu bukan penghuni gedung ini?" tanya Mr. Prentice. "Saya yakin, pelakunya orang sini juga," kata Jupe. "Orang yang tadi pagi melihat kita pergi beramai-ramai." Ketiga remaja itu meninggalkan Mr. Prentice di apartemennya. Sampai di pekarangan, mereka menghampiri kursi-kursi yang tersedia di tepi kolam renang, lalu duduk di situ. Mereka menunggu. "Hebat, kolam renang ini," kata Pete setelah beberapa saat membisu. Bob berdiri dari kursinya, lalu berjongkok di tepi ­kolam. Ia memandang ke dasarnya, yang nampak jelas di bawah air yang jernih. Dasar kolam itu beralaskan ubin berwarna biru dan kuning keemasan, yang diatur secara acak, "Wah, benar-benar indah," katanya mengomentari. "Aku jadi teringat kolam renang yang di dalam gedung mewah milik Randolph Hearst," katanya. "Maksudmu, Hearst Castle yang di San Simeon itu?" tanya Pete. "Yah. Wah, airnya dihangatkan," sambung Bob, setelah mencelupkan tangan ke dalam kolam. Saat itu terdengar langkah orang berjalan menaiki tangga di depan. Pintu gerbang terbuka. Seekor kucing berbulu kelabu lari memasuki pekarangan, disusul seorang pria berambut cokelat muda yang mengenakan baju hangat putih dan jaket berwarna kuning kecokelatan. Pria itu memandang secara sambil lalu ke arah anak-anak yang sedang berada di tepi kolam, lalu melintasi pekarangan menuju sebuah pintu yang terdapat di sebelah belakang. Kucing kelabu tadi mengikuti- nya, tapi ditinggal di luar ketika pria itu masuk ke apartemennya. Beberapa saat kemudian orang itu sudah keluar lagi dengan piring berisi makanan. Piring itu diletakkannya di ubin pekarangan. Kucing yang menunggu langsung makan dengan lahap, ditunggui pria tadi yang berjongkok di dekatnya. "Itu Hassell," kata Bob berbisik. "Kita berpapasan dengan dia yang hendak keluar kemarin malam, sewaktu kita tiba di sini." ­"Rupanya ia menemukan kucing gelandangan yang baru," kata Pete. "Kucing itu belum tahu bahwa waktu makan untuk kucing-kucing pukul lima sore." Begitu selesai makan, kucing itu langsung pergi lagi. Mr. Hassell masuk lagi ke apartemennya, dengan membawa piring yang sudah kosong. Beberapa saat kemudian kembali terdengar langkah orang menaiki tangga depan, dan sekali lagi pintu gerbang terbuka. Ternyata yang datang Mr. Murphy, pria setengah umur yang bertubuh kekar. Di tangannya ada rokok yang menyala. Ia mengangguk sambil tersenyum ke arah ketiga remaja yang berada di tepi kolam, lalu menuju ke apartemennya yang bersebelahan dengan tempat tinggal Mr. Hassell. Pintu apartemennya sudah terbuka sebelum orang itu sampai di situ. Seorang pemuda yang umurnya kira-kira dua puluh tahun berdiri di ambangnya. Wajah pemuda itu masam. "Uncle John," tukasnya. "Tidak bisakah Paman sepuluh detik saja tidak merokok?'" "Sudahlah, Harvey, jangan suka cerewet! Banyak urusan yang memusingkan diri ku hari ini. Mana asbakku?" "Tadi kucuci lalu kutaruh di luar, dekat kolam. Seluruh apartemen bau asap rokok." Pria yang bernama Murphy itu berpaling, lalu menuju sebuah meja yang terletak dekat Jupiter serta kedua rekannya. Ia merebahkan diri ke sebuah kursi, menjentikkan abu rokok ke sebuah asbak besar berbentuk mangkuk yang terletak di atas meja, lalu mengisap rokoknya lagi. "Mudah-mudahan kalian tidak suka merongrong orang tua kalian seperti anak itu tadi," katanya pada mereka. "Ayah dan ibu saya tidak merokok," kata Pete. Mr. Murphy mendengus. "Mungkin aku pun sebaiknya tidak merokok," katanya berterus terang. "Yah, setidak-tidaknya aku selalu berhati-hati agar tidak menyebabkan barang-barang berlubang kena api rokokku. Aku punya asbak satu lagi seperti ini, di kantorku. Kalaupun aku lupa bahwa sedang merokok dan rokok itu kubiarkan saja di asbak, maka rokok itu tidak mungkin bisa jatuh dari situ." Dengan cermat dipadamkannya rokok yang sudah tinggal puntungnya itu. Kemudian ia berdiri, lalu pergi ke apartemennya dengan membawa asbak tadi. Ketika orang itu sudah masuk, Pete memandang ke apartemen yang didiami oleh Sonny Elmquist di seberang kolam. "Elmquist ada di rumah atau tidak, ya?" katanya ingin tahu. "Tirai apartemennya tertutup semua. Bagaimana jika kita membunyikan belnya, lalu-" "Sebentar'" Dengan cepat Jupiter Jones meluruskan si­ap duduknya. Ketiga remaja itu melihat Mrs. Bortz memasuki pekarangan. Wanita itu menggosok-gosok tangannya dengan selembar tisu. ­"Anak-anak tidak diizinkan berada di sekitar kolam, jika tidak ditemani orang dewasa," katanya mengomel. Jupiter tidak mengacuhkan ucapannya itu. Ia berdiri, lalu menghampiri wanita itu. "Coba kulihat tangan Anda sebentar, Mrs. Bortz," katanya. "Apa?" "Tangan Anda, Mrs. Bortz!" Kini Jupiter mengatakannya dengan lebih lantang. Terdengar bunyi pintu terbuka di tingkat atas. Mr. Prentice muncul di tepi balkon. "Ada belang-belang hitam di telapak tangan anda!" kata Jupiter lagi. Fenton Prentice bergegas menuruni tangga. "Ya... memang betul," kata Mrs. Bortz agak bingung. "Rupanya aku tadi memegang sesuatu di dapur." "Anda tadi memasuki apartemen Mr. Prentice," kata Jupiter bernada galak, "Anda membuka laci meja tulisnya, memeriksa surat-suratnya, dan bahkan membuka lemari obatnya. Andalah orang yang memata-matai dia!" ­Bab 6 MISTERI MANDALA ­MRS. BORTZ nampak kehilangan akal-mungkin baru sekali itu selama hidupnya. Ia menatap Jupiter dengan mulut ternganga, sementara air mukanya makin lama makin memerah. "Percuma saja Anda menggosok-gosok tangan," kata Jupe. "Bekas itu takkan bisa hilang." Saat itu Mr. Prentice muncul di belakang anak-anak. "Aku ingin bicara sebentar dengan Anda, Mrs. Bortz," katanya. Suara itu menyebabkan pengurus gedung apartemen itu sadar dari kekagetannya tadi. Ia berpaling menatap Mr. Prentice, lalu berteriak dengan suara melengking, "Anda tahu saya disebut apa oleh anak-anak kurang ajar ini?" "Ya, dan mereka benar!" tukas Mr. Prentice. "Tapi orang lain di gedung ini tidak perlu ikut tahu." Ia bergerak, melangkah ke arah apartemen tempat tinggal Mrs. Bortz. "Kita bereskan urusan ini di antara kita saja." "Aku... aku sedang sibuk," kata wanita. "Aku... aku banyak urusan. Anda kan juga tahu." "Ya, tentu saja, Mrs. Bortz," kata Mr. Prentice. "Apa yang sedang hendak Anda lakukan saat ini? Memeriksa isi tong-tong sampah di gang? Dengan sembunyi-sembunyi masuk apartemen orang lain? "Ayolah, Mrs. Bortz, kita masuk saja dan berbicara di dalam. Atau Anda lebih suka jika aku menelepon pengacaraku?" Mrs. Bortz terkejut, lalu cepat-cepat masuk ke apartemennya. "Kurasa lebih baik urusan ini kutangani sendiri saja," kata Mr. Prentice sambil tersenyum pada Trio Detektif. "Tapi aku akan senang jika kalian mau menunggu sampai urusanku yang ini selesai." Setelah itu ia menyusul Mrs. Bortz ke apartemennya, lalu menutup pintu. Jupe, Pete, dan Bob tetap tinggal di pekarangan, sambil membisu selama beberapa menit. Mereka mendengar suara Mrs. Bortz yang melengking dan bernada marah. Tapi mereka tidak bisa menangkap kata-katanya. Sekali-sekali wanita itu terdiam. Ketiga remaja yang menunggu di luar dapat membayangkan bahwa pada saat-saat itu Mr. Prentice yang berbicara, dengan suara tenang tapi pasti, dan mungkin dengan sikap mengancam. "Pak Tua itu orang yang baik hati," kata Pete, tapi aku yakin dia bisa bersikap galak terhadap orang yang menyakiti perasaannya." Terdengar bunyi berderak. Pintu depan sebuah apartemen yang terletak di seberang kolam renang terbuka. Sonny Elmquist muncul dari dalam. Matanya terkejap-kejap, rupanya silau kena sinar matahari. Ia memakai celana jeans yang sudah usang, serta kemeja yang beberapa kancingnya hilang. Ia tidak memakai sepatu. Sonny Elmquist menguap. "Selamat pagi," sapa Jupiter. Elmquist terkejap, lalu mengusap-usap matanya. Nampak bahwa ia belum mencuci muka dan menyisir rambut. Ia membalas sapaan itu dengan suara tidak jelas. Nyaris saja ia terjatuh, ketika keluar dari pintu apartemennya yang dibiarkan terbuka. Kelihatannya ia bingung memilih tempat duduk di salah satu kursi yang ada di dekat anak-anak, atau tetap berdiri sambil menatap dengan pandangan kosong ke arah kolam. Akhirnya kedua-duanya tidak dilakukannya. Ia duduk bersila di ubin lantai pekarangan. Jupiter mengenali sikap duduk seperti itu, dengan kedua kaki ditumpangkan di atas paha. Itu sikap duduk orang yang belajar yoga. "Selamat pagi," kata Jupiter sekali lagi. Pria muda itu memalingkan wajahnya yang pucat ke arah Jupiter, lalu menatapnya sejenak sambil tetap membisu. Warna mata orang itu tidak jelas. Bagian yang putih kelihatan merah, seakan-akan kurang tidur. "Sekarang ini masih pagi?" katanya. Jupiter memandang arlojinya. "Sebenarnya, tidak! Sudah pukul satu lewat." Sonny Elmquist menguap lagi. "Menurut Mr. Prentice, Anda bekerja di pasar yang buka sepanjang malam, di Vermont," kata Jupe. ­Sikap Elmquist tidak lagi nampak seperti sedang melamun. Ia tersenyum. "Dari tengah malam, sampai pagi," katanya. "kadang-kadang berat rasanya, tapi mereka memberi tambahan upah jika kita mau bekerja pada waktu-waktu itu. Dan pada waktu di sana tidak sedang sibuk, aku bisa belajar." "Anda bersekolah?" tanya Jupiter. Sonny Elmquist mengibaskan tangannya, seakan-akan bersekolah itu hanya membuang-buang waktu saja. "Itu sudah lama kulewati," katanya pada tiga remaja itu. "Ayahku ingin aku kuliah, menjadi dokter gigi seperti dia. Tapi aku tak kepingin. Berdiri sepanjang hari, mengorek-ngorek geraham orang lain sampai punggung pegal. Untuk apa? Lagi pula, sega1a-galanya kan cuma ilusi belaka." "Ilusi?" kata Pete. Ia tidak mengerti. "Ya, betul, ilusi. Palsu! Seluruh dunia ini cuma bayangan palsu belaka. Kita semua ini seperti orang-orang tidur yang bermimpi buruk. Tapi aku, aku akan bangun!" "Anda belajar apa?" kata Jupe. "Meditasi," kata Elmquist. "Bersemadi! Itu satu-satunya jalan agar bisa mencapai Kesadaran yang Tertinggi." la meluruskan lututnya, lalu berdiri. Nampaknya ia senang karena ada yang mau mendengar omongannya. "Saat ini aku sedang menabung," katanya lagi. "Aku ingin pergi ke India, mencari seorang suci di sana pada siapa aku bisa berguru. Di sanalah tempat guru-guru yang paling baik. Aku memilih bekerja malam-malam, karena upah tiap jamnya lebih tinggi. Tidak lama lagi tabunganku sudah akan cukup untuk ongkos pergi ke India dan tinggal di sana selama tiga atau empat tahun, atau entah sampai kapan, sampai bisa tahu... yah, bisa tahu segala-galanya. Aku tidak ingin belajar pengetahuan ilmiah atau lain-lainnya yang seperti itu, karena pasti tidak ada gunanya sama sekali. Yang ingin kuketahui ialah, bagaimana caranya agar dalam hidup kita tidak menginginkan apa-apa lagi. Cuma itu saja yang patut dikejar. Betul tidak?" "Yah-" sambut Bob dengan nada ragu, "memang, kurasa jika kita tidak menginginkan apa-apa lagi... jika semua yang diinginkan sudah kita miliki..." "Bukan, bukan begitu! Kau belum mengerti!" seru Elmquist. "Aku juga tidak kepingin mengerti," gumam Pete. "Soalnya sangat sederhana. Idam-idaman, menginginkan sesuatu, itulah awal kesulitan kita. Misalnya saja Prentice. Satu-satunya yang menjadi pikiran Pak Tua itu cuma harta miliknya saja -koleksinya! Dalam kehidupannya yang mendatang, mungkin ia akan menjelma menjadi... menjadi tikus besar, yang suka menimbun berbagai benda kecil." "Jangan begitu dong!" protes Pete. "Dia kan orang baik." Sonny Elmquist menggeleng. ­"Aku bukan hendak mengatakan bahwa ia mau mencuri atau mencederai orang lain jika menginginkan sesuatu," katanya menjelaskan. "Aku cuma hendak mengatakan, ia begitu menyayangi harta miliknya, dan selalu ingin punya lebih banyak lagi. Pak Tua itu takkan pernah sadar bahwa sebenarnya ia hanya mengejar-ngejar sesuatu yang palsu. Sesuatu yang fana! Kalian mengerti, tidak? Maksudku, sesuatu yang tidak kekal. Kalian tahu tidak dia memiliki sebuah mandala. tapi dia tidak tahu cara penggunaannya yang benar? Cuma menggantungkannya saja sebagai penghias dinding. Seperti lukisan." "Mandala? Apa itu?" tanya Pete. Elmquist bergegas masuk ke apartemennya. Sesaat kemudian ia sudah kembali, dengan membawa buku berukuran kecil. "Memiliki mandala, itulah idam-idamanku," katanya bersemangat. "Itu semacam diagram, gambar jagat raya. Jika kita bersemadi, memusatkan pikiran pada gambar itu, segala sesuatu yang fana dalam hidup ini akan lenyap, dan kita menjadi satu dengan jagal raya." Elmquist membuka buku yang dibawanya, lalu menunjukkan sebuah gambar dengan warna-warna semarak. Gambar itu terdiri dari segitiga-segitiga bertumpang-tindih, yang dikelilingi sebuah lingkaran. Sedang lingkaran itu dibatasi sebuah segi empat. "Rasanya aku tidak melihat gambar seperti ini di apartemen Mr. Prentice," kata Pete. ­"Mandalanya jauh lebih rumit bentuknya daripada ini," kata Elmquist menjelaskan. "Mandalanya berasal dari Tibet, dan dihiasi dengan gambar sejumlah dewa kuno." Elmquist menutup bukunya. "Pada suatu hari, aku juga. akan punya mandala," katanya. "Seorang guru yang akan membuatkannya untukku, Sebelum punya, aku menggunakan televisi saja." "Hah?" Nampak jelas bahwa Bob kaget. "Televisi," ulang Sonny Elmquist. "Itu menolong ku untuk melepaskan diri. Maksudku, pada waktu pulang sehabis bekerja sepanjang malam di tempat pembayaran di pasar, diri ku benar-benar terkungkung. Seperti dalam penjara rasanya. Aku lantas menghidupkan pesawat televisi, tapi kubiarkan tanpa bunyi. Lalu aku menatap suatu titik di tengah-tengah layar, atau bisa juga salah satu sudutnya. Aku bahkan sama sekali tidak berusaha memperhatikan apa yang nampak di layar. Aku cuma melihat pola-pola warna. Dengan segera aku merasa sudah jauh dari pasar, dari segalanya. Aku bahkan merasa tidak ada di dunia ini lagi." "Anda tertidur," kata Bob menebak. Elmquist kelihatan agak kikuk mendengar ucapan itu. "Yah-itulah sulitnya jika kita sedang bersemadi," katanya mengaku. "Kadang-kadang perasaanku menjadi begitu damai, sehingga aku tertidur dan bermimpi, cuma..." ­Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Mr. Prentice muncul dari apartemen Mrs. Bortz. Ia berdiri di ujung bawah tangga, memandang ke arah mereka yang sedang bercakap-cakap. "Maaf," kata Jupiter pada Sonny Elmquist, "Kami harus pergi." "Mampirlah kapan-kapan, jika aku ada di rumah," kata Elmquist bergairah, "dan jika aku kebetulan tidak sedang bersemadi. Dengan senang hati akan kuceritakan lebih banyak lagi tentang mandala, dan tentang... tentang perjalananku yang akan datang itu." Setelah mengucapkan terima kasih padanya, Jupe dan kedua rekannya mendatangi Mr. Prentice. Ketika sudah berada dalam apartemennya, pria berumur itu mengambil tempat duduk di salah satu kursi besarnya yang rendah dan empuk. "Betul kan, Mrs. Bortz memiliki anak kunci untuk membuka pintu apartemen ini?" kata Jupiter memancing. "Ya, memang," kata Mr. Prentice mengakui. "Katamu benar, ketika sejak awal kau mengatakan pasti masih ada satu anak kunci lagi. Brengsek sekali perempuan itu! Padahal aku secara khusus meminta penambahan dalam perjanjian sewa-menyewa, untuk menegaskan bahwa apartemenku sama sekali tidak boleh dimasuki orang yang dipekerjakan sebagai pengurus gedung ini. Mungkin aku akan menghubungi perusahaan Martin Company, pemilik bangunan ini." ­"Bagaimana sampai ia bisa punya anak kunci itu?" tanya Bob. "Ternyata dengan cara yang gampang saja," kata Mr. Prentice. "Ketika aku sedang berada di Eropa dua bulan yang lalu, ia memanggil tukang kunci yang sudah sering dipanggilnya untuk membetulkan ini dan itu. Sudah jelas tukang itu tidak lagi meragukan kewenangannya. Mrs. Bortz mengatakan padanya bahwa anak kunci untuk membuka pintu apartemen ini hilang, sedang ia perlu masuk kemari untuk memeriksa salah satu pipa yang mungkin bocor. Tukang itu membongkar kunci pintu, membuat sebuah anak kunci untuk perempuan itu, lalu kunci dipasangnya kembali di tempat semula." "Serba ingin tahu. wanita itu," kata Jupiter mengomentari. "Ya, melitnya itu sudah bisa dibilang penyakit," kata Penton Prentice. "Yah, dengan begitu sudah terjawab teka-teki tentang siapa yang suka dengan diam-diam membuka laci-laci mejaku dan memeriksa surat-surat pribadiku. Tentu saja anak kunci itu langsung kuminta. Aku benar-benar berterima kasih pada kalian bertiga." Sambil tersenyum dengan sikap malu-malu. ia menambahkan, "Terus terang saja, aku benar-benar lega ketika mengetahui bahwa orang tak dikenal yang berulang kali memasuki apartemenku itu ternyata Mrs. Bortz. Maksudku, ternyata tamu tak diundang itu manusia biasa. Rupanya bayangan yang pernah kulihat itu ternyata cuma ada dalam bayanganku saja. Sungguh konyol sekali kalau kupikirkan sekarang! Aku begitu gelisah waktu menyadari bahwa ada orang yang dengan diam-diam masuk ke tempat tinggalku. Mestinya kewarasan pikiranku agak terganggu waktu itu! Mungkin karena keseringan mendengar cerita-cerita hantu dari Mrs. O'Reilly." Mr. Prentice menggeleng-geleng, seakan-akan heran memikirkan kekonyolannya sendiri. Jupiter menggigit-gigit bibir. Itu merupakan pertanda bahwa ia sedang sibuk berpikir. Sementara itu tatapan matanya terus terarah pada pria tua Akhirnya ia tersenyum. "Nah, kalau begitu selesailah urusannya. Kami pun senang, bisa membantu Anda," ia beranjak, seperti hendak pergi. "O ya, ngomong-ngomong, an­da memiliki sebuah mandala, Mr. Prentice?" "Ya, betul. Bagaimana kau bisa tahu? Kau ingin melihatnya?" Melihat Jupe mengangguk, pria itu mengajak anak-anak ke ruang hobinya, lalu ia menuding sebuah gambar berbingkai yang dipasang di dinding, di atas meja. Gambar itu rumit bentuknya, sedang warna-warnanya meriah. Sebuah lingkaran dengan hiasan melingkar-lingkar mengurung sebuah bentuk persegi empat. Wujud sejumlah dewa nampak di keempat sudut gambar itu. Bagian tengahnya terdiri dari beberapa segi tiga yang bertumpang tindih dan saling memotong, melingkupi lingkaran-lingkaran berukuran lebih kecil yang berisi gambar wujud makhluk-makhluk yang kecil sekali bentuknya. "Dulu ini milik seorang seniman muda kenalanku, yang pernah ke Tibet," kata Mr. Prentice. "Mandala ini dibuat khusus untuk dia. Sudah lama sekali. Kenalanku itu sudah lama meninggal dunia. dan mandala ini kubeli ketika barang-barang peninggalannya dijual. Aku selalu mengagumi gambar ini sebagai hiasan yang menarik, walau pengetahuanku tentang agama-agama di Asia cuma sedikit saja." "Pernahkah Sonny Elmquist masuk kemari, Mr. Prentice?" tanya Jupiter Jones. "Tentu saja tidak," jawab Mr. Prentice. "Kecuali makhluk perempuan jahat yang dipekerjakan sebagai pengurus bangunan ini, tidak ada penghuni lain yang pernah masuk kemari. Seperti kau ketahui, aku paling tidak suka bergaul. Dan Elmquist itu orang yang paling tidak mungkin kuberi kesempatan masuk kemari. Ada-ada saja gagasan sintingnya, lagi pula kelihatannya ia bukan orang yang mementingkan kebersihan." "Ya, memang," kata Jupe sependapat. "Tapi pernahkah Anda membawa mandala ini keluar, untuk diperbaiki? Katakanlah untuk diberi bingkai, misalnya?" Prentice menggeleng. "Sudah lebih dari sepuluh tahun mandala ini selalu tergantung di dinding situ. Hanya ketika apartemen ini dicat saja, pernah diturunkan. Kenapa kau bertanya?" ­"Dari mana Sonny Elmquist tahu bahwa Anda miliki sebuah mandala?" "Dia tahu?" "Ya! la bahkan tahu bahwa mandala milik Anda asal dari Tibet. Ia memiliki buku dengan gambar mandala yang mirip dengan milik Anda, hanya jauh lebih sederhana bentuknya." Prentice mengangkat bahu dengan sikap tak acuh. "Aku hanya bisa menduga bahwa koran-koran yang menyebalkan menyebut bahwa dalam koleksiku ada sebuah mandala. Teman-temanku kalangan seni mengetahui hal itu." Jupiter mengangguk, lalu menuju ke pintu. "Kau jangan mencari-cari misteri lagi sekarang, Jupiter," ujar Mr. Prentice dengan riang. "Satu saja sudah cukup!" "Anda benar. Mr. Prentice," kata Jupiter pendapat. "Dan saya senang bahwa kami berhasil mengusutnya sampai tuntas. Anda jangan segan-segan menghubungi kami lagi, jika kapan-kapan menghadapi kesulitan." "Ya, tentu saja itu akan kulakukan." Mr. Prentice menyalami ketiga remaja itu, lalu mengantar mereka keluar. Jupe, Bob, dan Pete menuruni tangga, lalu keluar ke jalan. "Nah, selesailah urusan itu!" ujar Pete, sementara mereka bertiga menuju tempat pemberhentian bis. "Kurasa itu kasus yang kita selesaikan dalam waktu paling singkat! Lalu sekarang apa yang akan kita kerjakan untuk mengisi sisa liburan Natal?" "Yang jelas, kita harus menghindari The Jones Salvage Yard," tukas Bob. "Bibi Mathilda pasti mau sekali menyibukkan kita! Dan kau pasti jadi korbannya, Jupe'" Jupe hanya mendengus saja, karena sedang sibuk memikirkan urusan lain. Sepanjang jalan pulang ke Rocky Beach, ia nyaris tidak berbicara sama sekali. Ketika anak-anak itu kemudian berpisah di luar pekarangan kompleks penimbunan barang bekas yang dikelola paman dan bibi Jupiter, remaja itu tiba-tiba membuka mulut. "Kuminta kalian jangan jauh-jauh dari pesawat telepon di rumah kalian. Teman-teman," katanya. "Ada kemungkinan, tidak lama lagi Trio Detektif harus beraksi kembali. Kurasa tadi itu bukan terakhir kalinya kita berurusan dengan Fenton Prentice. " Sambil tersenyum, ia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Senyumannya mengandung teka-teki. ­Bab 7 SINAR REMANG DI DALAM GEREJA ­BIBI MATHILDA langsung mengomel, begitu dilihatnya Jupiter memasuki pekarangan. "Kau pergi begitu saja tadi pagi, tanpa minta izin terlebih dulu! Menulis surat lalu mencantelkannya ke bantalmu, tidak sama dengan mengatakan padaku kau hendak ke mana. Padahal aku tadi sudah merencanakan-" "Sehabis perayaan Natal, di sini selalu tidak banyak kesibukan," kata Jupiter mengetengahkan alasan. "Dan sekarang aku punya waktu untuk bekerja sampai malam." "Kalau begitu, bekerjalah," gerutu Bibi Mathilda. "Pamanmu baru saja kembali dengan membawa barang-barang setruk penuh. Kaupilihi barang-barang itu, dan teliti mana yang masih baik dan mana yang bisa dibetulkan. Kurasa akhirnya kau sendiri yang nanti akan membeli separuh dari peralatan itu." Jupiter nyengir. Ia memang selalu mencari-cari barang bekas yang bisa dimanfaatkan, untuk dijadikan perlengkapan penyelidikan. Di dalam Karavan yang merupakan kantor Trio Detektif banyak terdapat_ peralatan yang dibetulkan olehnya, atau dibuat dari bermacam-macam barang bekas: walkie-talkie, alat pengeras suara yang dipasangnya pada pesawat telepon, sebuah alat perekam suara, sebuah teropong. Sebagian besar upah yang diperoleh Jupiter dari bekerja di perusahaan paman dan bibinya, dipakainya untuk membeli barang-barang itu. Sepanjang sore Jupiter asyik menyortir barang-barang bekas yang siang itu baru dibeli Paman Titus. Beberapa benda yang menurut perkiraannya bisa dimanfaatkan, disisihkan olehnya. Pukul enam sore ia pergi ke rumah paman dan bibinya yang terletak di seberang jalan, untuk makan malam. Satu jam kemudian, telepon berdering. Bibi Mathilda yang menerima. "Untukmu, Jupiter," katanya kemudian. Jupe menerima gagang pesawat yang disodorkan. Matanya bersinar-sinar. "Kaukah itu, Jupiter?" kata orang yang menelepon. Suaranya gemetar. "Di sini Fenton Prentice. Kau pasti takkan mau percaya, Jupiter, tapi... tapi ternyata masih ada sesuatu yang gaib dalam apartemenku. " Jupiter tidak terkejut mendengarnya. "Ya," katanya dengan singkat. "Setelah kau berhasil menjebak Mrs. Bortz, aku lantas yakin bahwa bayangan samar yang menurutku pernah kulihat waktu itu sebenarnya hanya ada dalam pikiranku saja," sambung Mr. Prentice. "Tapi ternyata aku keliru! Baru saja aku melihatnya lagi, di ruang hobiku! Ada hantu menggangguku, atau aku ini yang sudah sinting!" ­"Anda menginginkan kami datang malam ini juga?" tanya Jupiter. "Ya, kuharap kalian mau datang. Aku bahkan akan senang sekali jika kalian bertiga mau menginap di sini, menemani aku. Aku biasanya tidak suka kalau ada orang lain, tapi... yah, tidak kuat hatiku jika hanya seorang diri saja di sini! Setiap saat aku menunggu, menunggu kapan... kapan makhluk itu muncul lagi! Aku tidak tahan lagi." "Kami akan datang selekas mungkin," kata Jupiter berjanji. "Jupiter! Kau ini, selalu saja keluyuran, begitu ada kesempatan," keluh Bibi Mathilda, begitu Jupiter meletakkan gagang telepon. Tapi ketika Jupiter dengan singkat bercerita tentang pria tua yang sedang ketakutan dan memerlukan bantuan Trio Detektif, Mrs. Jones langsung ikut merasa kasihan. "Kasihan," katanya. "Berumur lanjut saja sudah cukup tidak enak, apalagi ini-hidup seorang diri. Pergilah kalian, temani Pak Tua itu selama dia mau. Pamanmu bisa mengantarkan kalian ke kota." Jupe menelepon Bob dan Pete, untuk memberi tahu. Tidak lama kemudian ketiga remaja itu sudah bergegas-gegas naik ke bak belakang mobil pick-up Paman, Titus, untuk diantar ke Los Angeles. "Sekali lagi dugaanmu tepat, Jupe," kata Pete sambil duduk dengan santai. "Bagaimana kau bisa ­tahu bahwa Mr. Prentice akan menghubungi kita lagi?" "Soalnya, aku yakin bayangan yang muncul dalam apartemennya itu tidak hanya ada dalam pikirannya saja. Aku sendiri juga melihatnya." "Apa?" seru Bob kaget. "Kapan?" "Kemarin, dalam ruang hobi Mr. Prentice. Aku melihat seseorang di sana. Mulanya kusangka kau, Pete! Tapi waktu itu kau sedang di ruang duduk." "Ya, aku juga ingat," kata Pete. "Tapi kau lalu mengatakan, yang kaulihat itu pasti cuma bayangan saja." "Waktu itu, hanya itulah satu-satunya kesimpulan yang masuk akal. Tapi kemudian, kesangsianku timbul. Begitu aku melihat Sonny Elmquist-" "Kau kaget" kata Bob mengingat kejadian itu. "Elmquist muncul dari apartemennya setelah polisi datang, dan kau kaget ketika melihat dia." "Betul! Kauperhatikan tidak, dia itu ada miripnya dengan Pete?" tanya Jupe. "He, he," protes Pete. "Aku sama sekali tidak seperti orang itu. Umurnya paling sedikit sudah dua puluh tahun, badannya ceking, dan-" "Kalian berdua kurang-lebih sama tinggi," kata Jupe memotong. "Rambutnya cokelat tua, sama seperti rambutmu, dan kemarin ia memakai baju hangat hitam-sedang kau memakai jaket berwarna gelap. Penerangan dalam ruang hobi itu remang-remang. Karena itu semula kusangka aku melihatmu. Tidak mungkinkah bahwa waktu itu aku melihat Sonny Elmquist?" ­Bob dan Pete tidak langsung menjawab. Keduanya mempertimbangkan kemungkinan itu. Akhirnya Bob berkata, "Tapi bagaimana ia bisa masuk ke situ? Pintu depan kan dikunci!" "Entahlah, aku tidak tahu," kata Jupe berterus terang. "Aku bahkan tidak merasa pasti bahwa yang kulihat itu Elmquist. Tapi selain Mrs. Bortz, masih ada orang lain yang dengan salah satu cara bisa masuk ke apartemen itu. Sekarang kita harus menyelidiki caranya." Dalam waktu satu jam sejak Jupiter ditelepon, Trio Detektif sudah berdiri di depan pintu Apartemen Mr. Prentice. "Syukurlah, kalian sudah datang," kata pria berumur lanjut itu. "Syarafku sudah tidak kuat lagi!" "Itu bisa dimengerti," jawab Jupe. "Sekarang, bolehkah kami melihat-lihat sebentar di dalam?" ­Begitu melihat Mr. Prentice mengangguk, dengan segera Jupe menuju ke ruang hobi. Lampu meja menebarkan sinar lembut di salah satu sudut, menerangi buku-buku yang dijilid indah dalam rak-rak, beberapa benda porselen buatan Cina, serta gambar mandala yang dipajang di dinding sebelah atas meja. Sambil mencubiti bibir bawahnya, Jupiter menatap dengan kening berkerut, memperhatikan pola gambar yang rumit itu. ­Dan saat itu, serupa halnya dengan malam sebelumnya, sekali lagi ia merasa ada orang yang dengan diam-diam memperhatikan dirinya. Jupiter berpaling dengan cepat. Ia merasa melihat kegelapan yang lebih pekat di sudut yang jauh dalam ruangan itu. Kegelapan yang pekat dalam gelap itu nampaknya seperti bergerak-gerak, lalu memudar. Jupe melompat ke sudut itu. Tangannya menggerayangi dinding. Dinding tembok yang biasa-biasa saja. Dinyalakannya lampu yang terpasang di langit-langit, lalu ia memandang berkeliling dengan gelisah. Tidak ada orang lain dalam ruangan itu, selain dia sendiri. Jupiter melesat ke pintu depan. Yang lainnya terkejut ketika ia melewati mereka, langsung menuju ke balkon di luar. Di pekarangan yang terhampar di bawah, nampak kolam renang dengan lantai ubinnya yang berpola warna biru dan kuning emas. Lampu-lampu sorot memancarkan sinar kecokelatan ke dinding-dinding bangunan apartemen itu. Jupe melihat jendela-jendela apartemen yang ditempati Sonny Elmquist. Tirai-tirainya terbuka. Cahaya terang yang bergerak-gerak di dalam menandakan bahwa pesawat televisi di situ dinyalakan. Jupe dapat melihat Elmquist yang sedang duduk bersila di lantai. Pemuda itu bersila tanpa bergerak. Kepalanya terkulai ke depan. Sonny Elmquist kelihatannya tertidur dalam posisi bersila. ­"Ada apa?" bisik Bob yang menyusul Jupe ke luar, dan saat itu berdiri agak di belakang. "Aku melihatnya lagi," gumam Jupe. Saat itu barulah ia sadar bahwa tubuhnya gemetar. Pasti karena hawa dingin malam itu, katanya menenangkan diri sendiri. "Aku melihatnya di ruang hobi. Aku sedang memperhatikan gambar mandala itu. Tahu-tahu ada orang lain di situ. Aku merasa pasti, yang kulihat itu Sonny Elmquist. Tapi itu tidak mungkin! Lihatlah sendiri-itu dia orangnya, di apartemennya sendiri, Katakanlah ada jalan rahasia untuk memasuki apartemen Mr. Prentice ini, mustahil ia punya waktu untuk kembali ke bawah sana. Itu tidak mungkin!" Jupe berpaling, memandang ke arah ambang pintu apartemen di belakangnya. Fenton Prentice berdiri di situ. Nampak jelas bahwa ia gemetar. "Kau melihatnya, kan?" kata Mr. Prentice. "Kau juga melihatnya! Jadi aku tidak gila." Semuanya masuk lagi ke dalam apartemen. Pintu depan dikunci. "Tidak, Mr. Prentice, Anda tidak gila," kata Jupiter. "Kemarin pun saya sudah melihatnya, tapi saat itu saya tidak mempercayai penglihatan saya sendiri. Anda juga mengenali bahwa orang itu Sonny Elmquist?" "Aku tidak bisa memastikannya, karena orang.., karena bayangan itu selalu dengan cepat lenyap kembali. Kita tidak bisa seenaknya saja menuduh orang. Tapi menurut perasaanku. orang itu memang Elmquist." ­"Tapi mana mungkin?" ujar Jupe dengan heran. "Dalam kedua kejadian waktu saya melihat bayangan itu, Elmquist ada di apartemen sendiri, mungkin sedang tidur. Mana mungkin ia bisa sekaligus berada di dua tempat?" Jupe menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung "Apa saja yang Anda ketahui tentang diri Elmquist, Mr. Prentice?" "Hanya sedikit sekali," jawab Mr. Prentice. "Ia baru enam bulan tinggal di sini." "Pernahkah Anda merasakan ada bayangan atau entah apa itu muncul, sebelum Elmquist pindah kemari?" tanya Jupe lagi. Setelah mengingat-ingat sebentar, Mr. Prentice menggeleng. "Tidak pernah! Ini merupakan hal baru bagiku." "Ia menaruh minat pada mandala Anda," kata Jupe. "Anda tahu pasti, Anda tidak pernah bercerita mengenai milik Anda itu padanya?" "Tentang itu, aku tahu pasti," kata Mr. Prentice. "Pemuda itu bukan orang yang menyenangkan kepribadiannya, dan aku selalu menjauhi dia. Miss Chalmers pernah menyinggung tentang dia. Miss Chalmers itu wanita muda yang suka bergaul, tapi dia pun tidak senang pada Elmquist. Ia biasa berenang setiap malam untuk melangsingkan badan, dan Elmquist sering duduk-duduk di tepi kolam, mencoba membuka percakapan dengan Miss Chalmers. Menurut Miss Chalmers, Elmquist itu membuatnya bergidik." ­"Saya tahu, kedengarannya memang mustahil tapi harus ada jalan rahasia di sini," kata Bob menarik kesimpulan. "Kemungkinannya sangat kecil," kata Jupe, "Tapi sebaiknya kita pastikan saja sekarang!" Setelah itu Trio Detektif mulai mencari-cari, mulai dari ruang hobi. Mereka tidak menemukan lorong rahasia di situ. Gedung apartemen itu, walau bukan bangunan baru, dibangun dengan konstruksi yang baik. Dinding-dindingnya kokoh, begitu pula lantainya. Kelihatannya sama sekali tidak ada kemungkinan untuk masuk ke situ tanpa melalui pintu depan. "Seram," kata Bob. ­Mr. Prentice mengiakan dengan anggukan kepala, "Sudah lama aku tinggal di sini, dan aku suka tinggal di apartemen ini," katanya. "Tapi mungkin aku terpaksa mencari tempat tinggal yang lain. Aku tak tahan, terus-menerus merasa diamat-amati." Bayangan yang merongrong itu tidak muncul-muncul lagi malam itu. Akhirnya Mr. Prentice tidak kuat lagi menahan rasa kantuk, lalu masuk ke kamar tidurnya. Anak-anak memutuskan untuk berjaga secara bergiliran. Bob merebahkan diri di sofa dalam ruang duduk, sedang Pete berbaring di dipan, di ruang hobi. Jupe, yang memilih giliran jaga pertama, duduk bersandar pada pintu depan. Ia memasang telinga. Karena sudah lewat pukul sebelas malam, tidak banyak lagi yang bisa didengarkan. Lalu lintas di jalan sudah sejak tadi sepi. Paseo Place bukan jalan raya. Jupe menangkap bunyi berkecipak samar. Datangnya dari balik pintu depan. Ia menduga, itu pasti Miss Chalmers yang sedang berenang malam-malam. "Jupe?" Pete muncul dari ruang hobi, "Coba kemari sebentar. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan." Jupe mengikutinya ke jendela ruang hobi. Sesampainya di situ, Pete menuding ke luar. "Ada sinar di dalam gereja," katanya. Memang benar. Jendela kaca berwarna yang letaknya paling dekat dengan apartemen Mr. Prentice nampak terang sejenak, lalu menjadi gelap kembali. "Barangkali Pastor, yang sedang memeriksa apakah semua pintu dan jendela sudah dikunci," kata Jupe. "Tapi..." "Tapi, apa?" tanya Pete. "Mungkin juga bukan Pastor. Akan kuperiksa sebentar ke sana." "Aku ikut," kata Pete. "Jangan! Kau tetap di sini, menggantikan aku menjaga pintu," kata Jupiter. "Aku cuma sebentar saja ke sana." Jupe mengambil jaketnya yang digantungkan di lemari penyimpanan di depan. Setelah itu ia membuka pintu, lalu melangkah ke balkon. Lampu-lampu penerangan di pekarangan sudah padam, dan tidak ada siapa-siapa di dalam kolam renang. Jupe agak menggigil kedinginan, lalu gegas-gegas turun. Sesampainya di jalan, sekejap dilihatnya sinar misterius tadi di balik salah satu jendela gereja. Jupe menaiki tangga depan bangunan itu, lalu menyentuh salah satu daun pintunya. Ternyata pintu itu sama sekali tidak terkunci. Jupe mendorongnya sehingga terbuka. Ia melangkah masuk ke tengah kegelapan yang nyaris total, jika tidak ada lilin yang menyala dekat bagian depan ruang gereja itu. Lilin itu dipegang ­seorang yang berpakaian hitam. Nyalanya berkelap-kelip dipermainkan angin yang masuk. Orang yang memegang lilin itu berpaling. Jupe merasa melihat wajah seseorang yang sangat pucat, dengan rambut lebat seputih salju. Ia tidak bisa melihat mata orang itu, yang seakan-akan terlindung dalam bayangan gelap cekungan rongganya. Di bagian leher pakaiannya yang serba hitam nampak pinggiran berwarna putih. Seperti kerah yang biasa dipakai pastor. "Maaf, Father," kata Jupe menyapa. "Saya tadi melihat sinar dari luar, lalu saya masuk untuk melihat apakah ada sesuatu yang tidak beres di sini." Tangan orang itu bergerak dengan cepat. Ia memadamkan nyala lilin. "Father?" ujar Jupe sekali lagi. Gereja kini gelap gulita. Jupe merasakan bulu tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur, ke arah pintu. ­Tahu-tahu ada hembusan angin. menyebabkan pintu terdorong dan menutup dengan keras. Saat itu Jupe merasa dirinya didorong! Ia terhuyung kakinya tersangkut pada sebuah bangku tempat berlutut, dan saat itu ia didorong lagi. Jupe terjatuh ke lantai, di antara dua bangku. Di dalam kegelapan itu ia mendengar bunyi pintu gereja terbuka. Lalu tertutup lagi, disusul bunyi anak kunci diputar. Jupe cepat-cepat berdiri, lalu menuju ke pintu sambil meraba-raba. Begitu tersentuh olehnya pegangan pintu, ia memutarnya. Lalu menarik. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka, meski diguncang-guncang dengan keras. Jupe terkurung di dalam g­reja yang gelap! ­Bab 8 SANTO YANG MENGHILANG ­JUPE menggerayangi dinding di sebelah pintu. Ia menyentuh sakelar lampu, lalu menekannya. Seketika itu juga lampu-lampu sebelah atas menyala. Dengan mata nyalang yang memandang cemas kiri dan ke kanan, Jupe beringsut-ingsut menjauhi pintu. Lewat lorong tengah, menuju tempat di mana tadi ia melihat pastor pucat yang memegang lilin. Tidak ada siapa-siapa di situ. Dengan cepat Jupiter memeriksa gereja itu. Di sisi kiri altar ada pintu. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan sempit dengan sejumlah lemari dan laci berisi taplak meja dan jubah-jubah. Di sisi seberang ruangan itu ada pintu lagi. Menurut dugaan Jupe, pintu itu pasti menuju ke luar gereja. Pintu itu terkunci. "Kurasa sekarang sudah waktunya bagiku untuk menimbulkan keributan," kata Jupe pada dirinya sendiri. Ia bergegas kembali ke pintu depan, lalu menggedor-gedor. "Tolong!" teriaknya. "Aku terkurung di dalam! Tolong!" ­Ia berhenti sejenak sambil memasang telinga. Setelah itu ia mulai menggedor-gedor pintu "Pete!" teriaknya. "Father McGovern! Tolong!" Sekali lagi ia menunggu sejenak. Lalu berteriak. Lalu mendengarkan lagi. "Jangan masuk, Father!" Seorang wanita yang berkata begitu, di luar gereja. "Aku tidak setolol itu, Mrs. O'Reilly!" Jupe mengenali suara Father McGovern, pastor gereja itu. "Sebentar lagi polisi datang, dan-" "Father McGovern!" seru Jupe. "Ini saya, Jupiter Jones! Saya dikurung orang di dalam!" "Jupiter Jones?" Suara Pastor menanda keheranannya. Jupiter mendengar bunyi sirene yang semakin mendekat. Datangnya dari arah Wilshire Boulevard. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu, ia kembali memperhatikan ruang gereja. Pastor pasti takkan membuka pintu sebelum polisi tiba, katanya dalam hati. Jupiter sadar, polisi nanti pasti akan bertanya macam-macam padanya. Pandangannya suram, menelusuri lorong tengah gereja. Terdengar bunyi anak kunci dimasukkan ke dalam lubangnya di pintu yang sesaat kemudian terbuka. Father McGovern yang mengenakan mantel mandi berdiri di ambangnya, didampingi Mrs. O'Reilly-rambutnya yang panjang dan sudah beruban dikepang dan menjulur ke bawah lewat bahunya. ­"Saya minta minggir sedikit," kata seorang polisi dari belakang Mrs. O'Reilly. Wanita itu minggir selangkah, dan pandangan Jupiter menatap seorang petugas polisi yang masih muda. Petugas itu termasuk pasukan kepolisian yang malam sebelumnya menggeledah gereja itu. la datang seorang diri. Rekan yang tegak di sisinya, genggam pistol. "Nah?" ujar polisi yang pertama. Jupiter menuding ke tempat di mana pastor berambut putih tadi berdiri dengan memegang lilin. "Saya tadi melihat sinar di sini," katanya jelaskan duduk perkara. "Saya langsung kemari untuk memeriksa. Sewaktu saya masuk, saya melihat seorang pastor berdiri di situ. Kemudian seseorang mendorong saya sampai jatuh, lalu ia pergi dan mengunci pintu dari luar." "Kau kemari untuk memeriksa?" tanya polisi yang satu lagi. ""Ya, sebelumnya saya berada di apartemen Mr. Prentice," ujar Jupe. "Ah ya, sekarang aku baru ingat!" seru Father McGovern. "Kau tadi pagi ada di jalan, bersama Mr. Prentice. Tapi tidak mungkin kau melihat pastor di sini, malam ini. Pintu-pintu gereja sudah dikunci, sejak pukul enam sore tadi. Pembantu ku sedang keluar. Tidak mungkin kau tadi melihat seorang pastor di dalam sini." "Bisa saja!" seru Mrs. O'Reilly. "Anda tahu bahwa itu mungkin saja!" ­"Mrs. O'Reilly," kata pastor itu, "mendiang pastor yang lama tidak menjadi hantu dan kembali kemari!" "Sebentar!" seru seseorang, dari balik punggung kedua polisi. Ternyata orang itu Fenton Prentice, yang datang dengan ditemani Pete. "Anak muda itu tamuku," kata Mr. Prentice. "Ia bersama teman-temannya menginap di rumahku. Ini Pete Crenshaw. Ia baru saja mengatakan padaku bahwa ia melihat sinar di dalam gereja. Hal itu dikatakannya pada Jupiter, yang kemudian pergi kemari untuk memeriksa." Polisi yang kedua memandang Jupe, kemudian Pete, dan akhirnya Mr. Prentice. Tatapan matanya menunjukkan perasaan tidak senang. "Anak-anak sok menjadi detektif saja sudah cukup menyebalkan," tukasnya, "ini ditambah lagi ada orang dewasa membela mereka!" Mr. Prentice tersinggung mendengar kecaman itu. Ia mendengus. "Tapi tadi betul-betul ada sinar di dalam gereja," kata Pete. "Dan betul-betul ada orang di sini," kata Jupe menambahkan. "Orang itu berpakaian hitam dengan kerah bulat berwarna putih. Itu, seperti yang Anda pakai, father McGovern. Rambutnya putih mulus. Tadi ia berdiri di sana, memegang lilin." ­"Hebat sekali ceritamu itu," balas polisi tadi. "Demi kepentinganmu sendiri, mudah-mudahan saja tidak ada barang yang hilang." "Ada sesuatu yang hilang," kata Jupiter. "Sesuatu, yang kemarin malam masih ada di sini." Dipandangnya father McGovern dengan sikap bertanya. "Waktu itu ada sebuah patung di sana," kata Jupe sambil menuding. "Di sebelah sana, di samping jendela itu. Patung seseorang berjubah hijau, dengan topi tinggi dan lancip. Di tangannya ada tongkat." Kedua polisi tadi mendesak masuk, lalu memandang agak lama ke arah yang dituding oleh Jupiter. "Astaga, anak itu benar!" seru polisi yang lebih muda. "Kemarin malam ketika saya masuk kemari, di situ memang ada sebuah patung-kalau tidak salah, patung St. Patrick. Bukankah santo itu yang selalu berjubah hijau, dan memakai topi uskup-apa sih namanya, topi itu?" father McGovern ikut menatap. "Mitra," katanya dengan suara pelan. "St. Patrick selalu diwujudkan memakai mitra dan memegang tongkat keuskupan." "Lalu ke mana patung itu sekarang?" tanya polisi muda yang kebingungan itu. "Dalam gereja ini tidak ada patung St. Patrick, dan belum pernah ada," kata father McGovern. "Ini Gereja St. Jude, santo pelindung hal-hal yang mustahil." ­"Itu benar-benar cocok," tukas polisi yang satu lagi. "Pengurus rumah tangga Anda melihat hantu mendiang pastor yang dulu bertugas di sini, dan itu mustahil; lalu anak ini juga melihatnya, yang lagi-lagi mustahil! Lalu sekarang, kemarin malam kita di sini melihat sebuah patung yang tidak pernah ada di sini-jadi itu juga mustahil. Atau barangkali ada topi uskup disimpan di sini?" ­ Father McGovern terkejut mendengar pertanyaan itu, "Kemarin memang ada mitra dan tongkat keuskupan di sini," ujarnya tiba-tiba. "Untuk apa?" tanya polisi yang tadi. "Kami habis mengadakan pertunjukan Natal," kata Pastor menjelaskan. "Anak-anak yang mengadakannya, untuk orang tua mereka. Mereka menyelenggarakannya di sini, di dalam gereja, mengikuti tradisi kuno semasa Abad Pertengahan. Mereka menampilkan adegan kelahiran Kristus. Setelah kedatangan ketiga orang majusi, pada akhir pertunjukan beriring-iring masuk segenap tokoh gereja yang kenamaan. Tentu saja St. Patrick ikut ditampilkan, karena bagi anak-anak dia. itu tokoh favorit. Untuk dia kami menyewa mitra dan tongkat keuskupan serta jubah hijau dari toko yang menyewakan perlengkapan teater. Tapi sudah saya kembalikan ke sana tadi siang." "Aha!" kata Jupiter Jones. "Rupanya itulah sebabnya mengapa maling yang kemarin malam itu tahu-tahu bisa lenyap." "Hah?" seru salah seorang dari kedua polisi itu. "Kejadiannya benar-benar logis," kata Jupiter dengan gaya orang yang tahu pasti. "Kemarin malam daerah sekitar sini penuh dengan polisi, yang semuanya sibuk mencari-cari seseorang yang ketahuan masuk ke sebuah rumah di jalan yang letaknya di belakang jalan ini. Orang yang dikejar-kejar itu menyelinap masuk kemari. Ketika kemudian kelihatan bahwa gereja ini akan diperiksa, orang itu buru-buru mengenakan jubah dan mitra, lalu berlagak menjadi patung. Sewaktu Anda mencari-cari orang itu di sini, Anda sebenarnya begitu dekat dengannya sehingga mungkin bisa menyentuhnya saat itu." Kedua polisi itu melongo. "Tentu saja orang itu kaget, ketika kemudian pengurus bangunan ini turun dari serambi kor," sambung Jupe. "Mungkin ia panik, ketika pengurus itu kembali lagi masuk ke gereja setelah polisi selesai menggeledah. Soalnya, pengurus itu pasti akan heran jika melihat di sini ada patung yang mestinya tidak ada. Ya, kan? Father McGovern, masih bisakah orang itu mengingat apa yang terjadi sehingga ia mengalami cedera?" Pastor itu menggeleng. "Ia berkata, mungkin ia tersandung. Pembantuku itu selain sangat kaget, juga mengalami gegar otak." "Mungkin saja ia dipukul," kata Jupe. "Saat itu beberapa lampu sudah dia padamkan, namun bisa saja maling tadi takut kalau sampai ketahuan. Bisa saja dengan diam-diam ia menghampiri pembantu Anda itu dari belakang, lalu-" Father McGovern mengangkat tangannya, untuk mencegah Jupiter meneruskan dugaannya "Seharusnya kemarin aku ikut kembali kemari dengan dia," katanya, "Kasihan Earl!" "Aduh, bagaimana nanti kalau kami harus menuliskan kesemuanya ini dalam laporan kami keluh salah satu dari kedua polisi itu. "Maling yang menyamar menjadi patung! Seorang anak yang mengaku melihat hantu!" "Saya melihat seseorang memakai pakaian berwarna hitam dengan kerah putih," kata Jupiter membetulkan. "Saya tidak mengatakan melihat hantu." "Bagaimana mungkin manusia biasa bisa masuk kemari?" tanya Mrs. O'Reilly, pengurus rumah tangga Father McGovern. "Pintu kan terkunci. Kalian kan mendengar, Father McGovern sendiri yang mengatakan begitu. Pasti dia adalah pastor yang lama-kasihan, arwahnya tidak bisa beristirahat dengan tenang!" "Maling itu bisa masuk, karena punya anak kunci yang cocok," kata polisi yang satu lagi. "Harus begitu, karena sewaktu keluar lagi, pintu kemudian dikuncinya dari luar. Father McGovern, siapakah yang menyimpan kunci-kunci gereja ini?" "Saya sendiri, tentu saja," kata pendeta itu. "Lalu Mrs. O'Reilly... asistenku... dan tentu saja Earl. Saya rasa kunci-kuncinya ada di antara barang-barangnya di rumah sakit. Lalu di rumah masih ada satu perangkat cadangan, kalau-kalau ada yang kehilangan kunci-kuncinya. Kunci-kunci cadangan itu digantungkan di dalam lemari tempat penyimpanan jas, di serambi tingkat bawah." "Benarkah ada di sana, Father?" tanya Jupiter. Father McGovern berbalik, lalu bergegas pulang. Beberapa menit kemudian ia sudah datang lagi. "Tidak ada," katanya singkat. "Hilang!" Semua yang ada di situ membisu. "Yah... memang, agak ceroboh menyimpan kunci-kunci di tempat seperti itu," pastor itu mengakui. "Begitu banyak orang yang datang ke rumah pastor untuk urusan ini dan itu. Dan sebelumnya mereka menggantungkan jas dalam lemari itu." "Maksud Anda," kata salah seorang polisi, "boleh dibilang setiap orang di daerah sini bisa saja mengambil kunci-kunci itu untuk memasuki gereja ini." Father McGovern mengangguk dengan wajah murung. "Sebaiknya kita minta saja atasan kita datang kemari," kata polisi yang lebih tua. "Letnan pasti ingin tahu bahwa maling alias santo yang kemudian lenyap itu, malam ini kembali lagi kemari dalam wujud hantu pastor." • "Bukan begitu kejadiannya," bantah Jupiter. "Kau tadi mengatakan, melihat seseorang berpakaian hitam dengan kerah seperti kerah jubah pastor," kata polisi itu mengingatkan. ­"Memang," kata Jupe, "tapi bukan dia yang mendorong aku sampai jatuh, lalu mengunci ­ dari luar. Orang berpakaian hitam-hitam itu berdiri sana, di bagian depan sana. Sedang orang yang mendorongku itu di sini, di sebelah belakang sini. Yang Anda sebut hantu itu tidak mungkin punya waktu untuk datang kemari setelah lilin dia padamkan. Ada dua orang yang masuk kemari tadi!" "Aduh, dua!" Wanita pengurus rumah tangga Father McGovern berkeluh-kesah. "Mendiang pastor yang lalu, dan satu lagi." Ia menoleh ke arah majikannya. "Dan jangan suruh saya pergi minum teh yang enak," katanya. "Saya tidak mau tahu tentang itu malam ini!" ­Bab 9 MALING MENELEPON ­SEPANJANG malam yang masih tersisa, Trio Detektif melanjutkan penjagaan di apartemen Mr. Prentice. Tapi mereka tidak mengalami kedatangan bayangan, maupun gangguan lain-lainnya. Keesokan harinya, pagi-pagi Mr. Prentice sudah sibuk menggoreng telur dan memanggang roti. "Nah, Anak-anak," katanya sambil menghidangkan sarapan pada ketiga remaja yang menemani. "Bagaimana-ada kesimpulan yang bisa kalian ambil?" "Ya, ada! Pikiran saya macet!" kata Pete. "Jangan buru-buru bilang begitu," kecam Jupiter. "Urusannya baru mulai menjadi menarik. Berbagai hal perlu kita pikirkan." "Apa misalnya?" "Misalnya saja maling itu. Kenyataan bahwa ia memanfaatkan gereja yang di sebelah, menimbulkan pertanyaan dalam diriku." "Boleh saja kau merasa tertarik," kata Mr. Prantice. "Tapi apa hubungannya maling itu dengan bayangan yang muncul dalam apartemenku ini?" "Terus terang, saya tidak tahu," kata Jupe. "Tapi menurut perasaan saya, pasti ada hubungannya, Mr. Prentice, apakah Anda biasanya melihat bayangan itu pada waktu-waktu tertentu saja? Saya sudah dua kali melihatnya, menjelang malam. Kapan Anda biasanya melihatnya?" Fenton Prentice mengingat-ingat sebentar. "Biasanya begitulah, saat sore atau menjelang malam," katanya kemudian. "Dan mungkin juga sekali dua kali agak lebih siang." "Tidak pernah tengah malam?" "Saat itu biasanya aku sudah tidur. Tapi seingatku, aku belum pernah melihatnya kalau kebetulan terbangun tengah malam." Jupe mengangguk. "Kalau begitu, kami pergi saja sekarang, lalu nanti datang lagi-itu jika Anda tidak keberatan. Saya mendapat ide bagi langkah berikut dalam menangani kasus ini. Untuk itu perlu diadakan persiapan-dan itu harus dilakukan di Rocky Beach. Dan... kalau tidak salah, masih ada beberapa tugas lain yang harus diselesaikan oleh Bob dan Pete. Sementara itu Anda pasti aman karena kecil sekali kemungkinannya bayangan itu akan muncul sebelum kami kembali." Selesai sarapan, anak-anak minta diri. Ketika mereka sedang menuruni tangga untuk menuju pekarangan, mereka melihat Sonny Elmquist yang saat itu sedang duduk dengan santai di kursi di tepi kolam. Pemuda itu bergegas bangkit, begitu melihat mereka. "He, kudengar kalian melihat hantu pastor itu. ya!" katanya pada Jupe. "Coba tadi kalian langsung mampir sebentar di apartemenku, untuk memberi tahu. Aku tertarik pada hal-hal seperti itu." "Memberi tahu Anda?" Jupe memandang Elmquist dengan heran. "Mana mungkin aku memberi tahu Anda? Saat itu Anda masih berada di tempat Anda bekerja,kan?" "Tadi malam aku kebetulan ada di rumah," kata pemuda itu. "Aku tidak terus-menerus bekerja. Mana ada orang yang begitu?" "Dari mana Anda tahu bahwa Jupe melihat hantu pastor itu?" tanya Pete. "Gampang saja. Mrs. O'Reilly bercerita pada Mrs. Bortz, lalu Mrs. Bortz bercerita pada Hassell, dan kemudian Hassell mengatakannya padaku." Jupe dan kedua rekannya terus berjalan ke luar. Diikuti Elmquist. "Tapi itu benar, ya? Kau kemarin malam benar-benar melihatnya?" tanya Elmquist dengan nada ingin tahu. "Aku melihat seseorang," kata Jupe. Anak-anak meninggalkan Elmquist di depan gedung apartemen. Mereka menuju Wilshire Boulevard, jalan raya yang terdapat di ujung Paseo Place. "Elmquist itu aneh orangnya," kata Pete, ketika mereka sudah duduk di bis yang menuju Rocky Beach. "Karena ia menaruh minat pada hal-hal seperti hantu, mandala, dan falsafah Timur?" kata Jupe. "Zaman sekarang hal seperti itu sudah tidak aneh lagi." Ia menyandarkan diri ke punggung kursi. ­"Dan beberapa di antara pemikiran yang dikemukakannya sulit dibantah kebenarannya. Segala agama yang besar mengajarkan bahwa tidak baik jika orang terlalu mementingkan kekayaan dan harta benda." "Tergila-gila pada harta, merupakan pangkal segala maksiat," kata Bob. "Tepat! Tapi di lain pihak, aku mengerti maksudmu yang sebenarnya, Pete. Memang ada sesuatu yang aneh pada diri Elmquist. Dan itu ialah-nampaknya ia memiliki kemampuan menembus dinding, Benar-benar misterius!" Menjelang pukul setengah sepuluh pagi, ketiga remaja itu sudah kembali berada di Rocky Beach. "Kurasa kini sudah waktunya kita menelaah hal-hal yang berhasil kita ketahui sampai sekarang," kata Jupe, sementara mereka berjalan meninggalkan halte bis. "Yuk, kita ke Markas dulu." Sepuluh menit kemudian, ketiga detektif remaja itu sudah duduk menghadap meja tulis di dalam karavan usang yang mereka jadikan kantor. "Sekarang ada tiga misteri yang perlu kita usut," kata Jupe. Kedengarannya ia bergembira menghadapi kenyataan itu. "Pertama: bayangan yang merongrong Mr. Prentice. Siapakah dia, dan bagaimana caranya masuk ke dalam apartemen? Lalu misteri berikut: maling yang mencuri Anjing Karpatia. Siapa dia, dan kenapa gereja dijadikannya tempat bersembunyi? Dan yang terakhir pastor yang tahu-tahu lenyap. Siapa dia, dan kalau ada, apa hubungannya dengan kedua misteri yang lainnya? Sebaiknya kita membahasnya satu demi satu, secara berurutan." "Kusangka kita sudah tahu siapa sebenarnya bayangan di dalam apartemen itu," kata Pete. "Berdasarkan penglihatanmu, dan juga Mr. Prentice, bayangan itu Sonny Elmquist." "Memang betul," kata Jupiter, "tapi kami hanya melihatnya sekilas saja. Mudah-mudahan saja kalian berdua kapan-kapan juga bisa melihat bayangan itu." "Setidak-tidaknya, kita tahu pasti bahwa bayangan itu bukan Mrs. Bortz," sela Bob. "Kalau dia, bisa masuk karena memiliki kunci!" Jupe mengangguk. "Lagi pula bentuk perawakannya lain-terlalu gemuk, sementara bayangan itu kurus. Kalau Elmquist-nah, dialah yang cocok potongannya! Tapi aku tetap masih belum bisa membayangkan, bagaimana caranya ia bisa masuk ke apartemen Mr. Prentice. Dan bagaimana mungkin, seseorang sekaligus ada di dua tempat? Dua kali aku melihat bayangan itu, padahal Elmquist sedang tidur di apartemennya sendiri." "Mungkin saja bayangan itu orang lain," kata Pete sambil mengangkat bahu. "Tapi Elmquist tahu tentang mandala," kata Bob mengetengahkan. "Ia memaparkan wujudnya dengan begitu persis, sehingga pasti pernah melihatnya. Sedang Mr. Prentice sudah jelas tidak pernah mengajaknya masuk ke apartemennya." ­"Jadi Sonny Elmquist merupakan tersangka kita yang utama dalam kasus bayangan itu," kata Jupe menarik kesimpulan, "tapi kita tidak mempunyai bukti ataupun penjelasan untuk memperkokoh sangkaan itu. Sekarang, kita beralih ke kasus maling. Dari indikasi-indikasi yang ada, bisa ditarik kesimpulan bahwa dia orang sekitar situ juga-atau bahkan tinggal satu gedung dengan Mr, Prentice-karena tahu di mana ia bisa memperoleh anak kunci untuk masuk ke dalam gereja. Siapa saja di sekitar situ yang tahu-menahu tentang patung Anjing Karpatia, begitu pula bahwa barang itu bernilai tinggi?" "Bagaimana dengan bayangan itu?" kata Pete mengajukan dugaan. "Mungkin saja bayangan itu melihat kertas-kertas mengenai hal itu di meja tulis Mr. Prentice, atau bisa juga ia menangkap pembicaraan lewat telepon." "Bagaimana dengan Mrs. Bortz?" kata Bob. "Ia bisa saja melihat surat-surat tentang patung anjing itu, sewaktu sedang memuaskan rasa ingin tahunya, memeriksa apartemen Mr. Prentice." "Jika wanita itu tahu, setiap orang di sekitar tempat itu kemudian pasti juga ikut tahu!" kata Pete. "He, Jupe," kata Bob, "menurutmu, apakah maling itu masuk ke rumah Niedland khusus untuk mencuri Anjing Karpatia?" "Sulit untuk memastikannya. Dari mana ia tahu, bahwa saat itu Anjing Karpatia sedang ada di situ? Mungkin ia masuk dengan harapan akan menemukan sesuatu yang berharga di dalam. Jika tinggalnya di sekitar situ, tentunya ia tahu bahwa rumah itu kosong. Jadi ia masuk, menemukan patung itu, tapi kemudian buru-buru lari sewaktu polisi muncul. Ia lari ke dalam gereja, dan di situ menyamarkan diri menjadi patung St. Patrick. Nekat sekali orang itu! Berdiri diam-diam berselubung jubah dan memakai mitra, sementara polisi berkeliaran di dalam mencari dia!" "Polisi kemudian pergi, tapi pengurus gereja datang lagi," kata Bob menyela. "Karenanya maling itu lantas memukulnya sampai pingsan, lalu melarikan diri!" "Kurasa kita bisa menyimpulkan bahwa maling itu menggunakan kekerasan," kata Jupiter sependapat. "Soalnya,ia sadar bahwa lambat-laun Earl pasti akan melihat bahwa di situ ada patung yang sebelumnya tidak ada. Jadi besar sekali kemungkinan maling itu yang memukul Earl sehingga pengurus gereja itu pingsan. Anjing Karpatia itu disembunyikannya di salah satu tempat di dalam gereja, lalu kemarin malam ia kembali lagi untuk mengambilnya." "Kenapa harus begitu?" tanya Pete. "Kenapa tidak diselipkannya saja dalam kantung atau di balik jasnya, lalu pergi malam itu juga? Kenapa harus disembunyikan dulu di dalam gereja?" "Terlalu besar risikonya, jika langsung dibawa," jawab Jupe. "Mungkin dia takut, jangan-jangan polisi masih berkeliaran di sekitar situ dengan mobil patroli. Bisa saja ia khawatir tahu-tahu dicegat dan ditanyai, dan mungkin juga bahkan digeledah. Ia berpendapat, lebih aman Anjing Karpatia disembunyikannya selama satu hari di gereja, dan keesokan malamnya baru diambil lagi." "Jadi kemarin malam ia muncul lagi, menyamar sebagai pastor," kata Pete. "Tidak, kurasa bukan begitu," kata Jupe. "pastor yang kemudian menghilang itu hanya berdiri saja di dekat altar, sewaktu aku melihatnya. Maling itu mestinya langsung mendatangi tempat patung kristal itu disembunyikan, dan kemudian dengan segera pergi lagi. Aku didorongnya karena rupanya menghalang-halangi, lalu ia ke luar dan mengunci pintu dari luar." "Kalau begitu, siapa pastor misterius itu?" tanya Bob. "Mungkin Sonny Elmquist?" kata Pete menebak "Ia kan suka pada hantu, dan kemarin malam ia ada di rumah. Mungkin saja ia bersekongkol dengan maling itu." "Itu kombinasi yang sulit diterima akal sehat," kata Jupe. "Seseorang yang ingin menjauhkan diri dari segala keinginan yang bersifat duniawi, bekerja sama dengan maling?"' "Tapi ia kan mengatakan bahwa ia perlu uang, Jupe!" kata Bob mengingatkan dengan bersemangat. "Ingat tidak, saat ini ia kan sedang asyik menabung, karena ingin ke India!" "He, jangan-jangan Elmquist itu sendiri malingnya!" kata Pete buru-buru. ­"Kau melupakan satu hal. Elmquist sedang tidur di apartemennya, ketika polisi mengejar-ngejar maling itu lewat pekarangan," kata Jupe. "Dan ia berdiri di depan gereja bersama kita, sementara polisi sibuk menggeledah bangunan itu-saat mana maling yang dicari-cari ada di dalam, menyamar menjadi patung orang suci." "Tapi Elmquist kelihatannya bisa hadir di dua tempat pada waktu yang sama," kata Bob. "Jika ia bisa gentayangan di dalam apartemen Mr. Prentice pada saat ia juga ada di apartemennya sendiri yang terletak di seberang kolam di bawah, maka tidak aneh jika ia bisa ada di dalam dan di luar gereja pada saat yang sama!" Jupe menggeleng-geleng, Kelihatan bahwa ia jengkel. "Tidak, itu tidak mungkin," katanya dengan sebal, karena menghadapi jalan buntu. "Tapi tentang satu hal, aku sependapat denganmu. Banyak hal tentang Sonny Elmquist yang belum kita ketahui. Kurasa kita perlu mengamat-amati orang itu, dan aku punya akal bagaimana kita akan melakukannya. Aku sudah merencanakan-" Kalimatnya terpotong deringan telepon yang terletak di atas meja. Dengan segera Jupiter menyambar gagangnya. "Ya?" katanya. "Ah, Mr. Prentice! Sebentar." Jupiter mendekatkan gagang telepon itu ke sebuah alat khusus yang terdiri dari mikrofon dan pengeras suara. Ia sendiri yang membuat alat itu, dari pesawat radio yang sudah rusak. Sekarang ketiga remaja yang ada di dalam karavan bisa mendengar dengan jelas kata-kata pria tua penggemar seni itu. "Silakan, Mr. Prentice," kata Jupiter. "Aku baru saja ditelepon orang." Suara Mr Prentice bergetar, karena tegang. "Penelepon itu mengatakan, Anjing Karpati­ saat ini ada padanya. Kau kan mengatakan, benda seni seperti itu sulit dijual. Nah-orang itu ternyata menemukan orang yang paling cocok sebagai pembeli. Ia menawarkannya padaku, dengan harga sepuluh ribu dolar­!" ­Bab 10 PERACUNAN ­TRIO Detektif hanya bisa membisu, karena kaget. "Jupiter? Kau masih ada di sana, Jupiter?" terdengar suara Mr. Prentice bertanya dengan cemas. "Eh–anu , ya! Ya, Sir, saya masih ada di sini." Jarang terjadi Jupiter benar-benar kaget Tapi pemberitahuan pria tua itu menyebabkan ia kehilangan akal sejenak. "Aku...perasaanku tidak enak, harus berurusan dengan penjahat," sambung pria tua itu, "tapi anjing Karpatia harus kuperoleh. Patung itu milikku, dan jika tidak kuusahakan memperolehnya sekarang, jangan-jangan nanti lenyap untuk selama-lamanya. Aku bermaksud membayar tebusan yang dimintanya. Aku punya waktu dua hari untuk mengumpulkan uang sebanyak yang diminta." "Anda sudah menghubungi polisi?" "Aku tidak berniat berbuat begitu. Aku tidak mau mengambil risiko maling itu gentar. Kalau itu sampai terjadi, bisa-bisa Anjing Karpatia tidak kuperoleh kembali." "Saya rasa sebaiknya Anda menimbang-nimbang dulu, sebelum bertindak," kata Jupe. ­"Anda berurusan dengan penjahat yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Jangan lupa apa yang dilakukannya terhadap Earl." "Justru itulah! Karena takut ketahuan, maling itu memukulnya. Aku tidak ingin menyebabkan dia punya alasan untuk merasa takut padaku. Bagaimana, kapan kalian kembali kemari? Terus terang saja, perasaanku tidak enak, menunggu seorang diri di sini." "Apakah bayangan itu muncul lagi?" "Bukan begitu, tapi aku tahu bahwa setiap saat mungkin ia muncul... ketegangan itu yang menyebabkan aku tidak tahan." "Saya rasa kami masih sempat naik bis yang pukul tiga," kata Jupe, sambil memandang Bob dan Pete untuk meminta persetujuan. Kedua temannya itu mengangguk. "Sebelum gelap, kami sudah akan tiba di tempat Anda." Jupiter mengakhiri pembicaraan, lalu meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Ia mendesah. "Sekarang kita mendapat tugas tambahan, menyelamatkan dia dari rongrongan maling itu!" katanya. "Sebaiknya sekali ini kita berbekal pakaian, karena mungkin harus tinggal di apartemen Mr. Prentice selama beberapa hari. Nanti kita bertemu lagi di halte bis, sebelum pukul tiga." "Bagaimana idemu tadi, tentang cara mengamat-amati Elmquist?" tanya Pete. ­"Nanti saja kujelaskan," jawab Jupiter. "Aku belum selesai dengan rencana mengenai dia." Setelah itu Bob dan Pete pulang dulu Bob hendak ke perpustakaan umum Rocky Beach. Di sana-untuk mengisi waktu luangnya-ia bekerja sebagai tenaga lepas, dengan tugas mencatat dan menaruh buku-buku di rak. Pete masih harus menyelesaikan beberapa tugas suruhan ibunya. Waktu yang masih tersisa dari pagi sampai siang dipergunakan oleh Jupiter untuk membersihkan karat sejumlah kursi dan meja taman yang disuruh-betulkan oleh Bibi Mathilda, untuk kemudian dijual lagi. Setelah makan siang, Jupiter sibuk bekerja di bengkelnya, membetulkan beberapa peralatan elektronik yang kemudian dimasukkannya ke dalam kotak kardus. Kotak itu dibawanya ke halte bis. Ia juga menyandang sebuah ransel yang penuh berisi pakaian bersih. "He, apa isi kotak yang kaubawa itu?" tanya Bob. "Ciptaan baru lagi, ya?" "Ini kamera televisi dan pesawat penerimanya, yang dihubungkan dengan kabel," kata Jupe. "Dulunya dipakai di sebuah pasaraya." "Ya, betul!" kata Pete. "Alat itu memang dipasang di mana-mana sekarang. Dengan alat itu petugas keamanan bisa mengamat-amati orang yang dicurigai akan mencuri sesuatu." "Dari mana kau memperoleh peralatan itu?" "Toko tempat alat ini dulu dipasang, mengalami musibah kebakaran," kata Jupe menjelaskan. "Kamera-kamera dan pesawat-pesawat monitor ikut rusak karenanya. Paman Titus berhas memborong semuanya, dengan harga yang sangat murah. Bisa dibilang dihadiahkan saja padanya, Aku membetulkan perangkat ini. Ternyata sama sekali tidak sukar." "Jadi rupanya dengan alat itu kita akan mengamat-amati Sonny Elmquist!" ujar Bob. "Tepat! Karena di apartemen Mr. Prentice tidak ada jendela yang menghadap ke balkon, tanpa alat seperti ini kita tidak mungkin dapat mengawasi pekarangan di bawah tanpa ketahuan. Tentu saja kita bisa duduk-duduk di balkon atau di samping kolam. Tapi aku tidak ingin Elmquist-atau siapa pun juga-tahu bahwa kita sedang mengamat-amati. Di luar pintu depan apartemen Mr. Prentice ada tanaman besar dalam pot. Kamera bisa kita sembunyikan di situ. Sedang kita duduk di dalam mengamati lewat pesawat monitor." "Asyik, kita akan punya acara TV pribadi!" kata Pete. Sejam kemudian ketiga remaja itu memasuki gerbang depan gedung apartemen tempat tinggal Mr. Prentice. Kedatangan mereka disongsong Mrs. Bortz, yang kelihatannya selalu saja ada di mana-mana. "Kalian datang lagi?" kata wanita itu. Ia memandang kotak kardus, yang saat itu dijinjing Pete. "Apa itu?" tanyanya. "Pesawat TV," jawab Jupe dengan singkat "Hadiah Natal untuk Mr. Prentice, tapi baru sekarang sempat kami bawa." ­Jupe memandang ke balik punggung wanita pengurus gedung apartemen itu, ke arah pekarangan. Mr. Murphy, makelar saham itu, sedang duduk-duduk sambil merokok di tepi kolam renang. Rupanya sedang menikmati kehangatan matahari sore. Sebentar-sebentar ia menjentikkan abu rokoknya ke asbak khususnya. Ketika melihat anak-anak datang, ia tersenyum. "Kalian menginap lagi di tempat Mr. Prentice malam ini?" katanya. "Kelihatannya begitulah," jawab Jupe. "Bagus." Mr. Murphy memadamkan rokoknya. "Kakek itu pasti kesepian. Ada baiknya bagi dia, jika sekali-sekali ada yang menemani. Keponakanku baru saja pergi, menginap di tempat temannya. Tapi sekarang, aku sudah merasa kesepian." ia berdiri, lalu masuk ke apartemennya. Mr. Prentice berdiri di ambang pintu apartemennya, menunggu ketiga remaja itu. Mereka menunjukkan kamera TV serta pesawat monitornya, sambil menjelaskan kegunaannya. Mr. Prentice bergairah mendengar rencana itu. . "Kita akan memasangnya saat petang nanti," kata Jupe, "sebelum lampu-lampu di pekarangan dinyalakan. Kalau tidak salah, sekitar setengah enam, kan?" Mr. Prentice mengangguk. "Lampu-lampu akan menyala secara otomatis, tidak lama setelah matahari terbenam." Pukul lima lewat dua puluh menit, Jupe mengintip ke luar lewat pintu depan, "Cepat, Kawan-kawan, sementara tidak ada yang melihat." Disuruhnya Bob dan Pete berdiri di pinggir balkon, untuk menghalangi pandangan orang yang mungkin ada di bawah, ke arah pohon karet dalam pot yang dipajang di luar apartemen Mr. Prentice. Kemudian dengan cepat ditaruhnya kamera TV berukuran kecil itu di tempat yang sudah direncanakannya. Kaki-kaki kamera yang pendek ditancapkannya di tanah yang mengisi pot, lalu diaturnya posisi lensa sehingga mengarah ke bawah, ke pekarangan. "Kamera itu bekerja dengan baterai," katanya sambil mengajak kedua temannya masuk lagi ke apartemen. "Gambar-gambar yang direkam hanya bisa dipancarkan sejauh beberapa meter saja. Tetapi untuk keperluan kita, itu sudah memadai." Ditutupnya pintu apartemen, lalu diletakkannya pesawat monitor di atas sebuah rak buku. Setelah mengatur kabel-kabelnya, ia memutar sebuah tombol. Sekejap kemudian nampak layar monitor menjadi agak terang. Tapi hanya samar-samar. "Aku tidak bisa melihat apa-apa di situ, Jupe!" keluh Pete, "Tunggu saja dulu, sampai lampu-lampu di pekarangan menyala," kata Jupe. Beberapa menit kemudian pada layar monitor nampak jelas pekarangan yang ada di luar gedung. Anak-anak memperhatikan dengan penuh minat, bersama Mr. Prentice. Sementara mereka masih asyik memandang, nampak Sonny Elmquist muncul dari apartemennya, menuju gang di sebelah belakang dan masuk ke situ. Kemudian pemuda itu muncul lagi dengan tas berisi cucian. Ia kembali ke apartemennya, dan langsung masuk. Setelah itu muncul seorang wanita muda bertubuh montok dan berambut pirang. Dari arah kemunculannya, wanita itu rupanya baru saja datang lewat gerbang depan. "Itu Miss Chalmers," kata Fenton Prentice. Miss Chalmers baru saja hendak membuka pintu apartemennya, ketika Mrs. Bortz muncul di belakangnya. Pengurus gedung apartemen itu memegang bungkusan, yang kemudian diserahkannya pada wanita muda itu. "Rupanya ada kiriman untuk Miss Chalmers," kata Mr, Prentice. "Mrs. Bortz selalu menandatangani tanda terima jika ada kiriman barang lewat pos, dan penerimanya kebetulan sedang tidak ada." "Sudah pasti ia melakukannya dengan senang hati," kata Pete. "Memang," kata Mr. Prentice. "Dengan begitu ada peluang baginya untuk tahu lebih banyak lagi mengenai para penyewa apartemen di gedung ini." ­Sementara itu Mrs. Bortz masih nampak bercakap-cakap dengan Miss Chalmers. Rupanya ia sengaja mengulur-ulur waktu, karena ingin tahu isi bungkusan yang baru saja diserahkan. Akhirnya Miss Chalmers mengangkat bahu dengan sikap pasrah. Ia menaruh tasnya di meja dekat kolam, lalu duduk untuk membuka bungkusan. Saat itu Alex Hassell keluar dari apartemennya. Ia berhenti, memandang ke arah Miss Chalmers. "Kelihatannya sulit bagi para penghuni gedung ini untuk tidak dicampuri urusannya oleh orang lain, ya," kata Pete mengomentari. Mr. Prentice mendecakkan lidah dengan jengkel. "Mestinya Miss Chalmers jangan mau mengalah pada Mrs. Bortz, perempuan menyebalkan itu," tukasnya. "Ia terlalu baik hati! Miss Chalmers, maksudku!" Sementara itu Miss Chalmers sudah selesai membuka kertas pembungkus kiriman yang ditujukan padanya, dan kini mengangkat tutup sebuah kotak yang ada di dalamnya. Anak-anak melihat wanita muda itu tersenyum, lalu memungut sesuatu dari dalam kotak dan memasukkannya ke dalam mulut, sementara tangannya dengan cepat menjemput benda lain dari dalam kotak itu. "Permen," kata Jupiter. "Perempuan itu tak perlu sering-sering berenang, jika bisa menahan diri kalau melihat permen," kata Mr. Prentice. Pada layar monitor nampak Miss Chalmers menyodorkan kotak permen pada Mrs. Bortz, seakan-akan baru ingat untuk menawarkannya sebagai basa-basi. Tapi tahu-tahu tangannya tersentak, berpindah mencengkeram kerongkongan. Kotak yang dipegangnya jatuh ke tanah, dan permen yang ada di dalamnya bergelindingan ke luar. Napas Pete tersentak "Kenapa?" ,_ Miss Chalmers terhuyung bangkit dari kursi yang didudukinya. Ia terbungkuk, lalu roboh ke tanah. Ia terkapar di situ, menggeliat-geliat. Trio Detektif lari ke pintu apartemen, lalu buru-buru membukanya. Mereka mendengar suara Mrs. Bortz berseru dengan cemas. "Kenapa Anda, Miss Chalmers?" "Aduh, sakit!" rintih Miss Chalmers. "Aduh, sakit sekali rasanya!" Jupe, Pete, dan Bob lari menuruni tangga. Ketika M­r. Prentice yang menyusul tiba di pekarangan, Jupiter sudah sibuk mengendus-endus sepotong permen coklat yang terjatuh dari kotak. Miss Chalmers menangis kesakitan, sedang Mr. Murphy yang bergegas keluar dari apartemennya membungkuk untuk memperhatikan wanita muda itu. Sonny Elmquist juga ada di situ. Pintu apartemennya terpentang lebar. "Apa itu?" tanya Mrs. Bortz. Ditangkapnya lengan Jupe lalu diguncang-guncangkannya, sehingga coklat yang ada di tangan remaja itu remuk dan isinya yang kental melumuri telapak tangan. Jupe mendekatkan tangannya itu ke hidung, mengendus-lalu menengadah dengan cepat ­"Kita harus memanggil ambulans!" serunya cemas. "Isi permen coklat ini mengandung sesuatu yang tidak beres! Kurasa dia diracun orang!" ­Bab 11 JAGA MALAM ­SUDAH, jangan membuang-buang waktu lagi!" kata Mr. Murphy. "Kuantarkan dia dengan mobilku, Ke klinik gawat darurat!" "Saya ikut!" kata Mrs. Bortz menawarkan diri. "Jangan lupa membawa permen coklatnya, " kata Jupe, "supaya bisa diteliti!" Mr. Murphy mengeluarkan mobilnya dari garasi. Pete menggotong Miss Chalmers dan membaringkannya di jok belakang. Mrs. Bortz menyelubungi tubuh wanita muda itu dengan selimut. Jupiter memungut kotak yang berisi permen coklat, lalu menyodorkannya pada Mrs. Bortz. Sesaat kemudian Mr. Murphy sudah memacu mobilnya, meninggalkan tempat itu. "Racun!" kata Mr. Prentice. "Kasihan Miss Chalmers. Siapa yang begitu tega, meracuninya?" "Belum tentu ia diracun orang, Mr. Prentice," kata Jupe menegaskan, "cuma sewaktu saya cium tadi, coklat itu aneh baunya." Namun dua jam kemudian mereka memperoleh kepastian. Mr. Murphy dan Mrs. Bortz sudah kembali dari klinik, gawat darurat Rumah Sakit Pusat. Wajah mereka sangat tegang. ­"Belum pernah aku mengalami dihina seperti tadi itu!" tukas Mrs. Bortz. "Apa yang terjadi?" tanya Mr. Prentice. Ia baru saja selesai makan malam bersama Trio Detektif, ketika terdengar bunyi mobil Mr. Murphy kembali. Mereka bergegas-gegas menyongsong ke bawah. "Polisi-polisi itu!" kata Mrs. Bortz dengan sengit "Macam-macam saja pertanyaan mereka yang tidak enak padaku-berapa lama kotak berisi permen coklat itu ada di tanganku, misalnya. Bayangkan!" "Mereka kan cuma ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi," kata Mr. Murphy. Suaranya terdengar letih. "Takkan mungkin aku sampai meracuni siapa pun juga. Tak usah, ya!" tukas Mrs. Bortz. Sambil menghentak-hentakkan kaki ia pergi ke apartemennya, lalu masuk sambil membanting pintu, yang kemudian dikunci dari dalam. "Apa sebenarnya yang terjadi tadi, Mr. Murphy?" tanya Alex Hassell, yang baru saja datang dari ruang tempat cuci. "Ternyata permen coklat itu memang berisi racun," kata Mr. Murphy. "Saat ini sedang diteliti di laboratorium rumah sakit, untuk memastikan racun jenis apa. Isi perut Miss Chalmers dipompa keluar, dan kini ia dibaringkan di ruang khusus untuk diamati kondisinya. Polisi tentu saja langsung dihubungi, dan mereka kemudian menanyai Mrs. Bortz tentang bungkusan yang diserahkan olehnya pada Miss Chalmers. Perempuan itu selalu, saja menanggapi segala hal, seolah-olah langsung ditujukan pada dirinya pribadi. Ia bersikap seolah-olah polisi menuduhnya mengirimkan permen beracun itu pada Gwen-pada Miss Chalmers, maksudku. Padahal tidak ada yang menuduhnya begitu." "Dengan cara bagaimana bungkusan berisi permen coklat itu dikirimkan?" tanya Jupiter. "Lewat pos. Tidak ada yang aneh tentang soal itu." Pintu apartemen Mrs. Bortz terbuka lagi. Wanita pengurus gedung apartemen itu rupanya sudah berhasil menenangkan perasaannya. Ia melangkah ke luar, lalu memandang ke arah kolam. "Kurasa segala-galanya ada gunanya," kata wanita itu. "Gwen Chalmers satu-satunya di antara kita semua yang masih suka berenang dalam keadaan cuaca yang begini dingin. Sekarang ia takkan bisa berenang lagi, setidak-tidaknya selama beberapa hari. Jadi aku bisa menyuruh orang untuk menguras dan membersihkan kolam ini, selama dia masih sakit. Sebetulnya sudah lama kolam ini harus dibersihkan." Mulut Mr. Murphy bergerak, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi. Ia hanya mengangkat bahu, menyalakan rokok, lalu masuk ke apartemennya. Ia diikuti oleh Alex Hassell, yang juga pergi meninggalkan tempat itu. Mr. Prentice memandang Mrs. Bortz dengan masam, lalu menuju ke tangga. ­"Perempuan itu benar-benar tidak punya perasaan," gerutunya pada anak-anak yang menyertainya ke atas. "Bayangkan, pada saat seperti sekarang ini, masih sempat-sempatnya dia memikirkan urusan kebersihan kolam!" "Kira-kira siapa ya yang mungkin meracuni Miss Chalmers?" tanya Mr. Prentice sekali lagi, setengah pada dirinya sendiri, ketika mereka sudah kembali berada di dalam apartemennya. "Seseorang yang mengenal wanita itu, atau kebiasaannya," kata Jupiter. "Orang, yang tahu begitu wanita muda itu membuka kotak permen, ia pasti akan langsung makan satu atau dua potong. Pertanyaan yang lebih mendesak ialah, apa sebabnya ada orang berniat meracuninya?" Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya itu. Jupiter duduk bersila di lantai, sambil menatap layar monitor televisi. Pekarangan di bawah yang kini sudah diterangi lampu-lampu, nampak kosong. "Tempat tinggal Anda ini sangat menarik," kata Jupe pada Mr. Prentice. "Belum sampai tiga hari mengenal Anda, kami sudah berhasil menangkap basah seseorang yang suka secara sembunyi-sembunyi masuk kemari-yaitu Mrs. Bortz-dan dua kali saya melihat orang lain di apartemen ini yaitu bayangan itu. Anda kecurian sebuah hasil karya seni yang tidak mungkin bisa diganti, dan sebagai kelanjutannya ditelepon., orang yang menuntut agar Anda menebus benda itu. Lalu kini, salah seorang tetangga Anda keracunan." "Jangan lupa orang yang bertugas mengurus gereja di sebelah," kata Bob mengingatkan. "Kepalanya dipukul orang. Dan Jupe dikurung di dalam gereja, karena ia memergoki hantu pastor, atau pokoknya melihat seseorang." "Kejadian-kejadian itu begitu kebetulan semuanya," kata Jupiter. "Pasti ada pertaliannya, antara yang satu dengan yang lain. Tapi sejauh ini, hanya lokasinya saja yang merupakan satu-satunya hal yang berhubungan. Segala-galanya terjadi di dalam atau di dekat gedung ini." "Ya, dan semuanya terjadi pada saat Sonny Elmquist ada di sekitar ini," kata Pete. "Tidak pernah pada waktu ia sedang di tempat kerjanya." Tiba-tiba Mr. Prentice nampak cemas. "Jangan-jangan dia bisa mendengar percakapan kita," katanya. "Jika memang betul dia bayangan itu, dia bisa saja ada di sini mendengarkan pembicaraan kita, tanpa kita ketahui." Bob pergi memeriksa seluruh ruangan, sambil menyalakan lampu-lampu. Tapi tidak nampak bayangan mengendap-endap di mana pun juga. Sinar lampu-lampu yang menerangi ruang-ruang apartemen yang kosong, menenangkan perasaan Mr. Prentice, yang kemudian menyibukkan diri, mencuci piring-piring bekas makan malam. Sedang Trio Detektif memusatkan perhatian pada layar monitor TV. ­Selama beberapa jam selanjutnya tidak terjadi apa-apa di pekarangan bawah. Hanya sekali Mrs. Bortz muncul, membawa sampah untuk dibuang ke tong sampah di belakang. Anak-anak mulai bosan. Mereka sudah mengantuk. Tiba-tiba Jupe tersentak. "Lihat!" serunya dengan suara tertahan. Sonny Elmquist muncul dari apartemennya. Ia berdiri di pinggir kolam, menatap ke dalam air. Anak-anak memperhatikannya dengan penuh minat. Kemudian pintu apartemen Mr. Murphy terbuka. Pria bertubuh gempal itu ke luar. Ia merokok sambil memegang asbak yang biasa dipakainya. Tangannya bergerak sedikit, memberi isyarat berupa salam pada Elmquist. Kemudian ia memadamkan rokoknya, meletakkan asbak ke sebuah meja, lalu keluar lewat gerbang depan. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Pete pergi ke jendela yang menghadap ke jalan sebelah depan. "Ia pergi dengan mobilnya," katanya melaporkan. "Ngebut!" "Mungkin ingin jalan-jalan sebentar," kata Mr. Prentice. "Kelihatannya ia tidak tenang sewaktu kembali dari rumah sakit. Mungkin tadi tidak bisa tidur." Sementara itu Sonny Elmquist masuk lagi ke apartemennya, lalu menarik tirai-tirai agar menutupi jendela. Pete mengumpat dengan kesal. ­"Kita tidak bisa melihat apa yang dilakukannya di dalam," katanya. "Pasti ia hendak bersiap-siap untuk pergi bekerja," kata Jupiter. "Ia harus sudah ada di pasar pada saat tengah malam." Saat itu tahu-tahu semua lampu di pekarangan padam. Seketika itu pula layar monitor televisi menjadi pudar-tinggal sejalur cahaya terang yang berasal dari celah di antara tirai-tirai yang menutupi jendela apartemen Elmquist. "Makin sialan saja!" kata Pete mencaci. "Sekarang kita sama sekali tidak bisa melihat apa-apa." "Lampu-lampu itu nyalanya memang diatur secara otomatis," kata Mr. Prentice menjelaskan. "Pukul sebelas, semuanya padam." "Kalau begitu tamatlah pengamatan kita lewat TV," kata Jupe, lalu memadamkan pesawat monitornya. "Yah--dalam keadaan gelap seperti di luar saat ini, kita memang tak memerlukannya lagi," kata Pete. "Jika Elmquist hendak pergi bekerja malam ini, dan jika betul dia yang suka masuk-masuk kemari, maka itu harus dilakukannya selama satu jam mendatang ini, atau tidak sama sekali! Kalian berdua di sini saja, menemani Mr. Prentice. Aku akan ke balkon, mengamat-amati dari situ. Takkan ada yang bisa melihat aku, karena aku akan bersembunyi di belakang tanaman karet." "Nanti kalau kau melihat sesuatu, jangan kaubunyikan bel," kata Jupe mengingatkan. ­"Kauketuk saja pintu, pelan-pelan. Kami akan langsung keluar." "Oke." Pete mengenakan jaketnya, yang untuk berolahraga ski. Sesaat lampu-lampu di apartemen Mr. Prentice dipadamkan, untuk memberi kesempatan pada Pete menyelinap ke luar tanpa dilihat orang. Dengan cepat ia membuka pintu, lalu melangkah ke balkon. Pintu ditutup lagi, tapi sekali ini tidak dikunci. Pete tahu bahwa Jupe dan Bob menunggu di balik pintu, siap untuk keluar begitu ia membutuhkan bantuan. ­Lampu-lampu di dalam apartemen Elmquist masih menyala sebentar, tapi kemudian padam. Pete menunggu pemuda itu muncul, untuk pergi bekerja. Tapi tidak terjadi apa-apa di seberang. Pantulan remang cahaya lampu-lampu di kota menyebabkan tempat di sekitar kolam tidak sepenuhnya gelap gulita. Pete tahu, jika ada sesuatu bergerak di bawah, ia pasti akan melihatnya. Tapi tidak ada yang bergerak di situ. Tidak lama sesudah tengah malam, ada seseorang masuk lewat gerbang depan. Pete langsung tegang. Tapi hanya sesaat. Ia tenang lagi, ketika sosok gelap itu berhenti sebentar dekat meja di pinggir kolam. Ternyata orang itu Mr. Murphy. Ia mengambil asbak yang tadi diletakkannya di situ. Makelar saham itu masuk ke apartemennya, dan sejenak kemudian sebuah lampu dinyalakan dalam ruangan yang jendela-jendelanya tertutup tirai. Mata Pete terkejap. Selama beberapa saat-yaitu sementara Mr. Murphy mengambil asbaknya lalu membuka pintu apartemennya-perhatian Pete tidak terarah pada pintu apartemen Elmquist. Dan rupanya selama beberapa saat itulah pemuda itu keluar dari tempat kediamannya. Diterangi cahaya remang yang berasal dari celah tirai jendela apartemen Mr. Murphy, Pete bisa melihat bahwa Elmquist mengenakan mantel mandi dan selop. Pemuda itu mengitari kolam dengan langkah menyelinap, menghampiri pintu apartemen Mr. Murphy. Mata Pete terkejap lagi. Dan... tahu-tahu Elmquist lenyap! Sekitar dua puluh meter dari pintu depan apartemennya, pemuda itu tahu-tahu menghilang! Pete buru-buru mengetuk pintu apartemen Mr. Prentice. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menyelinap menuruni tangga, menuju pekarangan di bawah. Maksudnya hendak mencegat di depan pintu tempat tinggal Elmquist, menunggu pemuda itu apabila kembali nanti. Baru saja ia sampai di pelataran ubin yang mengelilingi kolam renang, tahu-tahu kakinya menginjak sesuatu. Sesuatu yang lunak-dan hidup! Terdengar jeritan menyeramkan, jeritan makhluk yang tersiksa! Sambil bergidik, Pete berusaha melompat ke samping. Tapi makhluk hidup yang bergerak-gerak itu menyusup di sela kedua kakinya. Pete berteriak, lalu jatuh tersungkur ke depan. Jeritan menyeramkan itu terdengar lagi. Seperti sedang menonton film slow-motion, Pete melihat tepi kolam bergerak ke arahnya, ia melihat sesuatu mencengkeram kakinya. Ia merasakan kuku-kuku mencengkeram daging. Dan tahu-tahu ia merasakan tubuhnya terbanting ke air kolam, teriring bunyi ceburan, Pintu apartemen Alex Hassell terbuka dengan cepat. Lampu-lampu di pekarangan menyala serentak. Kepala Pete timbul di permukaan air kolam. Ia megap-megap, meludahkan air yang mengandung khlor. Makhluk yang menjerit tadi mendesis, berenang ke tepi, lalu diangkat ke luar oleh Alex Hassell. Makhluk itu ternyata kucing. Seekor kucing berbulu hitam. "Anak kejam!" tukas Alex Hassell, memaki Pete. Pete merangkak keluar dari dalam air. Ia menggigil, karena hawa malam itu sangat dingin. "Mr. Prentice!"' seru Mrs. Bortz. Wanita itu muncul berselubung mantel kamar, dengan rambut digulung kecil-kecil. "Mr, Prentice! Anda harus melarang anak-anak itu, jangan sampai mereka keluyuran ke luar malam-malam begini!" Jupiter menuruni tangga, menuju pekarangan. Tahu-tahu Sonny Elmquist sudah berdiri di ambang pintu apartemennya. ­"Saya... saya tadi tidak bisa tidur," kata Pete dengan suara pelan, mencari-cari alasan. Kini pintu apartemen Mr. Murphy terbuka. "Ada apa lagi sekarang?' seru makelar saham itu dengan jengkel. "Anak kurang ajar ini menginjak seekor kucingku!" kata Alex Hassell. Kucing yang basah kuyup itu digendongnya. "Sudahlah, jangan menangis," katanya dengan lembut. "Kau ikut saja denganku, ke dalam. Nanti kau ku rawat. Jangan kauacuhkan anak jahat itu!" "Aku tidak mau melihatmu berkeliaran di luar sini lagi!" kata Mrs. Bortz dengan marah pada Pete. "Itu takkan terjadi lagi, Ma'am," kata Pete. Mrs. Bortz masuk lagi ke apartemennya, lalu memadamkan lampu-lampu. "Anda tidak dinas lagi malam ini?" tanya Jupe, sambil memandang Elmquist. Pemuda itu mengangguk. "Apa boleh buat, malam ini pun ada lagi keributan di sini," kata Jupe. "Aku tadi hampir... aku nyaris melihat..." "Apa?" tanya Jupe dengan cepat. "Tidak apa-apa." Elmquist mengusap-usap matanya. "Aku tadi bermimpi, rupanya. Ketiduran..." Pemuda bertubuh ceking itu masuk lagi ke dalam, lalu menutup pintu apartemennya. Pete bergegas menaiki tangga, menuju apartemen Mr. Prentice. Jupiter mengikutinya dari belakang. Prentice sudah siap di ruang duduk dengan handuk besar. Sedang Bob sibuk di kamar mandi, membuka keran-keran untuk menyiapkan air hangat. "Dari mana datangnya Elmquist tadi?" tanya Pete dengan heran, sambil membuka jaketnya. "Ketika aku sedang di luar tadi, aku melihatnya berjalan mengitari kolam. menuju tempat tinggal Mr. Murphy. Tahu-tahu ia lenyap. Tidak kelihatan lagi, di mana pun juga kucari dengan mataku. Karenanya aku lalu turun. Maksudku hendak mencarinya di bawah. Tahu-tahu terinjak oleh ku kucing sialan itu, lalu-" "Ya, aku melihat saat itu," kata Jupe. "Kau tercebur ke dalam kolam. Lalu Elmquist keluar dari apartemennya." "Tapi itu mustahil!" kata Pete dengan tegas. "Ketika aku terjatuh ke dalam kolam, ia tidak berada dalam apartemennya. Tidak mungkin ia ada di situ. Ia sedang menuju tempat tinggal Murphy, ketika tahu-tahu menghilang!" ­Bab 12 KECELAKAAN? ­SETELAH itu Bob dan Jupe silih berganti melakukan pengamatan dari atas balkon. Sampai pukul empat dinihari tidak kelihatan gerakan apa pun juga di pekarangan, yaitu sampai Mrs. Bortz keluar dari apartemennya. Ia memakai jas dari kain wol tebal. Begitu melihat Mrs. Bortz, Jupiter cepat-cepat mengendap masuk ke apartemen Mr. Prentice. "Mrs. Bortz hendak pergi," kata Jupe melaporkan pada Mr. Prentice. Pria yang sudah berumur lanjut itu semalaman tidak masuk ke kamar tidurnya. Ia duduk bersandarkan bantal di sudut sofa. Sekali-sekali terlelap, tapi langsung terbangun lagi. "Tentu saja," katanya menanggapi laporan Jupiter. "Pukul empat pagi?" tanya Jupiter dengan heran. Mr. Prentice menguap. "Pasar kan buka dua puluh empat jam sehari," katanya mengingatkan. "Mrs. Bortz selalu berbelanja setiap hari Kamis, dan ia selalu berangkat pukul empat pagi." Jupiter hanya bisa melongo. "Katanya, saat ini pasar sedang sepi," kata Mr. Prentice. "Tapi menurut hematku, pada waktu seperti sekarang ini ia bisa merasa pasti bahwa takkan terjadi apa-apa di sini. Jadi ia takkan rugi, jika tidak melihat dan harus pergi. Mr. Murphy baru pukul lima nanti berangkat ke kantornya. Sedang penghuni apartemen lainnya, sekarang ini pasti masih tidur semuanya." Bob dan Pete muncul dari ruang hobi. Sepanjang sisa malam itu mereka tidur-tiduran di situ. "Maksud Anda, begitu besar rasa ingin tahunya, sehingga tidak berani meninggalkan tempat ini kecuali jika semua penghuni sedang tidur?" kata Pete. "Tingkah lakunya memang aneh, malahan bisa dibilang penyakit," kata Mr. Prentice. "Mrs. Bortz itu seperti labah-labah, yang tidak bisa meninggalkan sarangnya. Satu-satunya minat perempuan itu hanya terhadap orang-orang yang tinggal di sini, yang terus-menerus diawasinya. Itulah tujuan hidupnya." Bob pergi ke jendela yang menghadap ke jalan di depan, lalu menarik tirai ke samping. Ia mendengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Dilihatnya sinar merah lampu belakang sebuah kendaraan menerangi lantai semen di sebelah bawah jendela. Kemudian sebuah sedan berwarna kelabu muncul lambat-lambat dari bawah gedung. "Heran, baterainya tidak kosong, jika cuma sekali seminggu ia memakai mobilnya," kata Bob. ­"Cukup sering ia terpaksa memanggil montir dari bengkel," kata Mr. Prentice. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan memecah kesunyian dinihari, diiringi suara orang menjerit. Mr, Prentice terlonjak dari sofa. Jupiter melompat, menghampiri jendela. Pada jarak yang belum begitu jauh, nampak sedan tadi mula-mula menyodok ke kiri, kemudian ke kanan. Asap mengepul dari bawah kap. Sekali lagi terdengar jeritan Mrs. Bortz, Sedan yang saat itu kelihatannya sudah tidak bisa dikendalikan lagi-membentur pinggir trotoar, menyebabkan kedua ban depannya pecah. Dengan bunyi yang menyakitkan telinga, kendaraan itu menubruk sebuah pipa hidran yang terpasang di trotoar. Mrs. Bortz menjerit lagi. Berkali-kali ia menjerit. Pipa hidran itu patah pada bagian pangkalnya, dan air menyembur ke atas dari sebelah bawah mobil. "Panggil pemadam kebakaran!" seru Pete pada Mr. Prentice. Bob lari ke pintu. "Kita harus cepat-cepat menolongnya, sebelum air memenuhi mobil," katanya. Ketika anak-anak, sampai di pekarangan, mereka melihat Mr. Murphy yang memakai mantel mandi bergegas keluar lewat gerbang depan, bersama Elmquist yang menyelubungi piyamanya dengan mantel. ­"Itu Mrs. Bortz!" seru Mr. Murphy. Pria bertubuh besar itu lari menghampiri mobil ringsek yang dibanjiri air dari pipa hidran yang patah. Anak-anak melewati Elmquist, dan kemudian berhasil mendului Mr. Murphy. Mereka mengarungi genangan air yang dingin seperti es, lalu menggerapai di tengah-tengah semburan air dingin, berusaha mencapai pintu sedan. Mrs. Bortz duduk seperti patung di belakang kemudi. Dengan mata menatap nanar, ia menjerit dan terus menjerit, seperti tidak bisa berhenti. "Mrs. Bortz!" Jupiter menyentak-nyentak pegangan pintu. Ternyata dikunci dari dalam. Mr. Murphy menggedor-gedor kaca jendela di sisi yang dekat dengan wanita itu. Mrs. Bortz berpaling, menatap pria itu dengan pandangan kosong. "Buka pintu!" teriak Mr. Murphy. "Buka penguncinya!" Tangan wanita itu menggerayang, berusaha menarik tombol pengunci pintu. Detik berikutnya Mr. Murphy menyentakkan pintu itu, sehingga terbuka. Bersama Bob ditariknya wanita yang sudah panik itu ke luar. Sementara itu terdengar bunyi sirene mengaung-ngaung, makin lama makin dekat. Sebuah kendaraan barisan pemadam kebakaran berhenti. Sejumlah pria bermantel hujan hitam berloncatan turun. Seorang di antaranya dengan cepat memperhatikan apa yang terjadi di situ, lalu berpaling untuk mengatakan sesuatu pada pengemudi mobil penolong itu. Pengemudi itu memasukkan persneling kendaraannya lalu melesat ke pojok jalan. Sesaat kemudian air sudah tidak lagi menyembur dari pipa hidran yang patah. Mr. Murphy, Elmquist, Bob, dan Jupe berdiri di dekat Mrs. Bortz. Wanita itu tidak bisa mengatakan apa-apa, karena masih terlalu kaget. "Kenapa airnya begitu cepat berhenti menyembur?" tanya Mr. Murphy pada salah seorang petugas pemadam kebakaran. "Di pojok jalan ini ada keran utama," jawab petugas yang ditanya. Ia memandang Mrs. Bortz. "Anda yang tadi mengemudikan mobil ini?" katanya. Mrs. Bortz tidak menjawab. "Sebaiknya kita bawa saja dia ke dalam," kata Mr. Murphy. "Kalau lama-lama berdiri di sini, bisa terserang radang paru-paru nanti." Dengan susah-payah Bob dan Jupe membimbing Mrs. Bortz menaiki tangga depan, masuk ke gedung apartemen. Mr. Murphy mengambil kunci-kunci apartemen wanita itu, untuk membukakan pintu. Petugas pemadam kebakaran tadi datang ke situ, lalu berdiri di ambangnya. Seorang polisi muncul di belakangnya. "Siapa yang menabrak pipa hidran itu tadi?" tanya polisi itu ingin tahu. Mrs. Bortz berdiri di tengah-tengah ruang duduk apartemennya. ­"Ada orang menembakku tadi," katanya. Ia berbicara dengan mulut terkatup. "Sebaiknya Anda ganti dulu pakaian yang basah itu, Ma'am," kata polisi itu dengan tenang. "Lalu jika perasaan Anda sudah agak lebih enak. mungkin Anda bersedia untuk menceritakannya lebih lanjut." Mrs. Bortz mengangguk, lalu pergi ke belakang. Saat itu barulah Jupiter sadar bahwa giginya gemeletuk. "Aku juga ingin ganti pakaian dulu," katanya pada polisi itu, yang menanggapinya dengan pertanyaan, "Kau melihat sesuatu tadi?" "Ya, aku melihat mobil itu berangkat dari garasi di bawah gedung ini," jawab Jupiter. "Baiklah, kalau begitu kauganti dulu pakaianmu yang basah itu. Setelah itu kembali lagi kemari." Petugas itu berpaling pada Bob dan Pete. "Kalian berdua juga." Beberapa menit kemudian ketiga remaja itu sudah kembali ke apartemen Mrs. Bortz dengan pakaian kering, untuk menyampaikan laporan pada polisi tadi. Sementara itu sebuah mobil derek tiba di jalan itu. Beberapa orang berseragam polisi dan seorang lagi berpakaian preman berkerumun di sekeliling mobil yang ringsek. "Jika benar ada yang menembaknya, tembakan itu jelas meleset," kata polisi yang berpakaian preman. ­"Bahwa ada tembakan, itu sudah pasti," kata Jupiter. "Saya mendengar letusannya. Saat mobil yang dikendarai Mrs. Bortz mulai berjalan, terdengar bunyi tembakan,... atau bisa juga ledakan." Mobil sedan yang miring ke samping di atas pipa hidran yang patah, diterangi lampu-lampu sorot mobil derek. "Tidak ada lubang bekas peluru," kata polisi yang berpakaian preman sambil memeriksa. Saat itu Jupiter melihat sesuatu di trotoar. Secarik kertas yang kelihatannya berwarna merah, basah terendam air. Ia membungkuk untuk memungut potongan kertas itu, kemudian mengamat-amatinya. "Kepulan asap hitam," katanya. "Apa katamu?" tanya polisi berpakaian preman, yang rupanya detektif. "Setelah tembakan atau ledakan terdengar, ada asap mengepul keluar dari bawah kap mobil ini." Detektif itu pergi ke bagian depan mobil Mrs. Bortz, lalu membuka kapnya. Seorang polisi berpakaian seragam menyorotkan senternya ke arah mesin. Potongan-potongan kertas dan sesuatu yang kelihatannya seperti kain penyumbat yang terbakar berserakan di atas mesin itu. Pipa-pipa radiator hangus, sedang tali kipas putus. "Bukan tembakan," kata detektif polisi menarik kesimpulan, "Bahan peledak. Tadi ada sejenis bom dipasang di bawah kap ini!" Dibantingnya kap sehingga tertutup kembali. "Bawa pergi!" serunya pada pengemudi mobil derek. "Bawa ke garasi kantor polisi!" Kini detektif itu berpaling pada anak-anak. Sementara itu Mr. Murphy sudah menggabungkan diri lagi, dan Sonny Elmquist berdiri sambil mendekam dekat tangga yang menuju ke pekarangan gedung. Alex Hassell juga keluar. Nampaknya ia mengenakan celana panjangnya. tanpa membuka piyama terlebih dulu. "Ada yang mencelakakannya!" katanya. "Ada yang tidak senang padanya?" tanya detektif polisi. "Seisi gedung," kata Mr. Murphy dengan sebal "tapi tidak bisa saya bayangkan ada orang yang sampai memasang bom di dalam mobilnya." Makelar saham itu menguap. "Namaku Murphy," katanya pada detektif polisi. "Lengkapnya John Murphy. Aku tinggal di apartemen 1E, dan aku tadi tidak melihat apa-apa. Hanya mendengar bunyi ledakan, disusul bunyi mobil ini menabrak sesuatu. Aku langsung lari ke luar bersama anak-anak ini, lalu menolong nenek itu keluar dari mobilnya. Nah, karena kami semua tidak sempat tidur lama, hari ini aku tidak ke kantor. Aku akan tidur lagi sekarang. Jika Anda masih ingin mengajukan pertanyaan lagi padaku, silakan, tapi jangan sebelum tengah hari. Aku mau tidur dulu." Dengan langkah berat, makelar saham itu menaiki tangga lalu masuk ke pekarangan. Detektif polisi memperhatikan dia pergi. "Rupanya selama beberapa hari belakangan ini keadaan di blok ini benar-benar aneh," katanya mengomentari. "Memang!" kata Pete. Dengan mata terpicing ia memandang ke arah timur, di mana sinar samar kemerah-merahan mulai menerangi langit. "Jika dalil mengenai perimbangan rata-rata memang benar, maka mestinya keadaan di sini pagi ini akan tenang. Apa lagi yang masih bisa terjadi?" ­Bab 13 KEBAKARAN! ­SEHABIS mengalami malam yang begitu menegangkan, Mr. Prentice dan ketiga remaja yang benar-benar sudah capek itu langsung tidur nyenyak. Ketika matahari sudah tinggi, Mr. Prentice bangun lalu menyajikan hidangan sarapan yang sedap untuk anak-anak. Jupe menyalakan pesawat monitor TV, tapi hanya sekali-sekali saja memandangnya sekilas. Gedung apartemen itu sepi. "Aku harus ke bank," kata Mr. Prentice. "Sampai besok, aku sudah harus mengumpulkan sepuluh ribu dolar dalam bentuk uang kertas recehan. Aku akan senang sekali jika salah seorang dari kalian mau menemani aku ke sana." "Tentu saja kami bersedia, Mr. Prentice," kata Jupe. "Tapi saya rasa sebaiknya Anda beri tahukan niat Anda itu kepada polisi." "Tidak," kata Mr. Prentice. "Aku tidak berani mengambil risiko, karena Anjing Karpatia terlalu berharga bagiku, Jika pencurinya merasa dirinya terancam, ada kemungkinan patung itu akan dimusnahkan olehnya. Kita harus memenuhi tuntutannya." Jupiter pergi ke jendela yang menghadap ke jalan. Di bawah nampak sebuah taksi berhenti. ­Pengemudinya menuruni tangga depan gedung, menjinjing sebuah kopor. Ia diikuti oleh Mrs. Bortz. "Mrs. Bortz pergi," kata Jupiter, sementara taksi tadi berangkat. "Ia punya saudara perempuan di Santa Monica," kata Mr. Prentice. "Ia selalu mengungsi ke sana jika sedang sakit, atau mengalami kesulitan." "Saya rasa saat ini ia memang dalam kesulitan," kata Pete. "Ada bom yang dipasang dalam mobilnya, itu kan-" Kalimatnya terpotong bunyi kaca pecah di luar. Bunyinya terdengar jelas, meski pintu ke balkon saat itu tertutup. "Kebakaran!" seru seseorang di luar. "Tolong, ada kebakaran!" Seketika itu mereka berempat yang ada di dalam apartemen Mr. Prentice memburu ke luar. Di tingkat bawah nampak api berkobar melalap tirai jendela-jendela apartemen yang didiami John Murphy. Sonny Elmquist, dengan rambut acak-acakan dan tanpa sepatu sibuk memecah kaca jendela-jendela itu dengan kursi besi yang biasanya ada di tepi kolam. "Ya, Tuhan!" seru Mr. Prentice, lalu cepat-cepat masuk lagi. ke apartemennya untuk menelepon pemadam kebakaran. Pete menuruni tangga dan sudah menyambar sebuah kursi lagi, sementara Jupe dan Bob baru saja sampai di bawah. Alex Hassell muncul dari apartemennya dengan langkah tersaruk-saruk. ­"Mr. Murphy!" teriak Pete. Disingkirkannya pecahan kaca dari kusen jendela, lalu diayun-ayunkannya tangannya untuk memadamkan api yang menjalar pada tirai-tirai. "Ini!" Jupiter menyambar alat pemadam api yang dilihatnya dalam sebuah ceruk dekat tangga lalu lari ke arah api. Dengan segera busa menyembur keluar dari alat itu, menyelubungi api yang langsung padam dengan bunyi mendesis. Begitu api sudah padam, anak-anak dan Elmquist buru-buru masuk lewat jendela yang sudah tidak berkaca lagi. Jupe mengarahkan alat pemadam api ke sebuah sofa yang sudah mulai terbakar di dekat jendela. Kemudian disemprotnya pula pohon Natal yang terdapat di belakang sofa itu, sebagai tindakan pengaman. Anak-anak terbatuk-batuk. karena ruangan itu penuh asap. Mereka berseru memanggil-manggil tapi tidak terdengar suara Mr. Murphy menjawab. Jupe dan Pete merunduk untuk menghindar dan gangguan asap, lalu bergerak maju. Mereka menjumpai Mr. Murphy tergeletak di ambang pintu antara ruang duduk dan kamar tidur. "Kita harus cepat-cepat membawanya ke luar!" kata Pete dengan napas sesak. Dipegangnya lengan orang itu lalu tubuhnya dibalikkan sehingga mukanya menghadap ke atas. Ditepuk-tepuknya muka orang itu beberapa kali. Tapi Mr. Murphy tetap tidak bergerak. "Kita seret dia ke luar," kata Jupe. Dipegangnya salah satu lengan orang itu, sedang Pete memegang lengan yang satunya lagi. Bob bergegas menghampiri, lalu mengangkat kedua kaki Mr. Murphy. Di belakang mereka terdengar Sonny Elmquist tersedak dan terbatuk-batuk. "Cepat keluar!" seru Pete memperingatkan. "Atau Anda juga ingin ikut pingsan, ya?!" Elmquist pergi ke pintu lalu membukanya. Dengan sikap tubuh yang masih merunduk, Trio Detektif menggotong pria yang pingsan itu ke pintu, menuju tempat yang terang di mana terdapat udara segar. Tubuh Mr. Murphy yang tidak sadarkan diri itu berat sekali rasanya, seberat batubara sekarung penuh. Tapi anak-anak berhasil dengan cepat menggotongnya sampai di luar. Buru-buru makelar saham itu mereka bawa sampai ke pinggir kolam, lalu ditelentangkan di tanah. Sinar matahari yang menyilaukan menerangi wajahnya yang pucat-pasi. "Aduh," keluh Mr. Prentice. Alex Hassell menatap dengan mata melotot. "Apakah dia... apakah..." Pete mendekatkan telinganya ke dada Mr. Murphy. "Masih hidup," katanya singkat. Saat itu regu pemadam kebakaran tiba dengan ambulans, dan membawa tabung zat asam. Mereka cepat-cepat masuk ke apartemen Mr. Murphy, untuk memadamkan sisa-sisa api yang masih menjalar di tirai dan bantalan sofa. ­Pemimpin regu pemadam kebakaran tiba beberapa menit kemudian, dan langsung menggabungkan diri dengan anak buahnya yang masih sibuk di dalam apartemen, Salah seorang petugas ambulans melepaskan topeng zat asam yang tadi dipasang di wajah Mr. Murphy ketika makelar saham nampak tersentak menarik napas. Mr. Murphy membuka matanya lalu tangannya bergerak untuk menyingkirkan topeng tadi. "Nasib Anda masih mujur," kata pengemudi ambulans padanya. "Tadi terlalu banyak asap yang masuk ke dalam paru-paru Anda. Cuma itu saja." Mr. Murphy berusaha duduk. "Tenang-tenang sajalah dulu," kata petugas ambulans. "Anda akan kami bawa ke klinik gawat darurat." Mr. Murphy kelihatannya hendak menolak. Tapi saat itu ia ambruk lagi ke ubin pekarangan. "Bawa usungan kemari, George," kata pengemudi ambulans pada rekannya. John Murphy diam saja. Dibiarkannya dirinya diangkat, lalu ditaruh di atas usungan. Kedua petugas ambulans tadi menyelubungi tubuhnya dengan sehelai selimut berwarna kelabu, lalu hendak membawanya pergi. "Tidakkah sebaiknya ada yang ikut menemani dia?" tanya Alex Hassell. "Keponakanku," kata Mr. Murphy dengan suara lemah. "Aku akan meminta keponakanku datang." ­Sesaat kemudian mobil ambulans berangkat dengan sirene meraung-raung. Kepala regu pemadam kebakaran muncul di ambang pintu apartemen Mr. Murphy. "Kejadian biasa," katanya, sambil menyodorkan sebatang rokok yang tinggal setengah, Rokok itu basah kena busa yang disemprotkan dari alat pemadam api. "Tertidur ketika sedang merokok. Rokoknya jatuh ke sofa, yang kemudian terbakar karenanya. Api dari sofa menjalar ke tirai-tirai, lalu...," "Untung aku melihatnya." Sonny Elmquist masih tetap belum bersepatu. Wajahnya pucat sekali. "Untung bagi orang tadi. Ia bisa tewas jika Anda tidak lekas melihatnya. Pohon Natal yang di dalam itu pohon sungguhan. Jika tersambar api, dengan sekejap mata seluruh ruangan akan ikut terbakar." "Ia tidur dengan rokok yang masih menyala?" tanya Jupiter. "Itu sering terjadi, Nak," kata kepala regu pemadam kebakaran. "Tapi orang itu memiliki asbak khusus," kata Jupe. "Menurut dia, asbak itu hebat-rokok bisa dibiarkan di dalamnya dengan aman. Tidak mungkin jatuh." "Apa pun bisa terjadi apabila seseorang yang mengantuk menyalakan rokok," kata kepala regu pemadam kebakaran. "Dan Mr. Murphy tadi memang mengantuk sekali," kata Mr. Prentice mengetengahkan kenyataan itu. "Katanya, ia hendak tidur terus sampai tengah hari. Rupanya ia kemudian merebahkan diri ke sofa, lalu langsung tertidur." "Tapi kami menjumpainya terkapar di lantai, di ambang pintu kamar tidur. Jika benar ia tadi tidur di sofa, apa sebabnya ia tidak membuka pintu saja, lalu keluar?" tanya Jupiter. "Rupanya ia bingung, karena begitu banyak asap di dalam," kata petugas pemadam kebakaran itu dengan sabar. "Orang memang gampang sekali bingung, dalam keadaan seperti itu. Karena sudah diselubungi asap, ia tidak tahu lagi jalan keluar." Jupiter serta yang lain-lainnya meninggalkan para petugas pemadam kebakaran yang sibuk membongkar sofa untuk memastikan bahwa tidak ada lagi api yang masih tersisa di dalamnya. "Repot juga nanti membereskan apartemen ini," kata Alex Hassell mengomentari. "Mrs. Bortz pasti marah-marah apabila melihatnya." Sonny Elmquist mengatakannya dengan air muka yang nampak senang. "Eh, mana Mrs. Bortz?" "Baru saja pergi, naik taksi," kata Bob. "Ke mana Mr. Murphy dibawa ambulans itu?" tanya Jupe pada kepala regu pemadam kebakaran. "Ke tempat penerimaan pasien, di Rumah Sakit Pusat itu rumah sakit yang menangani kasus-kasus darurat di daerah ini. Jika yang bertugas di sana memutuskan bahwa ia belum bisa disuruh pulang, ia akan tetap di sana-atau dipindahkan ke rumah sakit lain, jika itu diminta olehnya." ­Jupiter mengangguk. "Rumah Sakit Pusat," katanya mengulangi. "Miss Chalmers juga dirawat di situ. Tapi... apa sebabnya Mr. Murphy samp3i harus dibawa ke sana?" "Itu kan tempat klinik untuk kasus-kasus darurat," kata petugas pemadam kebakaran tadi menjelaskan. "Bukan itu maksud saya," kata Jupe. "Mr. Murphy selalu berhati-hati dengan rokoknya. Tidak semestinya ia sampai menyebabkan kebakaran. Inilah yang tidak bisa kumengerti!" ­Bab 14 BADAN HALUS YANG GENTAYANGAN "BANGUNAN ini membawa sial," kata Alex Hassell ketika regu pemadam kebakaran sudah pergi lagi. "Mula-mula Gwen Chalmers, setelah itu Mrs. Bortz, dan sekarang Murphy!" "Segala-galanya bermula dengan peristiwa pencurian itu," kata Mr. Prentice. Ia mengatakannya tanpa memandang ke arah Sonny Elmquist yang berbaring di kursi malas, dengan mata terpicing untuk menahan sinar matahari yang menyilaukan. "Keadaan di sini cukup tenteram sampai tiga malam yang lalu, ketika maling itu lari lewat pekarangan sini. Sejak itu segala-galanya kacau-balau!" Jupiter mengangguk "Ada satu kesimpulan yang jelas," katanya "Anjing Karpatia ada di sini! Dan besar kemungkinan orang yang mencurinya juga ada di sini!" "Kau ini bicara tentang apa, Anak muda?" tukas Mr. Hassell. "Di sini sama sekali tidak ada anjing, baik anjing curian atau bukan. Kucing-kucingku pasti tahu, jika ada anjing di sinH" "Anjing itu berujud sebuah patung, terbuat dari kristal," kata Fenton Prentice menjelaskan. "Anjing itu dibuatkan untukku oleh Edward Niedland, dan aku meminjamkannya pada seniman itu untuk keperluan pamerannya di Galeri Maller. Lalu Senin malam dicuri dari tempat tinggal mendiang Edward." Alex Hassell terbahak mendengar keterangan itu. "Jadi itu rupanya yang dimaksudkan oleh Mrs. Bortz! Ia mengatakan padaku bahwa Anda akan mendapat anjing, dan karenanya aku sebaiknya berjaga-jaga demi kucing-kucingku. Anjing dari kaca! Hahh!" Prentice mendesah. "Perempuan itu membaca surat-surat pribadiku. Aku yakin, ia pasti menyangka aku akan mendapat anjing sungguhan. Lalu ia mengoceh tentang anjing itu pada setiap orang di gedung ini--dan kemudian seseorang mencuri patung anjingku!" "Orang itu bukan aku!" ujar Mr. Hassell ketus. "Kecuali itu, aku tidak mau tinggal di sini selama ada yang suka meracuni orang lain dan meledakkan mobil. Aku mau pindah ke rumah penginapan!" Ia bergegas masuk ke apartemennya. Tidak lama kemudian ia keluar lagi dengan menjinjing kopor dan kandang tempat membawa binatang peliharaan. "Pukul lima nanti aku akan kembali sebentar, untuk memberi makan kucing-kucingku," katanya. "Tabitha tentu saja kubawa. Jika ada yang perlu menghubungi, aku menginap di Ramona Inn, sampai keadaan di sini sudah normal kembali." Ia menatap Mr. Prentice sambil melotot. "Anda boleh saja menggeledah tempat tinggalku,", katanya, "tapi minta dulu surat izin dan kepolisian. Kalau tidak, awas!" Ia berjalan ke luar dengan langkah-langkah kaku. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mobil berangkat di luar. "Jika Anda merasa perlu, apartemenku juga boleh diperiksa," kata Sonny Elmquist. "Tengah hari nanti aku harus berangkat ke tempat kerja, tapi sebelum itu cukup banyak waktu. Untuk itu Anda tidak perlu membawa surat izin." "Tengah hari?" kata Bob. "Kusangka Anda bekerja malam hari." "Hari ini aku mengambil giliran kerja siang," kata Elmquist. "Salah seorang rekan tidak masuk, karena sakit." "Aku yakin, Anjing Karpatia tidak ada di apartemen Anda," kata Jupiter dengan suara pelan. "Patung itu tidak ada di apartemen yang mana pun juga di gedung ini." Sonny Elmquist kelihatan agak kecewa. Ia mengangkat bahu, lalu kembali ke tempat tinggalnya. "Dari mana kau bisa tahu pasti?" tanya Mr. Prentice. "Alasannya sederhana saja, karena Mrs. Bortz suka sekali mengintip-intip, untuk mengetahui urusan orang lain," kata Jupiter menjelaskan, "dan kebiasaannya itu dilakukannya di sini. Semua orang mengetahuinya. Selama ini ia tidak pernah pergi dari sini. Baru sekarang ia tidak ada. Ia memiliki kunci maling, dan dengannya setiap apartemen bisa dimasuki. Jika saya mencuri Anjing Karpatia dan saya tinggal di gedung ini, patung itu takkan saya sembunyikan di apartemen saya." "Betul! Yah, kurasa pendapatmu itu benar." "Tapi itu tidak berarti patung anjing itu tidak ada di dekat-dekat sini. Kalau bukan begitu kenyataannya, apa sebabnya ada seseorang yang begitu bernafsu, ingin menyingkirkan sebanyak mungkin penghuni gedung ini dari sini? Kemarin Miss Chalmers diracuni. Hari ini Mrs. Bortz nyaris celaka, karena ada bom dipasang dalam mobilnya. Lalu terjadi kebakaran di apartemen Mr. Murphy. Saya agak heran, tentang kejadian itu. Saya perlu bicara dengan Mr. Murphy, jika keadaannya sudah mendingan, mungkin ada sesuatu yang bisa diingatnya. " Kening Bob berkerut. "Menurut dugaanmu, kebakaran itu terjadi karena disengaja?" katanya. "Kemungkinan itu ada." "He, jangan-jangan Sonny Elmquist pelakunya! Begitu lekas ia tiba di apartemen itu. Barangkali mula-mula ia masuk dengan menembus dinding untuk menimbulkan kebakaran, lalu setelah itu baru ia berlagak menyelamatkan Mr. Murphy, sebelum kobaran api tidak bisa diatasi lagi!" "Teori segila itu, bagaimana membuktikan benar tidaknya?" tanya Pete. ­"Mula-mula," kata Bob dengan mantap, "aku akan menghubungi DR. Barrister." Orang yang disebutnya itu seorang profesor antropologi di Universitas Ruxton, tidak jauh dari situ. Ilmuwan itu sebelumnya sudah pernah memberi bantuan pada Trio Detektif, dengan pengetahuannya tentang perdukunan dan ilmu gaib. "Mungkin saja bukan Elmquist yang menyebabkan kebakaran itu, tapi yang jelas kelihatannya ia memiliki kemampuan gaib, bisa menembus dinding. DR. Barrister mungkin bisa memberi penjelasan mengenai hal itu." "Kalau aku, mendingan berurusan dengan alam kehidupan yang biasa-biasa saja. Dunia nyata!" kata Pete. "Aku akan membuntuti Elmquist, apabila ia pergi ke tempat kerjanya nanti. Katanya ia akan pergi ke pasar, tapi itu katanya. Belum tentu benar! Di samping itu nanti aku juga bisa memeriksa, apakah Mr. Hassell benar-benar pindah ke tempat penginapan yang disebutkannya tadi." ­"Dan aku," kata Jupiter, "aku akan ke rumah sakit. Aku memerlukan beberapa keterangan dari Miss Chalmers, dan juga dari Mr. Murphy." Mr. Prentice kelihatan kaget mendengar niat Trio Detektif. "Nanti dulu! Kan sudah kukatakan tadi, aku berniat pergi ke bank dengan ditemani salah seorang dari kalian. Aku tidak ingin seorang diri membawa uang tebusan itu." "Memang sebaiknya jangan, dan Anda juga tidak boleh tinggal seorang diri saja di sini," kata Jupe, "Anda punya kawan yang bisa menemani?" "Ya, tentu saja ada! Charles Niedland!" Dengan segera ia menelepon orang itu, yang langsung berjanji akan segera datang ke Paseo Place. Setelah menelepon DR. Barrister, Bob buru-buru berangkat dengan taksi. Dua puluh menit kemudian ia sudah berada di ruang kantor guru besar itu di Universitas Ruxton. DR. Barrister yang biasanya selalu lemah lembut itu, kini kelihatan bergairah. "Ada apa lagi sekarang?" katanya. "Kasus gaib apa lagi yang ditemukan Trio Detektif?" Bob bercerita tentang bayangan misterius, yang suka muncul di apartemen Mr. Prentice. "Hmmm!" kata DR. Barrister menanggapi. "Rasanya itu bukan termasuk bidangku. Keahlianku adalah tentang kepercayaan dan adat kebiasaan tradisional suku-suku Maori, tentang praktek perdukunan di Karibia, serta kawasan-kawasan lainnya. Sedang yang kauceritakan itu kelihatannya merupakan peristiwa yang seratus persen tergolong ilmu gaib. Aku percaya pada banyak hal yang bagi orang lain dianggap mustahil, tapi aku tidak percaya hantu itu ada. Walau begitu-" wajah DR. Barrister nampak cerah kembali, "aku punya rekan yang pikirannya terbuka mengenai hal-hal seperti itu." ­Bob tertawa gembira. ­"Sudah saya sangka, Anda pasti akan bisa menolong kami." "Dengan senang hati aku melakukannya," jawab DR. Barrister. "Yuk, kukenalkan kau pada Profesor Lantine. Dia itu ketua Departemen Parapsikologi di Universitas Ruxton. Separuh tenaga pengajar di sini menganggap wanita itu sinting, sedang yang separuh lagi cemas, jangan-jangan pikiran mereka bisa dibaca olehnya. Kau pasti senang berkenalan dengan dia." Profesor Lantine, yang mereka jumpai di sebuah bangunan kecil dari batu bata di belakang ruang olahraga, ternyata berumur sekitar empat puluhan, wajahnya enak dilihat. Ketika Bob diantar DR. Barrister masuk ke kantornya itu, ia sedang membaca surat-surat. Dengan senyuman lebar dipandangnya DR. Barrister, sambil melambaikan selembar kertas. ­"Ini ada surat dari seorang pria di Dubuque, yang mengatakan bahwa ia sering didatangi hantu saudara perempuannya-padahal ia sama sekali tidak punya saudara perempuan." "Macam-macam saja surat yang Anda terima, Eugenia," kata DR. Barrister. Dihampirinya meja kerja Profesor Lantine, lalu duduk di depan sarjana itu. Dengan isyarat tangan disuruhnya Bob duduk. "Remaja ini bernama Bob Andrews," kata DR. Barrister memperkenalkan. "Anggota sebuah badan penyelidik swasta, dan dia punya cerita yang kurasa akan menarik minat Anda." ­"Penyelidik swasta? Detektif, begitu?" kata Profesor Lantine. Matanya memancarkan sinar jenaka. "Apakah kau tidak agak terlalu muda untuk itu?" u. "Ada untungnya berusia muda," kata DR. Barrister mengomentari. "Orang muda masih memiliki banyak energi, rasa ingin tahu, dan belum begitu dibebani purbasangka. Bob, coba kau cerita kan saja kasus kalian yang sekarang pada Profesor Lantine." Sekali lagi Bob bercerita tentang kejadian-kejadian di apartemen Mr. Prentice. Kini ditambah dengan pengalaman Jupe yang memergoki "hantu" pastor yang tahu-tahu lenyap di dalam gereja di sebelah apartemen itu. "Ya, ya," kata Profesor Lantine. "Anda pernah mendengar tentang hantu pastor itu?" tanya Bob. "Pastor yang sekarang pernah menghubungi aku beberapa waktu yang lalu, tentang hal itu," kata Profesor Lantine. "Aku sering diminta meneliti kejadian-kejadian seperti itu, Father McGovern sendiri belum pernah melihat hantu itu, tapi wanita yang mengurus rumah tangganya sampai setengah mati gugupnya karena hal itu. Orang yang dilihat temanmu di dalam gereja-pria kurus berambut putih dan mengenakan pakaian pastor cocok sekali dengan keterangan tentang mendiang pastor yang lama. Orangnya kurus, sedang rambutnya sudah putih semua. Fotonya terpasang di ruang duduk rumah pastor. Tapi sewaktu menanyai pengurus rumah tangga itu, aku menjumpai satu fakta yang menarik. Wanita itu berasal dari sebuah kota kecil di Irlandia, yaitu dan Dungalway. Gereja di kota kecil itu termasyhur karena kata orang di situ ada hantu seorang pastor yang hilang di laut. Aku sempat berjaga selama beberapa malam di dalam gereja St. Jude, tapi aku tidak melihat apa-apa. Aku juga sudah berbicara dengan berbagai orang, penghuni rumah-rumah di sepanjang Paseo Place. Walau lumayan juga banyaknya orang yang tergolong sudah berumur percaya bahwa hantu pastor itu ada, tapi tak seorang pun di antara mereka pernah melihatnya. Kurasa hantu itu hanya ada dalam pikiran Mrs. O'Reilly saja. Tanpa menyadarinya, wanita itu menciptakannya berdasarkan dongeng-dongeng, yang dulu pernah didengarnya, sewaktu masih anak-anak. Tapi bayangan misterius yang muncul dalam apartemen, itu soal lain lagi." Kepala Profesor Lantine maju ke depan. "Kau tadi mengatakan, orang itu muncul di dalam apartemen Mr. Prentice, sementara kalian mengetahui-sejauh itu bisa diketahui-saat itu ia sedang tidur nyenyak di dalam apartemennya sendiri?" "Betul," kata Bob mengiakan, Profesor Lantine tersenyum. "Asyik!" ujarnya dengan gembira. "Rupanya badan halus orang itu suka mengembara." "Ya, kelihatannya memang begitulah," kata Bob sependapat. "Tapi bagi Mr. Prentice, itu sama sekali tidak asyik. Bagaimana hal itu bisa dilakukan oleh Elmquist?" Profesor Lantine mendatangi sebuah lemari arsip, lalu mengeluarkan beberapa map dari situ. "Jika badan halusnya benar-benar bisa mengembara," katanya, "badan halus itu keluar dari tubuh kasarnya saat ia sedang tidur, lalu badan halus itu gentayangan ke mana-mana." Mendengar penjelasan itu, Bob melongo. Profesor Lantine duduk lagi, lalu membuka salah satu map yang tadi diambil. "Kami tidak banyak memiliki kasus yang sudah diteliti sesuai dengan persyaratan laboratorium," katanya. "Orang-orang yang melakukan hal-hal seperti itu jarang yang mau datang ke laboratorium. Mereka tidak mau menceritakannya pada orang lain. Kalau tidak menganggap diri mereka sendiri mulai sinting, mereka berpendapat bahwa mereka memiliki kemampuan gaib. Tapi baru saja tahun lalu ada seseorang datang ke laboratorium kami. Ia ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja. Tinggalnya di Montrose. Namanya tidak bisa kusebutkan, karena itu harus dirahasiakan." Bob mengangguk. "Ia mengatakan bahwa sudah sejak beberapa waktu tidak bisa tenang," kata Profesor Lantine lagi. "Ia sering mimpi nyata." DR. Barrister menggerakkan kepalanya ke depan. "Maksud Anda, hal-hal yang dimimpikannya kemudian benar-benar terjadi?" ­"Bukan begitu. Ini salah satu contoh: ia mimpi menghadiri perayaan ulang tahun di rumah ibunya yang tinggal di Akron. Segala-galanya terlihat jelas olehnya. Ibunya yang berulang tahun, dan kedua saudara perempuannya juga ada di situ. Dilihatnya lapisan kue ulang tahun berwarna putih, dengan huruf-huruf merah muda serta sebatang lilin. Keesokan paginya ia menceritakan seluruh mimpinya itu pada suaminya. Si suami tidak begitu peduli, sampai wanita itu menerima surat dari saudara-saudaranya. Dalam surat itu disertakan sebuah foto dari perayaan ulang tahun ibu mereka. "Apa yang nampak dalam foto itu persis sekali dengan yang dilihatnya dalam mimpi. Para anggota keluarga memakai pakaian yang persis seperti yang dilihatnya, dan kue ulang tahun ternyata memang berlapis putih dengan huruf-huruf merah jambu, dengan sebatang lilin di tengah-tengah. Suami wanita itu kaget setengah mati, lalu mendesaknya agar mendatangi kami. "Pada kami, wanita itu berterus terang. Katanya kejadian seperti itu lumayan sering dialami olehnya. Hal itu menyebabkan perasaannya tidak enak, dan ia berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Tapi pada saat bermimpi, ia sering melihat hal-hal yang terjadi di tempat yang mestinya jauh sekali, dan ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang apa sebetulnya yang sedang terjadi. Lalu kemudian ternyata bahwa apa yang dilihatnya dalam mimpi itu memang benar-benar terjadi." ­"Anda tadi mengatakan, itu Anda uji dalam kondisi laboratorium," kata Bob. "Betul. Kami berhasil membujuknya untuk tinggal selama beberapa hari di sini, di universitas. Ia tidur di sebuah kamar di laboratorium, di mana kami bisa mengamat-amati dia lewat jendela dengan kaca yang tembus pandang hanya dari satu sisi saja. Jadi sementara kami bisa melihatnya, ia sendiri tidak bisa melihat kami. Ia tahu, di rak yang terdapat di atas tempat tidurnya-letaknya tinggi, sehingga tidak bisa diraih olehnya-ada secarik kertas dengan sebuah nomor tertulis di atasnya. Nomor itu terdiri dari sepuluh angka, dan tidak seorang pun dari kami tahu bagaimana wujud nomor itu. Seorang sekretaris kami pinjam dari kantor lain, untuk mengetik sepuluh angka secara acak. Tanpa melihat lagi hasil ketikannya, sekretaris itu kemudian melipat kertas tersebut,lalu memasukkannya ke dalam sebuah sampul. "Setelah malam pertama menginap di laboratorium, ibu rumah tangga dari Montrose itu ketika ditanya ternyata tidak dapat menyebutkan nomor tersebut. Tapi ia bisa mengatakan wujud sampulnya, yang disegel dengan lilin biru. Padahal sepanjang malam ia tidak pernah meninggalkan tempat tidur. "Setelah itu kami meminta salah seorang pesuruh membuka sampul itu, mengeluarkan kertas yang ada di dalamnya tanpa melihat apa yang tertulis di situ, lalu meletakkan kertas itu dengan posisi terbalik di atas rak. Malam berikutnya, wanita itu tidur lagi di bawah rak tersebut. Dan keesokan paginya, ia sudah mengetahui nomor yang tertulis. Kami mengambil kertas itu lalu meneliti angka-angka yang diketikkan di situ. Ternyata wanita itu benar!" "Dan Anda sepanjang malam mengamati terus?" tanya Bob. "Ia tidak pernah bangun, dan berusaha meraih kertas yang ada di atas rak?" "Berdasarkan apa yang kami lihat sepanjang malam, sedikit pun ia tidak bergerak selama tidur Tapi dengan salah satu cara, pikirannya meninggalkan badannya dan membaca nomor tadi. Atau menurut istilah kami, tubuh halusnya meninggalkan badan kasar." Bob berpikir-pikir sejenak. "Tapi itu belum membuktikan apa-apa," katanya kemudian. "Itu bisa dijadikan bukti, bagaimana orang yang memasuki apartemen klien kalian bisa mengetahui bahwa klien kalian memiliki sebuah mandala," kata DR. Barrister. "Tapi tak seorang pun melihat wanita itu bergerak," kata Bob. "Sedang klien kami benar-benar melihat Sonny Elmquist, atau bisa juga seseorang yang mirip sekali dengan dia, berada dalam apartemennya." "Dan itu selalu terjadi saat Elmquist sedang tidur?" kata Profesor Lantine. "Ya, begitulah, sepanjang pengetahuan kami." "Memang aneh, tapi bukan tidak pernah terjadi," kata sarjana wanita itu. "Ini ada satu kasus lagi, yang agak lain." Ia membuka map berikut. "Ini seorang pria, tinggalnya di Orange. Sepanjang hidupnya ia suka bermimpi yang aneh-aneh. Ia mimpi berada di berbagai tempat dan melihat berbagai peristiwa, yang kemudian ternyata memang benar-benar terjadi. Tapi berlainan halnya dengan kasus wanita dari Montrose tadi, ia-atau tubuh halusnya-dilihat orang di tempat-tempat yang didatangi selama bermimpi! "Pria dari Orange ini punya teman di Hollywood-kita bilang saja, namanya Jones. Pada suatu malam Jones ini sedang duduk-duduk sambil membaca buku di rumahnya. Tiba-tiba anjing menggonggong-gonggong. Jones mengira, pasti ada orang berkeliaran dalam pekarangannya. Ia pergi memeriksa. Di serambi depan dilihatnya ada orang, yaitu temannya yang tinggal di Orange tadi. Begitu jelas Jones melihat orang itu, sehingga ia menyapanya. Tapi orang dari Orange itu tidak menjawab. Temannya itu membalikkan tubuh, lalu menaiki tangga ke tingkat atas. Dengan segera Jones menyusulnya. Sesampainya di atas, ternyata tidak ada siapa-siapa di situ. "Jones begitu bingung mengalami kejadian itu, sehingga dengan segera ia menelepon temannya di Orange. Ternyata selama itu temannya sedang tidur nyenyak, dan katanya mimpi berada di rumah Jones, melihat Jones sedang membaca, lalu mendatanginya di serambi depan. Dalam mimpinya, pria dari Orange itu merasa dirinya terancam ketika disapa oleh Jones. Ia lari ke tingkat atas, lalu bersembunyi dalam sebuah lemari di situ. Mimpinya berakhir ketika telepon berdering." "Bukan main!" kata Bob terkesan. "Ya," kata Profesor Lantine. "Memang sangat mengesankan-dan sekaligus juga menyeramkan. Menakutkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan begitu, tapi juga menakutkan bagi orang lain yang melihat mereka gentayangan." "Mr. Prentice memang sangat ngeri ketika melihat Sonny Elmquist," kata Bob. "Tapi dari mana kita bisa tahu dengan pasti, ia betul-betul memiliki kemampuan seperti itu?" "Itu tidak bisa dipastikan," kata Profesor Lantine. "Ada kemungkinan pemuda itu bersedia datang kemari, untuk menjalani eksperimen di bawah pengamatan kami. Eksperimen-eksperimen begitu bisa membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan aneh itu. Tapi bisa juga tidak membuktikan apa-apa." "Begitu, ya," kata Bob sambil mengangguk. "Dan sementara itu, Mr. Prentice sama sekali tak bisa apa-apa? Maksud saya, mencegah Elmquist--atau badan halusnya-masuk dengan seenaknya saja?" "Jika pemuda itu benar-benar memiliki kemampuan itu, tidak-Mr. Prentice tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Tapi klien kalian itu tidak perlu merasa khawatir. Orang-orang yang berkemampuan demikian, sebenarnya tidak berbahaya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melihat saja, secara pasif." ­"Maksud Anda, mereka tidak bisa memegang apa pun juga?" "Setidak-tidaknya, pada saat-saat seperti itu kelihatannya mereka tidak bisa mempengaruhi keadaan lingkungan secara jasmani," kata Profesor Lantine menjelaskan. "Ibu rumah tangga dari Montrose itu misalnya, ia tidak bisa membaca nomor pada kertas yang dimasukkan ke dalam sampul yang disegel. Ketika kertas dikeluarkan dari sampul, barulah ia bisa membacanya." "Jadi jika Elmquist tergolong orang berkemampuan begitu, ia tidak bisa berbuat apa-apa saat badan halusnya sedang gentayangan, " kata Bob menarik kesimpulan. "Ya, begitulah, sepanjang pengetahuan kami sampai sekarang." "Sonny Elmquist ingin berkelana ke India," kata Bob. "Katanya, ia ingin berguru di sana." Profesor Lantine mengangguk. "Memang, banyak sekali orang yang beranggapan bahwa tokoh-tokoh mistik di India memiliki pengetahuan rahasia yang tidak bisa diketahui orang Barat," kata ahli parapsikologi itu. "Tapi itu kusangsikan. Walau begitu, jika Elmquist benar-benar bisa mengembara dalam tidur, mungkin ia berpendapat akan bisa tahu lebih banyak mengenai hal itu di India." "Yah-jadi begitulah urusannya. Ya... soal bayangan di apartemen Mr. Prentice," kata Bob. "Sekarang bagaimana dengan hantu pastor itu? Bagaimana?" ­ Profesor Lantine menanggapi pertanyaan sambil mengangkat bahu. "Sejauh ini aku belum memperoleh satu bukti pun bahwa hantu pastor itu ada, kecuali dalam pikiran Mrs. O'Reilly, pengurus rumah tangga pastor gereja St. Jude yang sekarang. Mungkin temanmu benar-benar melihat hantu pastor itu dalam gereja. tapi mungkin pula tidak. Selama aku belum pernah melihat hantu, padahal sudah bertahun-tahun kerjaku hanya berburu hantu. Mungkin saja hantu memang ada. Siapa tahu?" ­Bab 15 PARA KORBAN ­KETIKA Bob Andrews sudah berangkat ke Universitas Ruxton, Jupiter menelepon Rumah Sakit Pusat. Dari petugas yang menerima teleponnya ia mendapat keterangan bahwa John Murphy, setelah memperoleh perawatan karena paru-parunya terlalu banyak kemasukan asap, kemudian dipindahkan ke sebuah-rumah sakit swasta, ke Belvedere Clinic. Dokter pribadinya merupakan anggota staf rumah sakit itu. Sedang Gwen Chalmers masih ada di Rumah Sakit Pusat. Jupiter memutuskan untuk mendatangi wanita itu dulu. Miss Chalmers ternyata berbaring di sebuah kamar yang hanya berisi satu tempat tidur. Wanita muda itu dijumpai Jupe sedang duduk di pembaringannya, sambil menatap sedih ke luar jendela. "Hai," ujarnya menyapa, ketika melihat Jupe muncul di ambang pintu. "Kau kawan Mr. Prentice, kan?" "Betul," jawab Jupiter. "Bagaimana keadaan Anda sekarang?" "Lumayan, jika diingat bahwa ada orang yang berusaha membunuhku," katanya. "Dan saat ini ­aku kelaparan. Selama ini aku cuma diberi agar-agar dan susu saja." Dengan kesal disepaknya seprai penutup tempat tidur. "Jangan mau diracuni," katanya pada Jupe. "Sedapat mungkin, memang lebih baik jangan," kata Jupe. Diperhatikannya wanita muda itu. Walau nampak risau, wajah Miss Chalmers tidak membayangkan watak orang yang sulit. Di pinggir-pinggir mulutnya nampak kerutan yang mengarah ke atas, menandakan bahwa ia suka tertawa. "Racun apa yang hampir mencelakakan Anda?" tanya Jupiter. "Tahukah Anda?" "Sejenis bahan kimia biasa," kata Miss Chalmers. Nada suaranya getir. "Polisi menyebutkan namanya, tapi aku tidak ingat lagi apa persisnya. Yang jelas bukan arsenikum atau strikhnin-itu, jenis-jenis racun yang biasanya dipakai untuk membunuh, dalam kisah-kisah detektif." "Untung Anda selamat!" kata Jupiter. "Jika yang Anda makan waktu itu strikhnin, Anda takkan ada di sini sekarang!" "Ya, aku juga tahu! Mestinya aku mengucap syukur, bahan kimia itu cuma membuat aku muntah-muntah. Mendapat hadiah permen coklat yang diberi racun saja sudah cukup dramatis." Ia tertawa. "Bagaimana, ada jejak yang berhasil dilacak pihak kepolisian?" "Kata mereka, racun tidak mungkin bisa dilacak jejaknya," jawab Miss Chalmers. "Sedang permen coklatnya, merek yang kuterima itu bisa dibeli di mana saja." Pandangannya beralih ke tanaman dalam pot yang terletak di meja kecil di samping pembaringannya. "Hadiah?" tanya Jupe. Miss Chalmers mengangguk. "Kiriman kawan-kawan di kantor," katanya. "Tadi pagi aku menelepon ke sana, dan tidak lama kemudian tanaman itu sudah ada di sini. Senang juga rasanya." "Anda suka bergaul, ya?" kata Jupe mengomentari. Miss Chalmers tertawa. "Persis polisi, pertanyaanmu itu! Hampir sepanjang pagi mereka sibuk menanyai aku, ingin tahu apakah aku punya musuh. Pertanyaan konyol! Orang seperti aku, mana punya musuh?" "Saya percaya," kata Jupiter. "Mr. Prentice tentu akan merasa lega jika nanti mendengar bahwa Anda tidak apa-apa." "Orang itu baik," kata wanita muda itu. "Aku suka padanya. Aku ikut senang mendengar bahwa ia akan mendapat anjing." Sikap Jupiter langsung berubah. "Anjing Karpatia?" katanya, meminta penegasan. "Betul! Katanya..." "Ia bercerita pada Anda, bahwa ia akan mendapat Anjing Karpatia?" ­Kening Miss Chalmers Jerkerut, seperti sedang berusaha mengingat. "Tidak, setelah ku ingat-ingat, ia tidak mengatakannya padaku. Kurasa yang bercerita Mrs. Bortz. Ya, betul, sekarang aku ingat lagi. Sabtu yang lalu, ketika aku sedang di kolam renang, Mrs. Bortz juga ada di dekat situ, pura-pura sedang menunggu tukang pos. Saat itu ia bercerita, Mr. Prentice akan mendapat anjing, tapi tanpa melaporkan secara resmi padanya. Mrs Bortz merasa agak tidak enak karenanya. Ia kurang setuju di tempat kami ada anjing, walau aku tidak melihat alasan kenapa itu tidak boleh. Alex Hassell, begitu banyak kucing-kucing gelandangan yang tidak henti-hentinya berdatangan ke apartemennya." Jupe mengangguk. "Barangkali ada sesuatu yang bisa saya bawakan dari rumah?" katanya menawarkan. Miss Chalmers menggeleng. "Mereka di sini sudah menyediakan sikat gigi, sisir, dan... pokoknya semua yang kuperlukan," katanya. "Lagi pula, besok atau lusa aku pasti sudah boleh pulang. Kini aku masih perlu berbaring di sini untuk pengamatan saja." Setelah pamitan, Jupe meninggalkan tempat itu. Ia berjalan sambil merenung. Jadi Miss Chalmers ternyata tahu tentang Anjing Karpatia, meski ia pun salah tangkap mengenai persoalan yang sebenarnya. Nampaknya semua penghuni gedung apartemen itu tahu bahwa Mr. Prentice tidak lama lagi akan mendapat anjing tertentu. Tapi berapa banyak di antara mereka yang tahu bahwa anjing itu sebenarnya patung kristal hasil kerja Edward Niedland, seniman pematung yang sudah meninggal dunia? Mungkinkah Elmquist? Bagaimana dengan Murphy? Rasanya menarik juga mendengar apa kata Murphy mengenai hal ini. Sebuah taksi sedang mangkal di depan rumah sakit. Pengemudinya duduk dengan santai di belakang kemudi, asyik membaca surat kabar. "Anda tahu Belvedere Clinic?" tanya Jupe padanya. "Tentu saja tahu. Di persimpangan Wilshire dan Yale." "Saya mau ke sana," kata Jupe sambil masuk ke taksi. "Oke." Pengemudi taksi menghidupkan meterannya, lalu menjalankan taksinya meninggalkan Rumah Sakit Pusat. Jupe melihat bahwa jalan yang ditempuh mengarah ke daerah tempat tinggal Mr. Prentice. Dan Belvedere Clinic ternyata sebuah rumah sakit swasta kecil. Letaknya cuma dua blok dari Paseo Place. Setelah membayar uang taksi, Jupe masuk ke dalam bangunan rumah sakit itu. Dibandingkan dengan Rumah Sakit Pusat, Belvedere Clinic merupakan rumah sakit yang megah. Ruang tempat pendaftaran beralas permadani tebal, dan dihiasi dengan pajangan Natal. Resepsionis tidak berpakaian putih seperti di rumah sakit biasa, melainkan mengenakan semacam celemek berwarna merah jambu. Wanita itu mengangkat telepon lalu menghubungi kamar yang ditempati John Murphy, untuk memberi tahu bahwa ada Jupiter Jones yang ingin mengunjunginya. Kemudian, sambil tersenyum manis, resepsionis itu menyebutkan nomor kamar yang harus didatangi Jupe. Kamar yang ditempati Mr. Murphy terletak pojok, dan berukuran besar. Sinar matahari memancar masuk lewat dua buah jendela. Mr. ­urphy berbaring di tempat tidur. Wajahnya yang biasanya kemerah-merahan, kini nampak pucat-pasi, hampir seputih bantal yang menyangga kepalanya, Harley Johnson, keponakan pria itu duduk di kursi yang terdapat di ujung bawah tempat tidur. Ia memandang pamannya dengan sikap geli bercampur jengkel. Mr. Murphy nampak kesal, ketika melihat Jupiter muncul di ambang pintu kamar. "Mudah-mudahan kau datang bukan untuk menguliahi aku pula," tukasnya. "Telingaku sudah tuli, mendengar Harley mengomel sejak tadi." "Sudah selalu kukatakan, Paman bisa mati karena kebiasaan merokok itu," kata Harley. "Tak kusangka itu akan demikian cepat menjadi kenyataan!" "Aku sedang capek," kata Mr. Murphy dengan nada seperti merajuk. "Saat itu aku cuma sedang capek saja. Biasanya, aku selalu berhati-hati. Aku bahkan tidak pernah menaruh rokok di tempat tidur. " ­"Kalau begitu Paman harus tidur di kamar tidur, dan bukan di sofa," kata Harley. Mr. Murphy mengerang. "Tidak ada yang lebih menyebalkan, daripada keponakan yang sok tahu." "Jadi itukah yang terjadi?" tanya Jupiter. "Anda tertidur di sofa sewaktu sedang merokok?" "Ya, kurasa begitulah kejadiannya," kata Mr. Murphy. "Aku tidak melihat kemungkinan lainnya. Aku cuma masih ingat masuk kembali-setelah mobil Mrs. Bortz meledak-lalu duduk. Saat itu aku ingin merokok sebatang lagi, lalu sesudah itu tidur. Rupanya aku benar-benar tertidur. Tahu-tahu ketika terbangun, kamar sudah penuh asap. Aku masih berusaha lari ke pintu, tapi kemudian jatuh pingsan." "Anda menuju arah yang keliru waktu itu," kata Jupe. "Anda menuju ke kamar tidur." Mr. Murphy mengangguk. "Untung kau menolong aku keluar," katanya. "Bukan saya sendiri," kata Jupe. "Saya, bersama Bob, Pete. dan Sonny Elmquist. Dialah yang melihat ada api berkobar dalam apartemen Anda." "Aku tidak begitu suka padanya," gumam Mr. Murphy. "Orangnya aneh! Sekarang aku berhutang budi padanya." "Mr. Murphy," kata Jupiter, "Anda tahu tentang anjing yang akan diperoleh Mr. Prentice?" "Anjing?" Mr. Murphy mengangkat kepalanya. "Mau apa Prentice dengan seekor anjing? Kabarnya, apartemen orang itu penuh dengar barang-barang antik. Anjing? Ah, yang benar saja!" Mrs. Bortz agak ribut karenanya," kata Jupiter "Ah, perempuan itu memang gampang seka ribut. Lagi pula, siapa sih yang memperhatikan ocehan Mrs. Bortz? Lidahnya bercabang dua, dan kedua-duanya tidak henti-hentinya bergerak. mengoceh ke sana kemari." Mr. Murphy merentangkan tubuh, seperti orang yang sangat capek. "Mungkin aku akan pindah dari sana," katanya ia memandang Jupe. "Kau dan teman-temanmu sebaiknya lekas-lekas saja pergi dari tempat itu. Di situ tidak aman." Kini Harley berdiri. "Sudahlah, urusan itu jangan Paman pikirkan sekarang," katanya menenangkan. "Kata dokter Paman harus banyak beristirahat. Nanti akan kubereskan apartemen Paman. Kalau Paman sudah merasa lebih sehat, kita bisa mencari apartemen lain." Mr. Murphy tersenyum. "Kau memang anak yang baik, Harley. Kadang-kadang kurasa kau lebih baik menjaga diriku dibandingkan dengan aku terhadapmu." Harley pergi bersama Jupe, meninggalkan tempat itu. "Paman ku itu terlalu banyak merokok," kata Harley. "Ia juga terlalu sibuk bekerja, dan banyak pikiran. Sedikit banyak bisa dibilang-untung kebakaran itu terjadi." ­Dengan cepat Jupiter menoleh, menatap pemuda itu. "Bukan maksudku aku senang paman ku harus masuk rumah sakit," kata Harley cepat-cepat. "Tapi belakangan ini ia sering gelisah, sulit bisa tidur dengan enak. Aku melihatnya sewaktu menginap di tempatnya selama hari-hari Natal yang lalu. Beberapa kali ia terbangun lalu mondar-mandir. Ia mengira, saat itu aku sedang tidur nyenyak. Kurasa bisnisnya saat ini tidak begitu baik jalannya. Asap api kebakaran yang masuk ke paru-parunya tidak banyak, karena kalian cepat menggotongnya ke luar. Tapi dokter pribadinya menghendaki ia berbaring beberapa hari lagi di rumah sakit. Selain untuk diteliti, juga untuk memberi kesempatan padanya agar bisa tidur dengan tenang." "Kurasa pamanmu itu memang memerlukannya," kata Jupe, sementara mereka berjalan menyusur Wilshire Boulevard, menuju Paseo Place. "Keadaan di gedung apartemen itu belakangan ini memang kacau. Ketika ada pencurian waktu itu, kau sedang ada di sana tidak?" "Maksudmu ketika ada maling yang lari melintasi pekarangan, dari jalan yang di sebelah? Tidak, waktu itu aku tidak ada di sana. Aku pergi makan-makan dengan beberapa orang teman, sebelum nonton. Paman John yang kemudian menceritakan kejadiannya. Dan kudengar setelah itu terjadi pula kasus peracunan dan peledakan mobil. Paman John tadi memang benar, tempat itu sekarang tidak aman lagi." "Ada orang bercerita padamu bahwa Mr. Prentice akan mendapat anjing?" tanya Jupe. "Tidak. Tapi memang tidak ada yang mungkin bercerita, padaku, kecuali paman ku. Maksudku aku tidak suka keluar ke pekarangan pada waktu aku mengunjunginya. Aku tidak tahan mendengar ocehan Mrs. Bortz." Harley bersiul ketika melihat keadaan jendela-jendela apartemen pamannya. Pecahan kaca masih menancap di kusen di sana-sini, sedang tirai-tirai bekas kebakaran masih bergelantungan. "Kurasa sebaiknya aku memanggil tukang kaca saja dulu," katanya sambil mengeluarkan seberkas anak kunci dari kantungnya. "Keadaan di dalam pasti sama acak-acakannya. Aku salah pilih waktu rupanya, ketika meninggalkan Paman." Ia meluruskan bahunya, lalu masuk ke apartemen Mr. Murphy. Jupe masih berdiri sebentar di pekarangan, sebelum naik ke tingkat atas. Ia mencoba mengatur pikirannya. Betulkah Miss Chalmers tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan itu? Betulkah Mr. Murphy sungguh-sungguh tidak tahu apa-apa tentang Anjing Karpatia? Dan Harley, betulkah bahwa ia juga tidak tahu apa-apa? Kalau begitu, hanya Sonny Elmquist saja satu-satunya yang belum jelas kedudukannya. Ia satu-satunya tetangga yang mungkin tahu-menahu tentang patung anjing dari kristal itu. Dan Elmquist pula satu-satunya tetangga yang kini masih ada dalam gedung apartemen itu. Kemudian timbul pikiran lain dalam benak Jupe. Ada orang yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan orang-orang lain dari gedung itu. Jangan-jangan Trio Detektif akan mendapat giliran yang berikut! ­Bab 16 PATUNG ANJING SILUMAN ­CHARLES Niedland yang datang membukakan pintu, ketika Jupiter membunyikan bel apartemen Mr. Prentice. "Ayo, masuklah," kata Mr. Niedland. "Temanmu Bob baru saja kembali dari Ruxton. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin menceritakan sesuatu." Bob duduk di sofa, buku catatannya terbuka di hadapannya. Mr. Prentice duduk di sebuah kursi antik berukuran mungil. "Bagaimana keadaan Miss Chalmers?" tanya pria tua itu. "Sudah lumayan," kata Jupe. "Syukurlah kalau begitu," kata Mr. Prentice. "Dan Mr. Murphy? Kau juga menjenguknya?" "Ya. Keadaannya tidak gawat. Anda sudah mengambil uang untuk menebus patung anjing itu?" Charles Niedland menuding ke arah sebuah kantung belanjaan dari kertas yang terletak di atas meja tempat lampu. "Seumur hidupku, belum pernah aku segugup tadi," katanya. "Dalam dompetku biasanya hanya ada uang sekitar tiga dolar, serta sejumlah kartu kredit untuk berbelanja di toko-toko. Tapi tadi, Fenton Prentice enak saja berjalan kaki, dengan uang sepuluh ribu dalam kantung belanjaan!" Jupe memandang kantung kertas itu. Ia tersenyum. "Cerdik," katanya mengomentari. "Kantung itu begitu biasa wujudnya, sehingga tidak menarik perhatian orang." Saat itu bel berbunyi lagi. Charles Niedland kembali membukakan pintu, lalu menyilakan Pete masuk. "Manajer pasar itu tidak suka melihat anak-anak yang masuk lalu membaca-baca majalah yang dipajang, tanpa membeli apa-apa," katanya menyampaikan laporan. "Aku disuruhnya keluar. Aku lantas membeli majalah Los Angeles Magazine. Tapi tetap saja aku disuruhnya keluar." Pete menghenyakkan diri ke sofa, duduk di samping Bob. "Tapi tidak apalah," katanya lagi. "Sekarang kita tahu, saat ini Sonny Elmquist betul-betul ada di sana. Dan Mr. Hassell, ia juga benar-benar pindah ke tempat penginapan yang disebutkan olehnya." Bob membungkukkan badannya ke depan. "Baiklah. Kalau begitu, kita sekarang akan membicarakan Sonny Elmquist." "Apa hasil penelitianmu?" tanya Jupiter. "Ternyata memang ada orang yang bisa sekaligus berada di dua tempati" kata Bob, lalu menceritakan penjelasan yang diperolehnya di Universitas Ruxton, tentang badan halus yang bisa mengembara. "Dengan perkataan lain," kata Jupe ketika Bob sudah selesai menyampaikan laporan, "ada kemungkinan Elmquist memang bisa menembus dinding dan pintu yang dalam keadaan terkunci." "Kurasa ia bisa mendatangi tempat-tempat yang diinginkannya-dan mungkin bahkan tempat-tempat yang dia sendiri tidak tahu bahwa akan ke situ," kata Bob. "Sampai seberapa jauh kemampuannya mengendalikan badan halusnya, aku tidak tahu. Kita bahkan tidak bisa tahu secara pasti bahwa badan halusnya bisa mengembara. Tapi jika ia tergolong orang yang pernah diwawancarai DR. Lantine, ia hanya bisa mengembara sewaktu ia sedang tidur." "Bagus!" kata Pete dengan cepat. "Jadi hari ini kita bisa memastikan, bahwa badan halusnya tidak mungkin mengintip kita. Di pasar ia takkan mendapat peluang untuk ketiduran. Dengan manajer seperti yang tadi, hal itu takkan mungkin terjadi." Fenton Prentice bangkit dari kursinya, lalu menaruh kantung yang berisi uang ke dalam sebuah lemari kaca kecil yang bagian tengahnya agak menjorok ke depan. Kemudian dikuncinya lemari itu. "Kurasa ia takkan menjengukkan kepala badan halusnya ke balik pintu ini," katanya. "Kalaupun itu dilakukannya, paling-paling hanya kantung kertas saja yang akan dilihat," kata Bob. "Menurut DR. Lantine, badan halus yang berkeliaran sementara orangnya sendiri tidur, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap lingkungan di mana ia berada." "Itu rupanya penjelasan kenapa tidak ada sesuatu pun yang berpindah tempat di sini, sejak kuambil anak kunci yang ada pada Mrs. Bortz," kata Mr. Prentice. "Perempuan itu yang membuka-buka laci, dan menyebabkan barang-barang berpindah tempat." "Betul," kata Jupiter, "dan dengan begitu kita sekarang juga bisa mengerti, bagaimana Sonny Elmquist sampai tahu tentang mandala Anda. Ia pun bisa tahu-menahu tentang Anjing Karpatia. Mungkin saja badan halusnya menangkap percakapan Anda dengan Mr. Niedland lewat telepon. Tapi, jika badan halusnya tidak bisa memindahkan apa-apa, maka itu berarti bukan dia yang mencuri patung anjing itu. Soalnya, itu kan terjadi ketika ia sedang tidur." Kening Jupiter berkerut, sementara tangannya sibuk mencubiti bibir bawahnya. "Sulit diterima akal sehat," katanya lagi, "tapi cuma itu satu-satunya penjelasan yang cocok. Badan halus Elmquist rupanya bisa meninggalkan tubuh kasarnya-kecuali jika di gedung ini ada orang yang persis sekali seperti dia. Sedang kurasa tidak mungkin ada dua orang yang seratus persen serupa bisa ada di sebuah gedung selama berbulan-bulan, tanpa hal itu menarik perhatian orang lain." "Memang tidak mungkin, dengan adanya Mrs. Bortz di sini," kata Mr. Prentice. ­Sementara itu Pete sudah meninggalkan tempat duduknya yang semula. Kini ia berdiri di jendela. Ia mengatakan bahwa keponakan Mr. Murphy nampak hendak pergi meninggalkan gedung itu "Jadi tinggal kita sendiri saja di sini." Jupiter menatap lemari tempat Mr. Prentice tadi menyimpan uang tebusan. "Sebuah kantung, berisi uang." katanya sambil merenung. "Tapi uang itu tidak kelihatan, karena ada di dalam kantung." Bibirnya bergerak-gerak, membentuk senyuman. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat. "Ada apa, Jupe?" tanya Bob, yang menyadari bahwa Jupe pasti telah berhasil menemukan sesuatu. "Kalian mau mendengar cerita?" kata Jupe. "Aduh, Jupe!" keluh Pete. "Langsung saja kaukatakan apa maumu, jangan ditambahi bumbu-bumbu dulu!" "Ceritanya mengenai pembunuhan," kata Jupe, tanpa mengacuhkan Pete. "Kisah ini pernah kubaca, tapi sudah lama sekali. Tentang pembunuhan yang dilakukan dengan senjata yang tidak nampak." "Ya?" kata Fenton Prentice. "Seorang pria beserta istrinya sedang makan bersama seorang teman, di sebuah ruangan tertutup," ujar Jupe membuka cerita. "Ketika sedang asyik makan, terjadi pertengkaran antara si suami dengan teman tadi. Pertengkaran itu memuncak, dan akhirnya kedua pria itu berkelahi. Pergulatan mereka menyebabkan lilin di meja terjatuh, lalu padam. Padahal lilin itu satu-satunya sumber cahaya di dalam ruangan itu. Kemudian si istri mendengar suaminya menjerit, dan ia merasa ada sesuatu menarik gaunnya. Wanita itu menjerit. Jeritannya didengar para pelayan, yang langsung berlari-lari masuk. Mereka menemukan si suami sudah tewas, sedang pada gaun istrinya nampak darah berlumuran. Si suami tewas tertusuk-tapi di ruangan itu sama sekali tidak ditemukan senjata. Para pelayan mencari-cari, dan kemudian polisi juga sibuk mencari-cari. Tapi semua tidak menemukan senjata tajam di situ. Mula-mula ditarik kesimpulan, si suami pasti mati dibunuh setan." "Praktis sekali hidup pada zaman itu," kata Charles Niedland mengomentari. "Senjata tajam tidak ditemukan, jadi korban pasti tewas dibunuh setan!" "Kenyataannya," sambung Jupiter, "pria yang tewas itu dibunuh dengan senjata yang tidak kelihatan-yaitu pisau yang terbuat dari kaca. Pembunuhnya-teman yang makan bersama suami-istri itu-menikam si suami dalam kegelapan, lalu mengusapkan darah yang menempel di pisau kaca itu pada gaun istri korbannya. Setelah itu pisau tadi dimasukkannya ke dalam sebuah tempat air yang ada di atas bupet. Karena terbuat dari kaca, pisau itu tidak kelihatan di dalam air. Sekarang saya ingin bertanya, Mr. Prentice. Apa sebabnya ada orang ingin meracuni Miss Chalmers? Adakah salah satu alasan tertentu, di samping kenyataan bahwa setiap malam ia biasa berenang di kolam yang di luar itu?" "Astaga!" kata Charles Niedland. "Kemudian Mrs. Bortz," sambung Jupe. "Wanita itu memang terlalu ingin mencampuri urusan orang lain, tapi selama ini belum pernah ada yang hendak mencederai dirinya-sampai ia mengatakan hendak menyuruh kolam dikeringkan, karena perlu dibersihkan. Mr. Prentice, selama ini kita mencari-cari patung anjing dari kristal yang seakan-akan lenyap, karena kenyataannya memang tidak kelihatan. Persis seperti pisau kaca yang disembunyikan di tempat air dalam cerita saya tadi." "Kolam renang!" seru Bob. "Patung itu ada di dalam kolam renang!" Jupiter berdiri sambil bercekak pinggang. Air mukanya membayangkan rasa puas. "Besok Anda akan menyerahkan tebusan untuk anjing kristal itu," katanya. "Bagaimana Jika kita mengambilnya sekarang, hari ini? Saatnya benar-benar cocok untuk itu, karena selain kita tidak ada orang lain di gedung ini." "Wah, wah, wah!" Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Mr. Prentice. Jupiter meringis. "Bob," katanya, "kau pergi ke ujung jalan masuk di belakang. Kau jaga, jangan sampai ada yang masuk lewat situ. Pete, kau mengamati jalanan dari gerbang depan." ­"Lalu kau, apa yang akan kaulakukan?" kata Pete. Jupe menuju balkon, sementara jari-jari tangannya sibuk membuka kancing bajunya. "Aku hendak berenang." Bob dan Pete pergi ke pos penjagaan masing-masing, sedang Mr. Prentice dan Mr. Niedland mengikuti Jupiter ke kolam renang. Sementara itu hanya celana dalam saja yang masih membungkus tubuh remaja itu. Sambil menggigil kedinginan, Jupe masuk ke air pada bagian yang dangkal. "Hati-hati, hati-hati," kata Mr. Prentice dengan gugup. Jupe mengarungi air menuju bagian yang dalam, sambil memperhatikan lantai ubin kolam yang berwarna biru dan kuning keemasan. Ketika sudah masuk ke air sampai setinggi dagu ia membungkuk, membiarkan dirinya terbenam dalam air. Setelah itu ia mulai menendang-nendang, berenang pada posisi sedikit di sebelah atas dasar kolam. ­Sesaat kemudian tangannya dijulurkan, mengambil sesuatu. "Ia menemukannya!" bisik Fenton Prentice bergairah. "Bukan main, ia berhasil menemukannya!" Jupe melesat ke permukaan. Tangannya memegang sebuah benda yang terikat pada seutas tali. Dengan tangan yang satu lagi ia berenang ke tepi. Benda yang ditemukannya disodorkan ke arah Fenton Prentice. "Anjing Karpatia!" kata pria berumur lanjut itu. Diambilnya patung yang disodorkan oleh Jupiter lalu diamat-amatinya dari berbagai sudut. Patung itu indah. walau menimbulkan kesan aneh. Patung anjing berotot kekar, dengan kepala besar dan kokoh. Pinggiran matanya yang besar dan bulat berlapis emas, dan busa yang juga dibuat dari emas kelihatan seperti menetes dari moncongnya. Tinggi patung itu sekitar lima belas senti, dan dasarnya sampai ke ujung telinga. Di antara kedua kaki binatang itu ada tengkorak manusia. Pada pinggangnya terikat seutas tali yang lumayan panjangnya. "Begitu sederhana caranya," kata Jupiter "Maling itu bahkan tidak perlu masuk ke dalam kolam. Patung ini diturunkannya dengan tali ini. Begitu menyentuh dasar, tali dilepaskan. Karena tali ini juga berwarna keemasan, jadinya tidak nampak di tengah-tengah ubin yang berwarna biru dan kuning keemasan." "Benar-benar cerdik!" kata Charles Niedland "Bolehkah saya minta kembali?" kata Jupiter pada Fenton Prentice. "Apa katamu?" kata Prentice. "Kata saya, bolehkah saya minta patung itu. Saya hendak menaruhnya kembali di dalam kolam." "Untuk apa?" ­"Karena ada kemungkinan malingnya akan datang malam ini, untuk mengambilnya. Ia masih memperkirakan Anda akan menyerahkan uang tebusan itu besok. Anjing ini kita kembalikan ke tempat semula, lalu kita akan melakukan pengamatan lewat monitor TV di apartemen Anda-untuk melihat siapa sebenarnya maling itu!" "Aku mengerti sekarang." Tapi Fenton Prentice tidak mau melepaskan patung anjing itu. "Usulnya itu masuk akal, Fenton," kata Charles Niedland. "Tapi... tapi jangan-jangan patung ini nanti rusak! Kan bisa retak, atau bahkan patah!" "Sejauh ini maling itu memperlakukannya dengan berhati-hati," kata Jupe. "Kurasa ia akan tetap hati-hati." Fenton Prentice mendesah, lalu menyerahkan patung kristal itu pada Jupe, yang kemudian mengulurkannya dengan bantuan tali, kembali ke tempat semula di dalam air. "Sekarang aku perlu handuk," katanya. "Jangan sampai ada orang tahu, aku masuk ke dalam kolam. Tidak boleh kelihatan jejak kaki di ubin." Charles Niedland bergegas naik ke apartemen Mr. Prentice. Tidak lama kemudian ia sudah kembali, dengan membawa beberapa lembar handuk serta sebuah keset yang tebal. Jupe keluar dari dalam kolam langsung ke keset, lalu buru-buru mengeringkan badan. Saat itu Pete berlari-lari masuk dari depan. "Hassell datang!" ­"Panggil Bob!" kata Jupe sambil menyambar pakaiannya. "Cepat, semuanya naik ke atas. Sementara mereka semua bergegas masuk apartemen Mr. Prentice, terdengar bunyi langkah orang menaiki tangga yang menghubungkan trotoar dengan gerbang depan. Jupe menghidupkan pesawat monitor TV, lalu memperhatikan Alex Hassell yang berjalan dengan langkah kaki melintasi pekarangan di bawah. Orang langsung masuk ke apartemennya. "Ia sama sekali tidak memandang ke arah kolam," kata Jupe. "Kenapa harus memandang?" tanya Bob. "Karena walau tadi aku sudah sangat berhati-hati, tapi air kolam masih saja bergerak-gerak sedikit. Memang selalu begitu, jika ada yang masuk. Baru setelah beberapa waktu nanti airnya akan menjadi tenang kembali." "Kalau begitu bukan Alex Hassell malingnya," kata Pete menarik kesimpulan. "Bukan dia malingnya, atau ia takut kalau-kalau diawasi. Mungkin saja ia melihat keadaan kolam, tapi karena cukup cerdik masih bisa menahan diri. Kita lihat saja nanti." Sementara itu nampak kucing-kucing gelandangan mulai masuk satu demi satu ke pekarangan. Binatang-binatang itu duduk membentuk setengah lingkaran di depan pintu apartemen Alex Hassell. Mereka menunggu dengan tenang. Kemudian Alex Hassell muncul, membawa beberapa buah piring berisi makanan. Kucing-kucing ­mulai makan, ditunggui oleh orang itu. Ia mengelus-elus dan berbicara pada mereka. Ketika makanan di piring sudah habis, kucing-kucing gelandangan itu pergi lagi. Tidak lama kemudian Alex Hassell pun pergi meninggalkan gedung itu lagi. Anak-anak membantu Fenton Prentice memasak - untuk makan malam. Setelah itu mereka makan. Sambil mengunyah, salah seorang dari ketiga anggota Trio Detektif secara bergilir terus mengamati layar monitor. Pukul sebelah malam, lampu-lampu di pekarangan padam. Pete mengambil jaketnya dari dalam lemari, "Nah, kita mulai lagi jaga malam di balkon." "Aku ikut menjaga," kata Jupe. "Aku juga," kata Bob sambil berdiri. "Malam ini harus terjadi sesuatu--dan aku ingin melihatnya!" Bab 17 BAYANGAN BERTINDAK ­SAAT tengah malam, pintu gerbang depan terbuka Sosok tubuh Elmquist yang kurus dan melengkung muncul di bawah, dan langsung menuju apartemennya. Selama beberapa saat nampak nyala lampu di dalam. Setelah itu padam kembali. Anak-anak yang berada di atas balkon menunggu lagi. Sebuah pintu terbuka, lalu ditutup kembali. Anak-anak bisa melihat bahwa ada sesuatu yang bergerak-gerak di bawah! Pete mencengkeram lengan Jupe. Sosok yang hanya kelihatan samar-samar itu bergerak lambat-lambat, menuju sisi kolam yang dangkal. Bayangan itu meluncur masuk ke air lalu bergerak maju. Gerakannya tidak terlalu mengusik permukaan air yang tenang. Tiba-tiba ketiga remaja yang mengintai dari atas balkon mendengar orang itu menarik napas. Kemudian dia menyelam, disertai bunyi kecipak pelan. Setelah itu kelihatan sejalur sinar di dalam air. Rupanya orang yang menyelam itu membawa senter yang kedap air. Sinarnya bergerak kian kemari, menerangi dasar kolam. ­Sepotong tangan kelihatan, diterangi sinar senter. Tangan itu bergerak ke bawah, memegang sesuatu yang tidak kelihatan! Kemudian orang itu muncul kembali dari dalam air, lalu keluar dari kolam. Dan beberapa saat kemudian terdengar bunyi pintu terbuka lalu tertutup kembali. Pete menjulurkan tangannya ke arah belakang, lalu mengetuk pintu apartemen Mr. Prentice dengan pelan. Dengan segera pintu itu terbuka. "Elmquist!" kata Pete berbisik. Ketiga remaja yang selama itu mengintai kini bergegas menuruni tangga, diikuti oleh Mr. Prentice dan Charles Niedland. Apartemen yang ditempati Sonny Elmquist tetap gelap. Tidak nampak sinar lampu di balik jendela-jendelanya. "Jangan-jangan tadi itu badan halusnya yang gentayangan lagi, sementara ia sendiri tidur nyenyak di dalam," kata Pete lirih. "Omong kosong!" kata Jupiter tegas. Ia menekan bel apartemen Elmquist, menunggu sebentar, lalu sekali lagi membunyikannya. "Elmquist!" serunya memanggil. "Buka pintu, Elmquist! Cepat buka! Kalau tidak kaubuka, akan kupanggil polisi, biar mereka mendobraknya!" Pintu apartemen dibuka. Elmquist muncul berselubung mantel mandi. Di bawahnya menjulur sepasang kaki tanpa alas. "Ada apa?" katanya. "Aku sedang tidur. Mau apa?" ­Tangan Jupiter bergerak ke balik pintu, meraba sakelar yang ada di situ lalu menyalakan lampu. Di bawah sinarnya yang terang nampak bahwa rambut Elmquist basah, melekat ke kepalanya. "Anda tadi masuk ke kolam," kata Jupiter dengan nada mendakwa. "Aku tidak-" Sebelum bisa meneruskan bantahannya, Elmquist merasa ada air menetes dari rambutnya ke kening. "Aku baru mandi," katanya. "Tidak, Anda tadi masuk ke kolam," kata Jupiter. "Itu, ada jejak kaki dari sana, menuju ke pintu ini." Elmquist memandang ke bawah. Bukti itu memang kelihatan jelas. "Baiklah, aku tadi memang masuk ke kolam. Di pasar tadi sibuk sekali. Karenanya aku kemudian berenang sebentar, untuk menghilangkan ketegangan. Lalu kenapa, kalau aku memang masuk ke kolam?" "Mana patung itu? Mana Anjing Karpatia-ku?" seru Mr. Prentice. "Bandit! Maling!" "Aku tidak mengerti, kalian mau apa sebenarnya!" kata Elmquist. Tapi matanya melirik ke samping, ke arah dapur yang kecil. "Patung itu kurasa ada di dalam salah satu lemari dapur," kata Jupiter. "Anda tadi tidak punya waktu untuk menyembunyikannya di tempat lain." "Jangan seenaknya saja menuduh-nuduh orang!" kata Elmquist. "Mr. Prentice," kata Jupiter, "kurasa sebaiknya Anda menelepon polisi saja. Minta mereka datang, dengan membawa surat perintah untuk melakukan penggeledahan." "Kalian tidak berhak menggeledah rumahku!" seru Elmquist. "Mana mungkin tengah malam begini bisa mendapat surat perintah penggeledahan!" "Kata-kata Anda itu mungkin benar," kata Jupe. "­Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu sampai hari sudah pagi, lalu saat itu baru menghubungi polisi. Selama itu kami akan menjaga di pekarangan! Anda takkan bisa meninggalkan apartemen itu, tanpa ketahuan oleh kami." "Kalian tidak boleh berbuat begitu!" Suara Elmquist bertambah nyaring. Ia sudah hampir berteriak. "Itu... itu merongrong namanya!" "Kenapa Anda katakan merongrong?" balas Jupe. "Kan tidak ada undang-undang yang melarang kami duduk-duduk di pekarangan, dari mana kami bisa melihat jika Anda meninggalkan apartemen ini. Sudahlah, kenapa Anda malah menyulitkan diri sendiri? Serahkan saja Anjing Karpatia itu sekarang, agar kami tidak perlu meminta polisi mengambilnya." Selama beberapa detik Elmquist menatap Jupiter dengan mata melotot. Tapi kemudian ia mundur selangkah. "Aku menaruhnya di dalam oven," kata pemuda kurus itu dengan sebal. "Aku sebetulnya hendak mengembalikannya pada Anda, Mr. Prentice. Sungguh!" ­Fenton Prentice mendengus. "Kau akan mengembalikannya, setelah mendapat uang sepuluh ribu itu, ya?" "Sepuluh ribu?" Sonny Elmquist saat benar-benar kelihatan bingung. "Uang sepuluh ribu yang mana?" "Anda tidak tahu?" kata Jupiter Jones. "sungguh-sungguh tidak tahu-menahu tentang uang itu?" Elmquist menatap mereka dengan pandangan nanar. "Kusangka kalau patung anjing itu n kukembalikan pada Mr. Prentice, aku akan diberinya uang sedikit sebagai hadiah, Tapi sepuluh ribu?" Fenton Prentice masuk ke dapur, melewati Sonny Elmquist yang masih tetap kelihatan bingung. Pria tua itu membuka pintu oven. Patung anjing itu ternyata memang ada di dalamnya-masih dengan tali yang terikat di pinggang. "Mr. Prentice, saya rasa dia ini memang tidak tahu apa-apa tentang uang itu," kata Jupiter "Bukan dia maling yang kita cari. Ia cuma kebetulan saja melihat sesuatu dalam tidurnya." Sonny Elmquist kaget. Wajahnya yang memang sudah pucat, nampak bertambah pucat lagi. Ia meneguk ludah beberapa kali, menyebabkan jakunnya bergerak-gerak naik-turun. "Apa saja yang Anda lihat, Elmquist?" desak Jupe. "Apabila Anda tertidur sementara pesawat TV Anda menyala, apa saja yang Anda lihat?" ­Sonny Elmquist menggigil. "Aku sendiri tidak bisa mencegahnya," katanya. "Aku mimpi tentang macam-macam. Kan bukan salahku jika aku bermimpi macam-macam?" "Anda mimpi tentang apa?" desak Jupiter sekali lagi. "Aku mimpi tentang seekor anjing. Anjing yang terbuat dari kaca. Aku mimpi bahwa ada orang datang larut malam, dalam gelap. Ia memasukkan anjing dari kaca itu ke dalam air. Tapi aku tidak bisa melihat, siapa orang itu." Jupiter berpaling pada teman-temannya. "Kurasa ia mengatakan yang sebenarnya," katanya. ­Bab 18 TEBUSAN YANG DIJADIKAN JEBAKAN ­TAMPANG Sonny Elmquist nampak, kecut. "Aku tadi mengambil patung anjing itu untuk Prentice. Sungguh, aku benar-benar berniat akan mengembalikannya kemudian, Percayalah, bukan aku yang mencurinya!" "Memang, bukan Anda," kata Jupe. "Ketika pencurian itu terjadi, Anda sedang tidur. Tapi kemudian Anda mengambil patung itu, lalu menyembunyikannya. Itu bukan perbuatan yang jujur." Charles Niedland menyandarkan punggungnya ke dinding. "Cepatlah berpakaian, lalu ikut kami ke atas," katanya menyuruh. Tapi Elmquist menanggapinya dengan mata melotot. "Anda tidak berhak menyuruh-nyuruh aku!" teriaknya. "Anda bukan pemilik gedung ini." "Dan Anda tidak berhak dengan seenaknya saja memasuki apartemenku, tidak peduli dalam wujud apa," kata Fenton Prentice. "Anda ikuti saja perintah, atau kupanggil polisi, biar Anda ditahan karena menyembunyikan barang curian!" Elmquist berbalik, lalu masuk ke kamar tidurnya. Pintu kamar itu ditutupnya dengan keras. Kemudian terdengar bunyi pintu-pintu lemari dibuka dan ditutup dengan kasar, serta laci-laci ditarik ke luar. Tidak lama kemudian Elmquist sudah muncul lagi, dengan baju hangat berwarna hitam dan celana panjang berwarna cerah. "Sisa malam ini Anda harus menunggu di ruang dudukku, dan sama sekali tidak boleh tidur," kata Mr. Prentice. Sonny Elmquist mengangguk, dengan wajah masam. Mr. Prentice menimang-nimang patung kristalnya. "Kurasa tentunya kau masih ingin memergoki maling itu malam ini juga, Jupiter," katanya. "Kalau bisa-itu jika ia belum lari, mendengar kita tadi ribut-ribut," jawab Jupiter. Dengan sikap enggan, Mr. Prentice menyodorkan patung miliknya, sementara Charles Niedland menggiring Elmquist ke tingkat atas. Anak-anak mengembalikan Anjing Karpatia ke dalam air, lalu melanjutkan pengintaian dari atas balkon. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Jika memang ia berniat mengambil patung itu, rupanya bukan malam itu akan dilakukannya. Waktu berjalan terus. Akhirnya fajar mulai menyingsing, menampakkan langit kelabu dan berkabut. "Maling itu sebenarnya sama sekali tidak perlu mengambil lagi patung itu dari dalam kolam," kata Jupiter kemudian. "Ia bisa saja memberi tahu Mr. Prentice di mana barang itu berada, setelah menerima uang tebusannya:' Pintu apartemen di belakang anak-anak terbuka. "Bagaimana kalau kita sarapan saja dulu," Mr. Prentice dengan nada mengajak. Pria nampak sudah jauh lebih segar dari sebelumnya. Dan seperti biasa, ia berbusana rapi. Semua duduk untuk menikmati sarapan kecuali Sonny Elmquist. Pemuda itu d terhenyak di sebuah kursi di ruang hobi. Ia tak mau diajak makan. Diajak bicara pun, ia tetap membisu. Selesai sarapan, Jupiter mengambil selembar surat kabar terbitan sehari sebelumnya, menggunting-gunting menjadi sejumlah lembar empat persegi panjang. Masing-masing lembar itu berukuran sekitar lima kali dua belas setengah senti. "Untuk apa?" tanya Bob. "Mestinya sebentar lagi maling itu akan memberi tahu, kapan uang tebusan harus diserahkan," kata Jupiter menjelaskan. "Tapi karena Mr. Prentice sekarang sudah tahu di mana patung anjingnya disembunyikan, tentunya ia tidak mau lagi menyerahkan uang sungguhan." "Untuk apa masih repot-repot, pakai menyerahkan sesuatu segala?" tanya Pete. "Karena kita ingin tahu, siapa sebenarnya maling itu," kata Jupiter. "Lembaran-lembaran kertas yang akan kujadikan pengganti uang ini nanti kita bungkus, lalu bungkusnya kita olesi obat buatanku. Ada kemungkinan kita nanti tidak bisa melihat maling itu sewaktu ia mengambil uang tebusan yang diminta. Tapi begitu bungkusan yang nanti kusiapkan dipungutnya, pada tangannya kemudian akan ada belang-belang hitam yang tidak bisa dihapus. Dengan begitu, kita akan tahu siapa dia sebenarnya!" "Kau rupanya yakin bahwa kita mengenal dia," kata Fenton Prentice. "Tentu saja kita mengenal maling itu," kata Jupe dengan gembira. "Orang itu tahu kegemaran Gwen Chalmers akan permen coklat. Ia juga tahu kebiasaan Mrs. Bortz, pergi berbelanja pukul empat pagi. Jadi ia pasti orang sini juga!" "Alex Hassell!" seru Pete. "Ia satu-satunya yang masih ada!" Jupe tersenyum. Tapi tanpa mengatakan apa-apa. "Kau tahu siapa orangnya," kata Prentice. "Tahu sih tahu, tapi saya tidak bisa membuktikan bahwa memang dialah malingnya," kata Jupe. "Atau lebih cocok kalau dikatakan, belum bisa. Tapi apabila nanti ia mengambil bungkusan yang dikiranya berisi uang, nah-saat itu kita akan punya bukti nyata!" Setelah itu Jupe tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Ketika tukang pos datang membawa surat pukul sepuluh, di atas meja ruang duduk sudah ada dua tumpukan kertas surat kabar yang digunting-gunting dan diatur rapi. Surat yang ditujukan pada Fenton Prenoce ternyata diketik, dan tidak ditandatangani pengirimnya. ­BUNGKUS UANG ITU DALAM KERTAS PEMBUNGKUS BERWARNA COKLAT DAN LETAKKAN DALAM KERANJANG SAMPAH DI JALAN MASUK KE TAMAN, TEPAT PUKUL LIMA SORE INI. ­Pesan itu diketik pada selembar kertas surat biasa, sedang stempel pos yang tertera di sampul menunjukkan bahwa surat itu dikirimkan sehari sebelumnya. "Bagus!" kata Jupe sambil tersenyum puas. Kemudian ia mengoleskan bahan kimia hasil adonannya ke lembaran-lembaran kertas surat kabar yang dibuat berukuran persis sama dengan lembaran uang dolar, sementara Mr. Prentice mengambilkan kertas pembungkus ­berwarna coklat Tumpukan "uang" dibungkus dengan kertas pembungkus itu, yang kemudian diolesi pula dengan obat pemberi tanda. "Beres," kata Jupe pada Mr. Prentice, setelah selesai dengan persiapannya. "Pukul lima nanti. Anda pergi ke tempat yang ditentukan dalam surat tadi, lalu Anda taruh bungkusan ini ke keranjang sampah di sana, sesuai dengan permintaan maling itu. Saya anjurkan Anda memakai sarung tangan-jangan yang masih baru-untuk menghindari kotornya tangan Anda kena obat saya. O ya, sebelum itu Anda sebaiknya menghubungi polisi dulu. Mereka akan mengepung taman, lalu jika si maling sudah mengambil bungkusan ini, mereka akan langsung menyergapnya." "Tapi bagaimana jika ada gelandangan yang kemudian mengambil bungkusan ini," kata Mr. Prentice. "Kan cukup banyak orang yang suka mengorek-ngorek keranjang sampah, mencari-cari sesuatu yang masih bisa dimanfaatkan." "Saya rasa si maling pasti akan mencegah jangan sampai hal itu terjadi," kata Jupe. "Ia tentunya mengamat-amati dari salah satu tempat." "Nanti kita tidak ikut melihat akhir kasus ini?" tanya Pete. "Tentu saja kita ikut. Pukul lima nanti, kita pun akan mengamat-amati keranjang sampah itu. Walau Anda takkan bisa melihat kami, Mr. Prentice, tapi kami sudah jelas akan ada di sana pula!" Bab 19 ALIBI YANG SEMPURNA ­SEPEREMPAT jam sebelum pukul lima sore, Bob, Pete, dan Jupiter sudah bersembunyi dalam semak yang terdapat di samping rumah Pastor. Di taman sempit di ujung jalan hanya ada seorang petugas kebersihan. Orang itu mondar-mandir membawa tongkat dan sebuah karung. Sampah yang ditemukan di antara rerumputan ditusuknya dengan tongkat, lalu dimasukkan ke dalam karung. "Maling itu akan datang dari arah jalan besar," kata Jupiter meramalkan. Sebuah kendaraan pengangkut surat kabar muncul dari ujung jalan, lalu berhenti di samping trotoar dekat jalan masuk ke taman. Seorang pria melompat turun dari bak belakang, mengeluarkan setumpuk surat kabar, lalu menaruhnya di atas trotoar. Kemudian mobil itu pergi lagi, pria itu tetap berdiri di samping tumpukan surat kabar. Sikapnya seolah-olah sedang menunggu pembeli. ­Tahu-tahu ada yang membuka salah satu jendela rumah Pastor. "Kurasa akan lebih nyaman jika kalian menunggu di dalam," kata orang itu. Anak-anak rasanya mengenal suaranya. ­Pete berpaling. Dilihatnya Father McGovern berdiri di balik jendela yang terbuka, sambil mengisap pipa. "Rasanya tidak pantas, jika kalian merunduk-runduk begitu, di tengah semak," kata pastor itu. "Pergilah ke pintu depan, nanti kubukakan! Kalian bisa mengamat-amati dari sini." Jupiter merasa mukanya menjadi merah. "Kalian bukannya tidak kelihatan, jika tetap bertahan di situ," kata Father McGovern lagi. "Ayo, masuklah! Polisi pasti tidak senang, jika tahu kalian mencampuri urusan mereka lagi." Ketiga remaja itu lekas-lekas keluar dari dalam semak, lalu masuk ke rumah. "Aku tadi melihat kalian menuju kemari," kata pastor itu pada mereka. "Orang-orang yang di luar itu--yang berdiri dekat tumpukan surat kabar, dan yang menggotong karung-mereka kelihatannya sedang menunggu seseorang. Apakah itu ada hubungannya dengan Earl serta kasus pencurian waktu itu?" ­"Saya rasa mereka polisi yang menyamar, Father," kata Jupiter. "Kalau salah satu dari mereka, aku tahu pasti," kata Father McGovern. "Orang yang membawa karung itu Sersan Henderson. Ia mendatangi Earl di rumah sakit. Aku bertemu dia di sana. Yang satu lagi-orang yang kelihatannya penjual surat kabar-aku tidak tahu. Tapi tidak biasanya ada penjual surat kabar di luar taman." "Anda ini berbakat jadi detektif, Father!" kata Bob. "Bagaimana keadaan Earl sekarang?" "Sebentar lagi juga sembuh. Kurasa ia malah senang ketika mendengar bahwa mungkin ia jatuh karena dipukul orang. Ia tidak suka mengakui kemungkinan bahwa ia terpeleset," Pastor itu menyalakan pipanya yang sementara itu padam. "Sedang Mrs. O'Reilly," sambungnya, "siang ini ia bebas tugas. Itulah sebabnya kenapa aku bisa santai-santai mengisap pipa di-sini." Jupiter Jones meringis, lalu melirik arlojinya. "Hampir pukul lima," katanya. Fenton Prentice nampak berjalan ke arah taman membawa bungkusan kertas berwarna coklat. Sesampainya di jalan setapak yang menuju ke dalam taman, ia berhenti. Di situ ada sebuah keranjang sampah yang sudah hampir penuh sesak. Prentice memandang sejenak ke sekelilingnya, lalu meletakkan bungkusan tadi ke keranjang sampah. Setelah itu la pergi dari situ. Seketika itu juga muncul seorang lelaki dari sudut jalan yang berbatasan dengan Wilshire Boulevard. Penampilannya benar-benar menampakkan bahwa orang itu gelandangan. Kerah jasnya yang compang-camping dilipat ke atas, untuk menutupi kenyataan bahwa ia tidak memakai kemeja. Lutut celananya menggembung, sedang ujung bawah salah satu pipa celananya robek-robek, "Kasihan, orang yang malang itu!" kata Father McGovern. ­Gelandangan itu menghampiri jalan masuk ke dalam taman. Saat itu petugas kebersihan sedang meneliti sesuatu yang ditemukannya di rerumputan beberapa meter dari situ. Sedang penjual surat kabar sibuk menghitung barang jualannya. Gelandangan berpakaian compang-camping tadi mengorek-ngorek keranjang sampah. Secepat kilat bungkusan kertas coklat sudah berada dalam genggamannya. Dan detik berikutnya tidak kelihatan lagi, menghilang masuk ke balik jas. Tahu-tahu penjual surat kabar berlari, mendatangi gelandangan itu. Petugas kebersihan menjatuhkan tongkat dan karung yang dibawa, lalu ia pun lari mendatangi. Gerakan mereka dilihat oleh si gelandangan. Ia melesat, lari ke jalan. Dengan cepat Pete membuka jendela ruang duduk, lalu meloncat ke luar lewat situ. Terdengar bunyi tuter. Nyaris saja gelandangan yang lari itu ditabrak mobil, yang untungnya cepat-cepat membanting setir ke samping untuk menghindarinya. Gelandangan itu tidak peduli. Ia terus saja berlari. Sementara Pete lari mengejar, polisi-polisi itu berteriak. Seorang dari mereka menembakkan pistolnya ke atas, Gelandangan yang lari sudah mencapai sudut jalan, lalu menghilang ke kanan. "Permisi, Father!" kata Jupiter, lalu melompat pula lewat jendela, disusul oleh Bob. "He, Buyung! Minggir!" seru polisi yang menyamar menjadi penjual surat kabar, ia ­memberi isyarat pada Pete agar jangan terus mengejar. Sebuah mobil polisi datang, lalu berhenti di tepi trotoar. ­ "Ia lari ke barat, masuk ke jalan Wilshire," seru Sersan Henderson yang menyamar menjadi petugas kebersihan taman pada rekannya yang ada dalam mobil patroli. "Tunggu!" seru Jupiter. Para petugas polisi itu memandangnya sambil melotot "Apa katamu?" tanya seorang dari mereka. "Anda tidak perlu buru-buru," kata Jupiter:" "Aku tahu di mana orang itu sekarang-beserta bungkusan uang tebusan yang isinya cuma guntingan koran saja. Maling itu takkan mau repot-repot bersembunyi, karena merasa punya alibi yang benar-benar kokoh." "Ah, kau ini rupanya anak pintar yang diceritakan oleh Mr. Prentice," kata Sersan Henderson. "Baiklah, di mana orang itu sekarang?" "Di Belvedere Medical Clinic, Atau tepatnya, sebentar lagi ia akan ada di sana," jawab Jupiter Jones. "Rumah sakit swasta itu cuma beberapa blok saja letaknya dari sini!" Polisi yang mengemudikan mobil patroli mengerutkan kening. "Oke! Ayo ikut!" katanya kemudian. Jupe dan kedua temannya bergegas-gegas masuk ke mobil polisi, yang kemudian dengan cepat meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah. sampai di Belvedere Clinic. Resepsionis yang mengenakan celemek merah jambu marah-marah, ketika Trio Detektif bersama para petugas polisi menyerbu masuk tanpa mengatakan apa-apa padanya. Di lantai dua mereka bertemu dengan seorang perawat yang sedang bertugas. Wanita itu tertegun, lalu menatap mereka dengan heran. "Ingin bertemu dengan siapa?" tanya perawat itu. "Kenapa resepsionis tidak memberi tahu?" "Sudahlah, kami ini sedang buru-buru," kata Jupiter. Ia menyusur lorong, menuju kamar sudut yang ditempati John Murphy. Pintu kamar itu tertutup. Jupe mendorongnya sehingga terbuka. John Murphy sedang berbaring di tempat tidur, berselubung selimut sampai ke dagu. Pesawat TV yang ditaruh berhadapan dengan tempat tidur menyala. Murphy mengalihkan perhatiannya dari pesawat itu. Dipandangnya rombongan yang muncul di ambang pintu. "Ada apa?" katanya dengan nada bertanya. "Bungkusan uang itu Anda taruh di dalam lemari, Mr. Murphy?" tanya Jupe. "Atau Anda sembunyikan di bawah selimut?" Mendengar pertanyaan itu Mr. Murphy langsung duduk. Mukanya merah padam, sedang napasnya tersengal-sengal. selimut yang semula menyelubungi tubuhnya merosot ke bawah. Ternyata Mr. Murphy hanya memakai jas yang sudah compang-camping, tanpa kemeja. ­Jupiter membuka pintu lemari. Bungkusan tadi ada di situ, masih dalam keadaan tertutup rapi. Mr. Murphy mengerang. "Andaikan Anda tadi sempat menyingkirkan bungkusan ini sambil lari kemari, kami masih akan tetap tahu, Mr. Muprhy," kata Jupiter. "Bungkusan ini diolesi dengan bahan kimia khusus, dan tangan Anda sebentar lagi akan kelihatan berbelang-belang hitam." Mr. Murphy menunduk, memperhatikan kedua belah tangannya. Kini Sersan Henderson melangkah maju, "Anda berhak tidak menjawab," katanya mengingatkan hak-hak asasi yang dimiliki Mr. Murphy. "Anda berhak..." "Sudahlah, aku juga tahu hakku," kata pria yang masih tetap berada di tempat tidur. "Kukenakan pakaianku dulu-lalu sesudah itu aku ingin menelepon pengacaraku." Sersan Henderson menatap Trio Detektif dengan perasaan kagum. "Mr. Prentice memang sudah mengatakan, kalian ini pintar," katanya. "Padahal ini benar-benar alibi yang sempurna. Bersembunyi di rumah sakit swasta. Siapa akan mengira..." "Mr. Murphy sendiri yang menyebabkan terjadinya kebakaran di dalam apartemennya," kata Jupiter. "Ia memerlukan alasan untuk bisa masuk ke rumah sakit ini! Ia tahu bahwa antara hari-hari Natal dan Tahun Baru takkan banyak pasien di sini. Ia sebenarnya tidak cedera. Dan begitu sudah mengetahui pola tugas para perawat, dengan gampang saja ia bisa menyelinap keluar-masuk. Mereka di sini tidak mengawasi dirinya dengan ketat, karena ia ada di sini agar bisa beristirahat dan tidur!" ­Bab 20 LAPORAN PADA MR.HITCHCOCK ­PERTENGAHAN bulan Januari, barulah Trio Detektif mendapat peluang untuk menyampaikan laporan pada Alfred Hitchcock. Sutradara kenamaan itu mereka jumpai di kantornya, sedang membalik-balik halaman majalah kesenian yang berjudul Art News. "Jika kalian kemari ini hendak menyampaikan laporan tentang kasus Anjing Karpatia," kata Mr. Hitchcock, "kalian tidak perlu repot-repot. Dalam majalah ini ada artikel mengenai karya-karya mendiang Edward Niedland, lengkap dengan ilustrasi. Ada foto patung anjing kristal itu, serta legenda tentang anjing itu." Mr. Hitchcock meletakkan majalahnya. "Tapi jika kalian bermaksud menceritakan bagaimana Anjing Karpatia akhirnya bisa dikembalikan pada Fenton Prentice, dengan senang hati aku bersedia mendengarnya. Laporan mengenai hal itu dalam majalah ini sangat ringkas." "Mr. Prentice tidak suka jika kehidupan pribadinya dibeberkan pada masyarakat ramai," kata Bob. "Begitulah kabarnya," kata Mr. Hitchcock. "Tapi ia masih sempat menyebut tiga orang remaja dari Rocky Beach yang banyak membantunya dalam menghadapi kasus itu. Karenanya aku sudah memperkirakan bahwa kalian kapan-kapan pasti akan kemari. Dan kurasa kalian sementara ini sudah sempat menuliskan kasus itu." Bob menyodorkan sebuah map arsip pada sutradara itu. "Aha!" kata Mr. Hitchcock sambil menerimanya. Seperti biasanya, ia kemudian tidak mengatakan apa-apa lagi, selama asyik menyimak catatan yang disusun oleh Bob. Ketika akhirnya selesai, ditutupnya lagi map itu. Ia membisu sejenak, dengan kening berkerut "Benar-benar menakjubkan!" katanya kemudian. "Padahal aku bukan orang yang gampang merasa takjub. Ada orang yang badan halusnya bisa meninggalkan tubuh kasar saat ia sedang tidur, lalu badan halus itu keluyuran ke mana-mana! Dibandingkan dengan Elmquist ini, hantu bukan apa-apanya!" "Sampai sekarang ia belum juga mau mengakui kemampuannya yang luar biasa itu," kata Bob. "Seperti kata Profesor Lantine, banyak orang seperti dia yang menyembunyikan kemampuan mereka. Mereka sendiri merasa ngeri terhadap kemampuan yang mereka miliki." "Itu bisa kumengerti!" kata Mr. Hitchcock. "Sekarang kau, Jupiter! Dari mana kau tahu, maling itu pasti Murphy?" "Persoalannya gampang sekali, Sir," kata Jupe. "Pertama-tama, saya menarik kesimpulan bahwa pelakunya harus seseorang yang tinggalnya di sekitar situ. Seseorang yang tahu tentang tempat penyimpanan berkas kunci gereja di rumah Pastor. Kemudian, ketika Miss Chalmers dan Mrs. Bortz dengan jalan kekerasan disingkirkan dari tempat itu, saya lantas tahu bahwa pencuri itu pasti salah seorang penghuni gedung apartemen itu. Hanya penghuni gedung itu saja yang mengetahui secara terinci segala kebiasaan kedua wanita itu--dan bahwa kolam renang merupakan tempat, penyembunyian yang aman, begitu kedua wanita tadi sudah tidak ada lagi di situ. "Lalu selanjutnya, Elmquist sedang tidur di apartemennya ketika pencurian itu terjadi. Jadi tidak mungkin dia pelakunya. Dugaan saya ini dipertegas oleh hasil penyelidikan Bob di Universitas Ruxton. Di sana Bob mendapat keterangan bahwa Elmquist bisa saja berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Tapi dalam keadaan seperti itu ia tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa memindahkan apa-apa. Harley Johnson memiliki alibi waktu pencurian itu terjadi. Ia sedang bepergian bersama beberapa orang temannya, dan itu bisa dengan mudah diperiksa kebenarannya. Jadi yang tinggal hanya Alex Hassell, dan John Murphy." "Pada waktu pencurian terjadi, baik Hassell maupun Murphy sama-sama sedang tidak ada di rumah masing-masing," kata Jupiter melanjutkan. "Dan kedua-duanya mendengar ucapan Mrs. Bortz yang berniat memanggil tukang untuk disuruh menguras kolam. Kemudian saya teringat, kata-kata itu menyebabkan John Murphy terkejut. Dan malamnya, ia pergi dengan mobilnya." "Pasti untuk mencari bahan peledak," sela Mr. Hitchcock. "Barang seperti itu, tidak biasa disimpan di dalam rumah." "Ia mendatangi seorang teman, yang memproduksi bahan-bahan kimia," kata Jupe. "Peledak yang dipasangnya di dalam mobil Mrs. Bortz sebenarnya tidak berbahaya. Hanya bunyi dan asapnya saja yang menyeramkan. John Murphy hanya ingin menyebabkan Mrs. Bortz merasa resah, sehingga lupa pada niatnya semula, yaitu membersihkan kolam renang. Setidak-tidaknya, untuk beberapa hari saja sudah cukup. John Murphy memang hanya memerlukan barang sehari dua saja. "Saya sebenarnya bisa lebih cepat merasa pasti bahwa Murphy-lah pencurinya, jika tidak terjadi kebakaran di apartemennya. Menurut saya itu tidak mungkin terjadi secara tak disengaja, mengingat kenyataan bahwa Mr. Murphy sangat hati-hati dengan rokoknya. Saat itu kelihatannya ia merupakan satu korban lagi dari penjahat yang dicari-cari. Dipikirkan sepintas lalu, ia tidak punya hubungan sama sekali dengan kolam renang. Tapi waktu itu saya menduga, mungkin saja pencuri itu ingin menyingkirkan setiap orang yang mungkin merupakan saksi. Karenanya saya lantas mulai menduga-duga, pelakunya pasti Alex Hassell. Dialah yang dengan salah satu cara berhasil masuk ke apartemen Mr. Murphy, lalu menimbulkan kebakaran di situ. Kalau memang benar dia orangnya, bisa saja kami tidak melihatnya saat itu, karena kami tidak begitu memperhatikan layar monitor TV waktu api mulai berkobar. Setelah itu Hassell bisa saja langsung pindah ke tempat penginapan, dengan maksud menyusun alibi. Persis seperti yang dilakukan oleh Mr. Murphy, dengan kepindahannya ke rumah sakit. "Tapi ketika surat dari pencuri yang berisi petunjuk-petunjuk tentang cara penyerahan uang tebusan itu datang, saya lantas sadar bahwa pencurinya tidak mungkin Alex Hassell-tapi Murphy. Soalnya, uang itu diminta agar ditaruh di dalam keranjang sampah tepat pukul lima sore. Padahal, pada jam itu, Mr. Hassell selalu ada di apartemennya, untuk memberi makan kucing-kucingnya! Jika Mr. Hassell pelakunya, uang tebusan itu mestinya harus diserahkan pada saat yang lain-dan bukan pukul lima sore." Mr. Hitchcock tertawa. "Memang, takkan mungkin justru pukul lima. Andaikan ia sampai hati membiarkan kucing-kucingnya menunggu, ia takkan berani memilih waktu pukul lima. jika saat itu ia tidak nampak di depan apartemennya, maka hal itu pasti akan dirasakan aneh oleh para penghuni yang lain. Tapi apa sebabnya Mr. Murphy sampai mengambil risiko yang begitu besar, untuk memperoleh uang sepuluh ribu? Dia kan makelar saham yang memiliki nama baik. Begitu perlu uangkah dia?" ­"Setidak-tidaknya, begitulah menurut pendapatnya sendiri," jawab Jupiter. "Sewaktu diperiksa polisi, akhirnya ia mengaku bahwa selaku wali Harley, ia mempergunakan uang simpanan warisan pemuda itu untuk mengadu untung dalam bursa saham. Uang yang dipertaruhkannya itu kemudian licin tandas. Padahal bulan depan, Harley akan sudah cukup umur. Dan saat itu Mr. Murphy harus menjelaskan ke mana perginya uang itu. Dan penjelasan ini bisa menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara. Karena itulah ia sangat memerlukan uang sebanyak sepuluh ribu dolar, untuk dimasukkan ke dalam simpanan Harley." "Menyedihkan," ujar Mr. Hitchcock. "Cerita lama yang selalu terulang." "Harley sudah memaafkan walinya," kata Jupiter lagi. "Tapi tentu saja urusan ini sudah terlepas dari tangannya. Sekarang tergantung pertimbangan pengadilan. John Murphy ternyata memang memukul Earl, dan memang dia yang mengirimkan permen coklat berisi racun pada Gwen Chalmers, dengan maksud agar wanita muda itu jatuh sakit untuk beberapa waktu sehingga tidak mungkin bisa berenang. Dan John Murphy pula yang melakukan pencurian, serta mencoba memeras Mr. Prentice." "Dengan begitu kita sampai pada pokok persoalan lain," kata Mr. Hitchcock. "Dari mana Mr. Murphy tahu bahwa Anjing Karpatia hari itu ada di Lucan Court?" "Sonny Elmquist yang mengatakan padanya!" ujar Bob. "Dugaan Jupe ternyata tepat. Memang ada hubungan antara pencurian dan bayangan yang muncul di dalam apartemen Mr. Prentice. Hari Senin malam itu badan halus Elmquist yang sedang mengembara secara kebetulan mendengar Mr. Prentice mengatur urusan penyerahan patung anjing itu dengan Charles Niedland, lewat telepon. Setidak-tidaknya, itulah yang terjadi menurut kesimpulan kami. Elmquist membantah-katanya, ia mendengar cerita itu sebelumnya, dari Mrs. Bortz. Tapi wanita itu tidak tahu dengan pasti, kapan tepatnya Mr. Prentice akan mendapat Anjing Karpatia." "Pokoknya, ketika badan halus Elmquist sudah kembali dari pengembaraannya dan ia sudah bangun lagi, ia berjumpa dengan Mr. Murphy, di pekarangan. Saat itulah ia bercerita tentang Anjing Karpatia pada orang itu. Elmquist sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksudkan. Tapi Mr. Murphy bisa menduga, karena ia mengenal nama Mr. Niedland. Karenanya ia lantas pergi ke Lucan Court dengan mengenakan topeng dan membawa pistol. Maksudnya hendak menodong Mr. Niedland." "Ia benar-benar nekat, rupanya," kata Mr. Hitchcock mengomentari. "Memang, dan sesudahnya ia bahkan semakin nekat!" sela Pete. "Maksud saya, mulanya ia menyangka akan bisa menyambar anjing kristal itu, lalu lari pulang dengannya. Kemudian urusannya bahkan menjadi lebih gampang kelihatannya, ketika ternyata bahwa Mr. Niedland tidak ada di rumah mendiang saudaranya. Tapi sial bagi Mr. Murphy; ia ketahuan oleh polisi yang kemudian bahkan hampir-hampir berhasil menangkapnya. Mr. Murphy tidak berani langsung ke rumah saat itu. Karenanya ia lantas lari masuk ke dalam gereja. Di situ ia menyamar menjadi patung. Setelah menggetok kepala Earl yang malang dengan gagang pistolnya, patung curian itu kemudian disembunyikannya. Ia sendiri menyelinap ke luar. Topeng dan pistol dicampakkannya ke keranjang sampah dekat taman, lalu ia berjalan santai ke rumahnya." "Lalu keesokan malamnya ia kembali lagi untuk mengambil patung, dengan menyamar menjadi hantu pastor!" kata Mr. Hitchcock menyimpulkan. Tapi Jupe menggeleng. "Tidak! Mr. Murphy mengatakan bahwa ia pun melihat pastor itu'" "Hm," gumam sutradara kenamaan itu. "Mr. Murphy sangat terkejut ketika meliatnya," sambung Pete. "Tapi ia berhasil menguasai perasaan, lalu lari ke luar. Jupe dikuncinya di dalam gereja. Kemudian, ketika keadaan sudah tenang kembali, anjing kristal curiannya dimasukkannya ke dalam kolam. Menurut dugaan kami badan halus Elmquist saat itu sedang gentayangan lagi, dan melihat Mr. Murphy di pinggir kolam. Malam itu Elmquist sedang ada di rumah." ­"Lalu, apa yang sekarang terjadi dengan Elmquist?" tanya Alfred Hitchcock "Ia tidak akan diapa-apakan," kata Pete. "Memang, mungkin saja ia berniat menguasai patung Anjing Karpatia, tapi itu belum dilakukan olehnya. Ia tidak sempat melakukannya! Pemuda itu masih selalu berharap akan bisa ke India, tapi saat ini ia hanya pergi sampai ke wilayah barat kota Los Angeles saja. Ia pindah ke sana. Mr. Prentice menghubungi pemilik gedung apartemen itu, dan mereka mendesak Elmquist agar pindah dari situ." "Sejak itu, pernahkah badan halusnya datang lagi ke rumah Prentice?" tanya Mr. Hitchcock. "Tidak. Sejak ia pindah dua minggu yang lalu, Mr. Prentice bisa hidup tenteram. Mrs. Bortz pun sementara ini sudah pindah. Katanya, lingkungan Paseo Place sudah brengsek sekarang, dan ia tidak mau memikul tanggung jawab kalau terjadi apa-apa lagi di sana. Kini di gedung apartemen itu sudah ada manajer yang baru, juga seorang wanita. Orangnya santai, katanya ia tidak peduli apa yang dilakukan para penghuni di situ, asal jangan terlalu keras menyetel peralatan stereo, dan tidak berenang lewat pukul sepuluh malam. Mr. Prentice merasa sangat lega, karena tidak ada lagi yang suka mengintip-intip." "Jadi masalahnya sudah beres sekarang," kata Mr. Hitchcock. "Tapi masih ada satu urusan yang belum jelas, yaitu tentang hantu pastor itu." "Mungkin itu badan halus Elmquist," kata. Jupiter. "Pada waktu gentayangan, badan halus itu selalu tampil dengan pakaian yang dikenakan tubuh kasarnya. Dan dengan kemeja putih berkerah bulat yang menutup leher serta baju hangat berwarna hitam, dari kejauhan bisa saja ia disangka pastor. Tapi sulitnya, rambut mendiang pastor itu putih mulus, padahal Elmquist rambutnya hampir-hampir hitam. Belum lagi soal lilin. Menurut keterangan Profesor Lantine, badan halus tidak bisa memegang apa-apa. Jadi lilin, tentunya juga tidak bisa. "Kemungkinan kedua, hantu pastor itu sebenarnya Elmquist sendiri. Setelah, badan halusnya melihat patung anjing kristal itu di dalam gereja, mungkin Elmquist sendiri lalu pergi ke sana untuk memeriksa. Jika kita anggap ia memang bermaksud mencuri, ia bisa saja menyamar menjadi hantu pastor, untuk menakut-nakuti siapa saja yang kebetulan masuk saat itu. Tapi penjelasan ini juga ada sulitnya, yaitu bagaimana Elmquist-yang sekali ini benar-benar Elmquist yang asli-bisa keluar lagi, jika pintu-pintu kemudian dikunci setelah saya ditolong?" Alfred Hitchcock mengangguk. "Dengan begitu tinggal kemungkinan ketiga, yaitu... " "Hantu pastor itu benar-benar ada!" kata Bob menyambung. "Entahlah, rasanya kita takkan tahu mana yang benar." SELESAI Edit by: zheraf http://www.zheraf.net